POLITIK HUKUM ISLAM di BALIK UU No. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
POLITIK HUKUM ISLAM di BALIK UU No. 38 TAHUN 1999 TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Politik hukum Islam di
Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr.
Ahmad rofiq, MA.

Disusun
oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Politik Hukum Islam di Balik UU No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat
I.
Pendahuluan
Seseorang yang
beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima titipan
sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak pemilik aslinya, yaitu
Allah SWT. Zakat sebagai ibadah ijtima’iyah, melalui pembayaran zakat
berarti beramal terhadap sesama, yang berarti melakukan ibadah sosial atau
kewajiban sosial. Dengan ibadah sosial itu berarti orang yang membayar zakat
membantu sesama manusia yang berada dalam kekurangan dan kemiskinan. Maka
dibuatlah undang-undang zakat sebagai aturan atau pedoman pengelolaan, maupun
sanksi bagi masyarakat (islam) dalam suatu negara.[1]
Kita tahu bahwa
suatu produk hukum yang lahir, seperti undang-undang zakat, pasti dibaliknya
terdapat campur tangan politik yang menginginkan bagaimana suatu aturan itu
berjalan, dan bagaimana hasil yang diharapkan ketika suatu aturan tersebut di
terapkan dalam masyarakat di dalam sebuah negara (khususnya masyarakat islam).
Tentunya peran agama (islam) sangat mempengaruhi tentang bagaimana (politik)
aturan yang ada di belakang peembuatan undang-undang zakat yang akan
diberlakukan dalam sebuah negara. Khususnya tentang pengelolaanya.
Dalam tulisan
ini pemakalah akan mencoba membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk politik
yang ada di balik Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.
Peran Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dalam pengelolaan zakat !
B.
Bentuk politik Islam di
balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999 !
III.
Pembahasan
A.
Peran
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dalam
pengelolaan zakat
Dalam
rencana strategis kementrian agama tahun 2010-2014 telah mencamtumkan program
pembangunan dalam bidang agama, diantaranya disinggung soal optimalisasi pengelolaan
dana dan aset sosial keagamaan. Disana menjelaskan bahwa setiap agama
mengajarkan kepada pemeluknya agar mewujudkan ketaatan beragama mereka yang
salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial terhadap sesama
manusia. Oleh karena itu masing-masing agama memiliki instrumen untuk
mewujudkan kepedulian sosial anatara lain dalam bentuk dana dan aset sosial
keagamaan, dan apabila hal ini di kelola dengan baik, maka akan memiliki
potensi yang sangat besar untuk dapat memberi konstribusi bagi upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam agama
islam, salah satu bentuk dana dan aset sosial keagamaan tersebut adalah zakat,
guna meningkatkan optimalisasi pengelolaan zakat, pemerintah telah mengeluarkan
UU No 38 Tahun 1999 (yang saat ini sudah diganti dengan UU No 23 Tahun 2011)
tentang pengelolaan zakat.[2]
Konsekuensi
manusia yang kepadanya dititipkan harta (berlebih) harus memenuhi aturan Allah,
baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaanya, antara lain ada kewajiban
yang dibebankan kepada pemiliknya sebagai ibadah yang wajib, seperti
mengeluarkan zakat guna kesejahteraan masyarakat, dan juga ada yang berbentuk
sunnah, seperti sedekah dan infak. Dengan kewajiban zakat, nyatalah bahwa
pemilik harta bukanlah pemilik mutlak. Tapi didalam hak milik itu ada suatu
tugas sosial yang wajib ditunaikan sebagai makhluk sosial.[3]
Zakat
mampu menciptakan kecintaan, persaudaraan dan sikap tolong menolong antar
sesama, dengan kata lain zakat merupakan media untuk mendidik moralitas
manusia, dan juga mengembangkan aspek sosial dan ritual. Dalam aturan fiqih
(hukum islam) telah menetapkan gugurnya kewajiban zakat dalam keadaan tidak
terpenuhinya syarat kewajiban zakat, seperti nisab atau haul.
Aturan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi pada diri seseorang, boleh jadi di masa mudanya ia adalah seorang yang
kaya, namun di masa tuanya ia berubah menjadi seorang yang miskin, dalam
kondisi apapun juga, sikap saling menolong adalah hal yang dianjurkan.[4]
Zakat
diambil secara vertikal jika telah mencapai nisab, yaitu sebagai ketetapan
dengan batasan minimal wajibnya zakat yang di keluarkan. Begitu juga dnegan
barang yang wajib dikeluarkan zakat. Kelebihan harta yang di miliki dikeluarkan
sesuai ketetapan yang ditentukan oleh para ahli fiqh. Sedangkan pembgaian zakat
di lakukan secara horizontal atau merata kepada kelompok yang berhak menerima
zakat.[5]
Persoalan
kemiskinan bukan saja problema persoalan ekonomi kemasyarakatan di negara berkembang,
akan tetapi ia berpotensi menjadi momok yang menakutkan bagi penyandangnya.
