HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB
HARTA BERSAMA PASCA
PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Perbandingan Madzhab Fiqh
Dosen Pengampu : Prof. Dr.
Ahmad rofiq, MA.
Disusun
oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
WALISONGO
SEMARANG
2015
Harta Bersama Pasca Perkawinan Menurut Ulama’ Madzhab
I.
Pendahuluan
Didalam uu nomor
1 tahun 1974 menyatakan bahwa Perkawinan merupakan ikatan lahir batin anatara
seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Setiap
orang berkeluarga ada dua hal yang sangat didambakanya, yaitu keturunan dan
harta yang halal yang akan didapatkan, karena anak menjadi cahaya dan harta
menjadi tujuan hidupnya.[1] Di
dalam harta suami istri terdapat berbagai tipe harta, mulai dari harta bawaan
mereka masing-masing, harta hadiah yang mereka dapatkan, dan yang pasti
terdapat harta dari hasil kerja keras baik suami maupun istri, terlepas dari
apakah hasil yang di peroleh seimbang atau tidak antara keduanya. Didalam hukum
islam harta bersama tidak dijelskan, karena di dunia arab yang umumnya
dijadikan patokan fiqh tidak menjelaskan tentang harta bersama pasca putusnya
perkawinan. Namun kembali lagi jika kita melihat harta bersama merupakan harta
yang di peroleh dari kedua pihak yang saling bekerjasama, hal ini sama halnya
dengan bentuk syirkah dalam hukum islam yang mana merupakan persekutuan antara
dua orang atau lebih untuk mengumpulkan harta. Syirkah merupakan hal yang
diperbolehkan dalam islam, namun tetap ada perbedaan anatra ulama’ tentang
harta bersama yang di padupadankan dengan syirkah pada berbagai alasan.
Dalam tulisan
ini pemakalah akan mencoba memaparkan tentang bagaimana harta bersama dalam
pandangan ulama madzhab pasca putusnya perkawinan, dan juga bagaimana cara
penyelesaian persoalan tentang sengketa harta bersama.
II.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.
Harta
Bersama Pasca Putusnya !
B.
Pembagian
Harta Bersama Menurut Ulama’ Madzhab !
C.
Penyelesaian
Sengketa Pembagian Harta Bersama !
D.
Keadilan
substansif pembagian harta gono gini !
III.
Pembahasan
A.
Harta
Bersama Pasca Putusnya Perkawinan
Perkawinan
merupakan sebuah ikatan yang membuat suatu hal menjadi satu ikatan antara suami
dan istri, tidak terkecuali adalah harta bersama yang mana dapat diperoleh dari
harta bawaan atau harta yang diperoleh selama masa perkawinan, baik berupa
benda bergerak maupun tidak bergerak.
Namun harta bersama tersebut akan menjadi harta yang tidak lagi dapat disebut
sebagai harta bersama ketika telah terjadi perceraian atau cerai mati yang mana
di daerah jawa umumnya disebut dengan harta gono gini. Dalam
ensiklopedia hukum islam, dijelaskan harta gono gini adalah harta bersama milik
suami istri yang mereka peroleh selama masa perkawinan. Dalam masyarakat
indonesia pada setiap daerah mempunyai sebutan yang berbeda untuk menyebut
harta pasca berahirnya perkawinan. Seperti di Aceh di sebut heureuta
sihaurekat, di minangkabau disebut harta suorang, di daerah sunda
disebut guna kaya, atau tumpang kaya, di madura disebut ghuna
ghana, dan masih terdapat banyak penamaan lain dari harta bawaan pasca
perkawinan. [2]
Pengertian
harta bersama pada intinya adalah harta kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan di luar harta warisan maupun harta hadiah, yang dimaksud adalah
harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa perkawinan.[3]
Apa yang disebut harta bersama dalam rumah tangga pada dasarnya didasarkan atas
urf atau adat istiadta dalam sebuah negeri yang tidak memisahkan
kepemilikan harta sumai dan istri. [4]
Apabila
terjadi putusnya perkawinan, baik karena cerai atas gugatan pihak pria maupun
pihak wanita, maka harta itu harus dibagi bersama, namun hal ini dapat
dilaksanakan ketika putusan hakim sudah
mempunyai kepastian hukum. Lain halnya dengan putusnya hubungan karena kematian, hal itu sudah memiliki
keputusan yang kuat, namun pada umumnya sesuai adat, baru dapat dibagi setelah
proses pemakaman, atau setelah 40 hari. sebelum harta peninggalan itu dibagi
antara pra ahli waris, haruslah dikeluarkan terlebih dahulu harta bersama
antara suami dan istri, barulah dikeluarkan hutang si mayat dan wasiat (kalau
ada), terahir sisanya baru di serahkan pada warisan.[5]
B.
Pembagian
Harta Bersama Menurut Ulama’ Madzhab
Dalam
hukum islam harta bersama pada dasarnya tidak dikenal, karena hal ini tidak
dibicarakan secara khusus dalam kitab fiqh. Namun hal ini sejalan dengan asas
pemilikan harat secara individual. Atas dasar asas ini suami wajib memberikan
nafkah dalam bentuk biaya hidup. Kemduian apabila salah seorang dari suami
istri meninggal dunia, maka harta peninggalanya adalah harta pribadinya secara
penuh yang dibagikan kepada ahli warisnya. Namun tidak tertutup kemungkinan ada
harta bersama, sebagaimana yang berlaku di indonesia. Dalam bentuk syirkah yang
mana lebih diqiyaskan dengan syirkah abdan mufawwadhah yang berarati
perkongsian betenaga dan tak terbatas, dan yang mereka hasilkan dalam masa
perkawina menjadi harta bersama, kecuali bentuk pemberian khusus kepada salah
satu istri atau suami. meskipun gono gini tidak diatur secara jelas dalam fiqh
islam, namun keberadaanya diterima oleh sebagian besar ulama’ indonesia. Hal
ini juga didukung oleh kenyataan bahwa masyarakat indonesia antara suami dan
istri bersama untuk saling melengkapi dalam hal ekonomi.
Imam
Syafii tidak memperbolehkan bentuk syirkah perkongsian yang disamakan dengan
harta bersama pasca putusnya perkawinan, karena tidak bermodal, dan juga pada
dasarnya yang dinamkan syirkah adalah percampuran modal. Namun hal macam ini di
tolak oleh Abu Hanifah, karena bentuk perkongsian ini sudah dijelaskan dalam
masysarakat pada umunya, dan sebagian besar ulama’ dan juga masyarakat pun
menerimanya. Alasan Imam Syafii tertumpu pada sisi bahwa perkongsian itu pada
dasarnya untuk mengembangkan harta dengan disertai modal dari kedua belah pihak
terlebih dahulu, namun menurut Abu Hanifah mengatakan bahwa bentuk perkongsian
tersebut bukan untuk manegembangkan harta, tapi mencari harta, sedangkan
mencari harta lebih dianjurkan dari pada mengembangkan harta. Karna berbeda jika
mengembangkan adalah sudah dengan bentuk modal yang sudah ada, namun mencari
harta adalah belum tentu adanya sebuah modal didalamnya, dan mengandalkan usaha
keduanya.[6]
Harta gono gini merupakan wilayah
keduniawiaan yang mana belum tersentuh oleh masalah islam klasik dan masuk
wilayah ijtihadi. Pembagian harta gono gini setelah terjadinya perceraian dibagi
menurut usaha masing-masing. Secara bahasa syirkah adalah suatu bentuk
percampuran. Sedagkan secara istilah adalah adanya hak dua orang atau lebih
terhadap sesuatu, Syirkah abdan anggotanya hanya dengan usaha tanpa
modal, dan Syirkah Mufawadhah artinya tidak terbatas, diantara empat madzhab
kalisk yang membolehkan harta bersama dalam bentuk syirkah mufawadhah abdan
adalah madzhab hanafi maliki hambali, sedangkan imam syafii menolak dengan
alasan bahwa syirkah itu harus diawali dengan bentuk modal dan juga mempunyai
tujuan memperbanyak harta.[7]
Harta
bersama dalam islam mungkin dapat diterima sebagai urf, yang secara
materiil disebut dengan harta gono gini, pada sisi lain dapat ditempuh melalui
jalan istishlah atau maslahat mursalah. Alasanaya, karena tidak
dijelaskan secara tegas ada dalam nash yang menentukan persoalan kekayaan harta
bersama, dan juga tidak ada nash ataupun hadits yang melarang pemberlakuan
harta bersama, yang mana sebelum dibagi waris diberikan separuh terlebih
dahulu.[8]
Di
dalam islam harta bersama tidak dikenal harta bersama, hal ini berbeda dengan sistem hukum barat yang
pernah menjadi pegangan hukum perkawainan negara kita. Di dalam islam
dijelaskan bahwa harta kekayaan dapat bersatu karena adanya syirkah
(persekutuan) dari hasil kerja suami dan istri. Karena itu apabila kelak ada
putusnya perkawinan maka harta dibagi bersama. Sekali mereka terikat dalam
perjanjian , maka semuanya menjadi satu, seperti yang dijealskan Al qur’an
bahwa tidak perlu syirkah, karena dengan
ijab qabul serta memenuhi persyaratan lainya sepeti adanya wali, saksi, mahar,
walimah dan i’lanun nikah sudah dapat dianggap adanya syirkah antara suami dan
istri. Sampai sekarang masih tetap belum terdapat kesatuan pendapat menurut