Indonsia merupakan negara dengan tingkat angka kemiskinan relatif tinggi, padahal
potensi zakatnya cukup besar. Namun sayangnya potesni zakat tersebut masih
belum optimal. umat islam indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai
peluang dan potesni besar untuk ikut dalam pembangunan bidang kesejahteraan
rakyat guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu
peluang dan potensi umat islam yang dapat digali dan didayagunakan dalam
penyediaan dana pembangunan dibidang kesejahteraan rakyat dan merupakan
alternatif pemecahan dalam memberantas kemiskinan. Pemberdayaan ekonomi
terhadap golongan miskin yang dapat berbentuk pemberian modal, pemberian
beasiswa dan sebagainya.[6]
Ketika indonesia merdeka, kesadaran
membayar zakat telah dilakukan dengan lebih baik oleh elemen-elemen masyarakat,
dan kesadaran ini tentunya perlu diiringi dengan tindakan riil oleh segenap
masayarakat untuk saling mengingatkan dan menasehati tentang arti penting zakat
bagi keselarasan hidup. Dukungan riil pemerintah pun perlu sebagai justifikasi.[7]
Mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama islam. Zakat merupakan hal
yang tidak asing pada masyarakat Indonesia, khususnya (salah satu bentuk zakat)
pada saat bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri. Penanganan zakat di
indonesia bisa dibilang belum begitu serius untuk kesejahteraan bersama. Terkadang
hanya sebatas berorientasi pada sisi konsumtif, yang mana hanya untuk keperluan
kecukupan pada saat hari raya itu tiba. Kemudian diundangkanlah UU No. 38 Tahun
1999 (namun saat ini sudah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2011) tentang pengelolaan zakat, dengan didirikanya lembaga-lembaga pengelola
zakat, baik ditingkat lokal maupun nasional. Dengan adanya pengelolaan zakat
diharapkan zakat dapat diwujudkan sebagai lembaga jaminan sosial untuk
kesejahteraan umat.[8]
sebagaimana yang
di jelaskan dalam Pasal 5 UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan zakat yang bertujuan :
1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam
menunaikan zakat sesuai dengan
tuntunan agama;
2. meningkatnya
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial.
3.
meningkatya hasil guna dan daya guna zakat.[9]
Dalam UU No. 38 Tahun 1999
dinyatakan bahwa “pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang untuk
mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah,
dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Agar pengelolaan zakat
berjalan dengan baik. Maka BAZ dan LAZ harus menerapkan prinsip-prinsip good
organization governance (tata kelola organisai yang baik) yaitu seperti
amanah, karena zakat merupakan salah satu rukun islam yang berbicara tentang
kemasyarakatan, dan kewajiban tentang berzakat tidak hanya ada dalam
Perundang-undangan tentang zakat yang ada dalam sebuah negara saja, namun Allah
juga telah lebih dahulu menyampaikanya. Seperti dalam Firman-Nya.
õè{ ô`ÏB
öNÏlÎ;ºuqøBr&
Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ
( ¨bÎ)
y7s?4qn=|¹ Ö`s3y
öNçl°; 3 ª!$#ur
ììÏJy
íOÎ=tæ
ÇÊÉÌÈ
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
(Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka) dan mensucikan (Maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda) mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS
At-Taubah:103).
Kemudian adanya ketransparanan,
yaitu kewajiban LAZ atau BAZ selaku Amil untuk mempertanggung jawabkan
tugasnya, bentuk transparansi ini dapat dilakukan melalui publikasi laporan di
media cetak, atau sosialisasi. Dan juga profesional, amil harus profesional,
diantara cirinya adalah, bekerja full time, memiliki kompetensi, amanah, jujur,
dll. Dengan pengelolaan yang sedemikian
rupa diharapkan agar pengelolaan zakat dapat dioptimalkan, amanah muzaki
tertunaikan, dan mustahiq diberdayakan.