hukum islam tentang harta bersama, apakah diakui atau tidak. Namun terlepas
dari diakui atau tidaknya harta bersama sebagai bentuk syirkah, di negara kita
indonesia harta bersama sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan
bidaya dan tradisi masyarkat. [9]
Di indonesia sendiri MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa
harta gono gini dapat digolongkan ke dalam harta syirkah, karena dipahami istri
juga dapat dihitung seagai partner dalam perkongsian, meskpiun kerjanya tidak
sebanding dengan suami atau mungkin tidak bekerja dalam hal yang sama (memiliki
penghasilan). Harta gono gini diqiyaskan dengan syirkah sangatlah masuk akal,
karena mempunyai harta, yang sama dalam hal bekerja sama. Hanya saja dalam
konsep syirkan lebih dominan kearah bisnis. Kemudian penqiyasan ini juga dapat
dipahami dengan argumentasi, bahwa persatuan harta kekayaan suami dan istri
sebagai harta tambahan karena adanya usaha bersama. Maka jika terjadi
perceraian (mati/hidup) harta bersama dapat dibagi menjadi dua. Para pakar
hukum islam indonesia yang kemudian dituangkan dalam KHI melakukan pendekatan
melalui jalur syirkah dan juga hukum adat, dan hal itu juga tidak bertentangan
dengan hukum islam, dan dapat disebut urf shohih. Dan juga harta gono
gini merupakan konsekuansi daria adanya hubungan perkawinan yang juga ikut andil
dalam hubungan harta. Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surah
an-Nisa’ ayat 21; [10]
ôs%ur.... 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/
4n<Î) <Ù÷èt/
cõyzr&ur Nà6ZÏB
$¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî
ÇËÊÈ
...Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat. (An-Nisa’ ; 21).
C.
Penyelesaian
Sengketa Pembagian Harta Bersama
Di
indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur dalam UU No.1 tahun 1974, Bab
VII pada pasal 35, 46, 37. Pada pasal 35 ayat (1) dijelaskan harta benda yang
diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama. Kemudian dalam ayat (2) harta tetap dalam pengawasan masing-masing
pihak. Pasal 36 mengatur status harta yang di peroleh masing-masing suami
istri. Pada pasal 37 apabila putusan
karena perceraian, maka hukumnya diatur menurut hukumnya masing-masing.[11]
Yang dimaksud dengan masalah harta kekayaan perkawinan adalah hubungan harta
kekayaan, baik pihak istri maupun suami setelah putusnya perkawinan, dan saat
ini masalah sengketa harta gono-gini merupakan hal yang wajib setelah putusnya
perkawinan.[12]
Di dalam kompilasi
hukum islam dijelaskan
BAB
XIII
HARTA
KEKAYAAN DALAM
Pasal
85
Adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.[13]
Pasal
87
1)
Harta
bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian .
2)
Suami
dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau lainya.
Pasal
88
Apabila terjadi perselisihan antara
suami dan istri tentang harta bersama, maka penyelesaian permasalahan tersebut
diajukan kepada pengadilan agama.[14]
Di
dalam KHI maupun UUP mencoba memadukan antara hukum islam dan hukum adat yang
berkembang di indonesia. meskipun harta bersama dalam negara kita merupakan hal
yang sudah mengakar kuat dalam adat, sehingga negara maupun agama harus
menjembatani hal tersebut, karna jika kita harus menengok bahwa hukum (positif)
itu aslinya dari masyarakat. di dalam islam pun demikian kebiasaan yang baik
dalam masyarakat juga dpaat dijakdikan hukum. Seperti halnya didalam qoidah
fiqhiyah;
العادة محكمه
Adat
( Kebiasaan ‘baik’ ) itu bisa menjaadi sebuah hukum.[15]
Kemudian
dijelaskan dalam pasal 96 dan 97
Pasal 96
(1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pasal
97
Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Namun
pasal 96 ayat (1) kurang tegas, karena kata “lebih lama” itu bersifat relatif,
kemudian juga hal itu jika digunakan patokan dalam pembagian harta bersama,
puhak keluarga yang dituakan, atau hakum apabila perkaranyadiajukan ke
pengadilan, perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan.[16]
D. Keadilan Substansif Pembagian Harta Gono
Gini.