Hal-hal tersebut dapat
diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip
operasionalnya, seperti; aspek kelembagaan, dari aspek kelembagaan, sebuah
organisai pengelola zakat seharusnya memperhatikan
berbagai faktor; seperti visi dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas
dan struktur organisai, aliansi strategi. Kemudian aspek sumber daya manusia,
yang merupakan aset paling berharga, sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi
amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Dan juga sistem
pengelolaannya yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah; memiliki
sistem dan prosedur yang jelas, manajemen terbuka, dan adanya perbaikan secara
terus menerus.[10]
Memajukan
kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik
Indonesia, yang diamantakan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujuan
nasional tersebut, senantiasa dilaksanakanlah pembangunan yang bersifat fisik materil
dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan dibidang agama. Zakat
merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi
mereka yang membutuhkan. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber
dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan
perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan
pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999 (yang saat ini
sudah diganti dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin pengelolaan
zakat sebagai amanah agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur
pertimbangan dan unsur pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan,
masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap bentuk penyelewengan-penyelewengan.[11]
B.
Bentuk politik Islam di
balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999
Tujuan
dilaksanakanya pengelolaan zakat oleh pengelola zakat antara lain; meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan zakat. Kemudian meningkatkan
fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarkat dan keadilan sosial.
Zakat
merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan masyarakat serta
mendorong terciptanya keadilan distribusi harta, karena pada umumnya zakat di
pungut dari orang-orang kaya dan kemudian diberikan kepada orang-orang yang
ekonominya kurang. Dalam hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya’
kepada dhu’afa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif
maupun produktif, maka secara sadar
penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan
sosial dan pada giliranya akan mengurangi derajat kejahatan ditengah masyarakat,
karena dengan mulai adanya perubahan kesejahteraan sedikit demi sedikit. dan
juga meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Setiap lembaga zakat
seharusnya memiliki database tentang muzaki dan mustahiq,
profil muzaki perlu di data, untuk mengeahui potensi-potensi atau peluang untuk
melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki, karena mereka merupakan
nasabah, maka perlu adanya pembinaan dan perhtaian yang memadai guna memupuk nilai
kepercayaan. Terhadap mustahiq pun juga demikian, program pendistribusian
dan pendayagunaan harus di arahkan sejuah mana mustahiq tersebut dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Dan ini lah peranan yang harus di pahami oleh
lembaga-lembaga zakat yang turut andil dalam pengelolaan zakat yang ada dalam
sebuah negara.[12]
Dengan
penglelolaan secara kelembagaan, pengumpulan dan pendistribusian atau
pendayagunaan zakat akan lebih optimal. Namun Dengan berbagai macam lembaga
(yang berdiri atas apresiasi masyarakat tertentu) untuk mengelola zakat yang
mempunyai visi dan misi yang berbeda-beda, dan terkadang dikelola oleh
manajemen pihak tertentu yang tentu tidak berorientasi kepada seluruh
masyarakat yang memerlukan dana zakat, tetapi hanya orang-orang yang segolongan
mereka saja. Akibatnya, meskipun banyak lembaga yang didirikan untuk
pengelolaan dana zakat, namun fungsinya belum tercapai. Jadi campur tangan
politik yang dilakukan oleh oknum-oknum (seperti partai, lembaga gologan
tertentu) yang ada menyebabkan tujuan dari pengelolaan zakat itu sendiri belum
lah trewujud secara sempurna.[13]
Adanya
perbedaan kepentingan merupakan salah satu penghalang bagi berjalanya
basiz/lasiz diberbagai daerah, hal ini disebabkan bahwa selama ini terdapat
kelompok masyarakat atau sebagian organisasi umat islam yang melaksanakan
pengumpulan ZIS sendiri-sendiri guna kepentinan organisasinya atau kelompoknya.
Bahkan terdapat lembaga pendidikan atau perorangan yang menghimpun dan atau
menerima ZIS dari masyarakat untuk kepentingan lingkunganya. Bahkan hambatan
yang sangat dominan adalah kurangnya kesadaran para muzakki secara penuh
untuk melaksanakan kewajibanya setiap tahun. Padahal jika dikelola secara baik,
maka hasilnya dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat, sebab zakat
dapat dikatakan sebagai terapi atas masalah sosial yang cukup efektif dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. jika dilihat dari umat islam yang ada di
indonesia, maka potensi zakat sangat besar. Dan pada sisi lain ternyata msih
terdapat beberapa pegurus bdan atau lembaga pengelola zakat atau badan pelaksana belum dapat melaksanakan tugas
secara optimal. dismaping hal itu juga masih terdapat adanya berbagai faktor
pengahambat yang berasal dari kalangan masyarakat, yaitu kuragnya kesadaran
untuk menyerahkan zakat kepada lembaga pengelola zakat.