Harta bersama
merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami isteri dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum
Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi
penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada
tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang
membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta
bersama karena perceraian.
Bagaimana prosedur pembagian harta
bersama jika terjadi perceraian, dimana pembagian dilakukan pada bagian masing-masing
suami isteri. Kenyataan dalam masyarakat diperkirakan sangat bermacam ragam.
Kemungkinan pembagian itu dilakukan dirumah, sebelum gugatan diajukan ke
Pengadilan, kemungkinan kesepakatan pembagian tercapai di Pengadilan,
kemungkinan pembagian dilakukan di bawah wibawa keputusan pengadilan, atau
kemungkinan harta tersebut tidak pernah dilakukan pembagian sehingga harta
bersama tetap dikuasai oleh salah satu pihak. Kemungkinan pihak laki-laki yang
menguasai hartabersama itu, kemungkinan pula pihak laki-1aki memperoleh bagian
terbesar dari harta bersama itu atau mungkin pula sebaliknya. Besar kecilnya
bagian masing-masing ini dipengaruhi oleh hukum yang dianut, kesadaran hukum
dan lingkungan masyarakatnya.
Dalam Islam harta yang diperoleh
isteri dari hasil kerjanya sendiri tidak termasuk harta gono gini, karena harta
tersebut adalah hak milik isteri. Seperti yang telah dijelaskan dalam firman
Allah;
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”. (QS An-Nisaa` : 32)
Jadi,
apabila isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas
hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga,
maka itu dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan
pahala berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah
kepada isteri Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami
karena ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim).
Dalam kasus pembagian
harta gono gini di persidangan, pada intinya harta bersama adalah merupakan
harta yang diperoleh selama masa perkawinan, dan hal itu sesuai dengan pasal 35 ayat (1) dijelaskan harta benda yang
diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama. Namun, jika isteri bisa membuktikan di pengadilan telah
memberikan tanggung jawab lebih, termasuk membiayai rumah tangga, sangat
mungkin pembagiannya lain. Jadi, keadilan dalam konteks ini sangat
ditentukan oleh majelis hakim.
Pengadilan berwenang menentukan porsi isteri
yang menjadi tulang punggung keluarga lebih besar daripada suami dalam
pembagian harta bersama. Jadi, aparat penegak hukum sebaiknya sudah harus
berhati-hati dalam pembagian harta bersama apalagi dalam beberapa kasus, suami tidak
berpartisipasi signifikan dalam perekonomian keluarga. Hakim agung Abdul Manan
(2006: 129) mengingatkan masalah ini: ‘sebaiknya para praktisi hukum
lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa
keadilan, kewajaran, dan kepatutan’. Ia meminta agar hakim mengambil sikap ‘lentur’
agar keadilan tercapai. Salah
satu contoh kasus semacam ini termuat dalam putusan MA No. 266K/AG/2010.
Dalam putusan ini, majelis hakim memberikan ¾ bagian kepada isteri, dan sisanya
(1/4 bagian) kepada suami. Pertimbangan majelis adalah: berdasarkan bukti dan
fakta di persidangan ternyata suami tidak memberikan nafkah dari hasil kerjanya
dan seluruh harta bersama diperoleh isteri dari hasil kerjanya, maka demi rasa
keadilan, pantaslah Penggugat (isteri) memperoleh harta bersama sebesar yang
ditetapkan dalam amar putusan.[17]
IV.
Kesimpulan
Pengertian
harta bersama pada intinya adalah harta kekayaan yang diperoleh selama masa
perkawinan di luar harta warisan maupun harta hadiah, yang dimaksud adalah
harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa perkawinan. Apabila
terjadi putusnya , baik karena cerai atas gugatan pihak pria maupun pihak
wanita, maka harta itu harus dibagi bersama, namun hal ini dapat dilaksanakan
ketika putusan hakim sudah mempunyai
kepasian hukum. Dalam hukum islam harta bersama pada dasarnya tidak dikenal,
karena hal ini tidak dibicarakan secara khusus dalam kitab fiqh. Kemduian
apabila salah seorang dari suami istri meninggal dunia, maka harta
peninggalanya adalah harta pribadinya secara penuh yang dibagikan kepada ahli
warisnya. Namun tidak tertutup kemungkinan ada harta bersama, sebagaimana yang
berlaku di indonesia. Dalam bentuk syirkah yang mana lebih diqiyaskan dengan
syirkah abdan mufawwadhah yang berarati perkongsian betenaga dan tak terbatas,
dan yang mereka hasilkan dalam masa perkawina menjadi harta bersama, kecuali
bentuk pemberian khusus kepada salah satu istri atau suami. Namun apabila
isteri bekerja dan memperoleh harta, maka isteri punya hak penuh atas hartanya
itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga, maka itu
dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala
berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah kepada
isteri Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami karena
ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim). meskipun gono gini tidak
diatur secara jelas dalam fiqh islam, namun keberadaanya diterima oleh sebagian
besar ulama’ indonesia. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa masyarakat
indonesia antara suami dan istri bersama untuk saling melengkapi dalam hal
ekonomi. Dalam KHI dijelaskan Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara
suami dan istri tentang harta bersama, maka penyelesaian permasalahan tersebut
diajukan kepada pengadilan agama.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin..
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani. Tt. Pengantar
Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta; Gema Insani
Pers. Cet 1.
Mahdiah. 1994. Permasalahan
Perkawinan Dan Kewarisan. Jakarta; Pustaka Panjimas. Cet 1.
Manan, Abdul. Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana. 2008.
Ramulya, Idris. 1995. Hukum , Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakrta; Sinar Grafika. Cet
1.
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum
Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. Ed Rev. Cet
1.
Soedarsono, Sidik. Tt. Masalah
Administrasi Dalam Perkawinan Umat Islam. Jakrta; Fa Dara.
Tihami, H.M.A. Sohari Sahrani. 2010.
Fiqkih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta; Rajawali Pers. Ed
1.
Susanto, Happy. 2008. Pembagian
Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian.Jakarta; Visi Media.
Undang-Undang Perkawinan Indonesia (Dilengkapi Dengan Kompilasi
Hukum Islam). Surabaya; Arkola.
Zein, Satria Effendy. 2004. Probelamitaka
Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan
Ushuliyah. Kencana: Jakarta. Ed 1. Cet 1.
http://www.hukumonline.com.
Diakses pada 5 Mei 2015, pukul 13.22. WIB.
[3] Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2013. Ed Rev. Cet 1. Hlm 166.
[4] Satria Effendy Zein. Probelamitaka Hukum
Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah.
Kencana: Jakarta. 2004. Ed 1. Cet 1. Hlm 59.
[5] Idris Ramulya. Hukum , Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakrta; Sinar
Grafika. 1995. Cet 1. Hlm 37.
[6] H.M.A Tihami. Sohari Sahrani. Fiqkih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta; Rajawali Pers. 2010. Ed 1.
Hlm 183.
[7] Happy Susanto.
Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian.Jakarta; Visi Media.
2008. Hlm 53.
[8] Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2013. Ed Rev. Cet 1. Hlm 168.
[9] Idris Ramulya. Hukum , Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama, Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakrta; Sinar
Grafika. 1995. Cet 1. Hlm 33.
[11] H.M.A Tihami. Sohari Sahrani. Fiqkih Munakahat
Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta; Rajawali Pers. 2010. Ed 1. Hlm 180.
[12] Sidik Soedarsono. Masalah Administrasi
Dalam Perkawinan Umat Islam. Jakrta; Fa Dara. Tt. Hlm 108.
[13] Undang-Undang Perkawinan Indonesia
(Dilengkapi Dengan Kompilasi Hukum Islam). Surabaya; Arkola.
[14] Abdul Ghani Abdullah. Pengantar Kompilasi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta; Gema Insani Pers. Tt . Cet 1.
Hlm 104.
[16] Ahmad Rofiq. Hukum Perdata Islam Di
Indonesia. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2013. Ed Rev. Cet 1. Hlm 167.
Komentar
Posting Komentar