Zakat
yang mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam
yang ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya
kepada yang lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat
secara konsumtif, namun diballik sisi
konsumtif yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat, juga terdapat tujuan untuk hal produktif,
seperti menambah modal usaha, pengembangan dana, dll. Hal itu berarti zakat
dapt dijadikan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan menciptalan kesejahteraan
umat.[14]
Berbagai
pendapat kini berkembang dikalangan masyarakat tentang persamaan zakat dan
pajak. Zakat dan pajak dilihat bahwa keduanya mempunyai tujuan yang relatif
sama, terutama dalam hal pembangunan pembiayaan negara untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat banyak. Mislanya dalam UU No.38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat BAB IV pasal 14 ayat 3 bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada
badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat dikurangi
laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hal ini merupakan suatu bentuk
politik tersendiri yang bertujuan untuk mengakomodasi keinginan kaum muslim di
indonesia, agar pembayaran zakat di dahulukan daripada pajak, sekaligus zakat
tersebut dapat mengurangi biaya pembayaran pajak. Walaupun terdapat beberapa
persamaan antara zakat dan pajak, namun tetap saja keduanya berbeda.
Zakat
adalah sistem keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang
ditentukan, karena zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat
fitrah, dan kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal
dan pendapatan seperti halnya zakat mal pada umumnya. Zakat adalah
sumber keuangan dalam islam yang terus menerus. Karena fungsinya yang sangat
banyak, seperti halnya dapat digunakan untuk membebaskan orang (muslim) dari
kesusahan dan menanggulangi kebutuhan mereka dalam bidang ekonomi, dan zakat
merupakan cara yang prakstis untuk mengumpulkan kekayaan dan menjadikanya agar
dapat berkembang. Secara filosofis sosial, zakat diartikan deengan prinsip “keadilan
sosial” dan dilihat dari segi kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang
berhubungan dengan distribusi pendapatan masyarakat, pemerataan kegiatan
pembangunan atau pengentasan kemiskinan. Dengan zakat disatu sisi terjadi
proses transfer konsumsi dari pemilikan sumber-sumber ekonomi, sementara disisi
lain merupakan perluasan kegiatan produktif ditingkat bawah. Zakat pada intinya
adalah suatu sistem kegiatan politik, karena pada dasarnya negaralah yang
mengelola pemungutan dan pembagianya terhadap sasaranya dengan memperhatikan
asas keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan. dan hal itu
semua dilakukan dengan menggunakan sarana yang kuat dan terpercaya, yaitu Amil
Zakat, sebagaimana juga sasaran (penerima) zakat itu sesuatu yang menjadi
urusan negara, seperti mualllaf dan sabilillah.[15]
Didalam
negara islam zakat merupakan salah satu sumber pemasukan keuangan negara.
Berbeda dengan indonesia yang pada umumnya anggota masyarakat langsug menyerahkan
zakatnya kepada yang berhak, walupun sudah berjalan penyerahan zakat kepada
BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah). Namun Proses pengaturan zakat oleh lembaga-lembaga
tersebut masih belum jelas, padahal UU zakat sudah dilegalkan. Negara indonesia
merupakan negara yang tidak menangani langsung pengelolaan zakat, dan juga
pemerintahanya memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, namun
pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua atau sebgaian dari
delapan ashnaf. penggunaan zakat yang dapat kita diketahui lewat GBHN,
pelita dan APBN nya, maka apakah pembayaran pajaknya bisa diniati sebagai
pembayaran zakatnya, atau dicarikan solusi lain untuk menghindari kewajiban
rangkap yang bisa memberatkan. Namun
jika kita melihat Sistem perpajakn sekarang ini memang sesuai dengan
hukum-hukum syari’at islam, selama pajak tersebut dikeluarkan dari orang yang
wajib mengeluarkanya, serta berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan
bersama. Para ulama dan ilmuawan sepakat bahwa sebagian hak orang-orang kaya
wajib untuk dipungut pajak, namun pajak tersebut tidak dapat menggantikan wajib
zakatnya. Misal, seseorang telah membayar pajak 15% dari pengahsilan neto 1
tahun, yang melebihi jumlah zakat yang hanya 2,5%, maka pembayaran pajak tersebut
tidak boleh serta diniati pembayaran zakatnya.
Terlepas dari
berbagai perbedaan pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya hal yang perlu
dikedepankan dalam kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep tentang
kemaslahatan dan keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya)
harus mengeluarkan zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan
sebagai warga negara dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban
horizontalnya kepada negara.[16]
Di samping
berbagai politik yang ada di balik UU tentang zakat, yang perlu diketahui zakat
juga memperbaiki perasaan-perasaan yang buruk yang timbul diantara orang-orang
yang kaya dan miskin, dan memperbaiki hubungan antara mereka yang mengeluarkan
zakat dengan kelompok-kelompok yang menerima zakat, sehingga ketika mereka yang
kaya tidak akan khawatir ketika mengalami kerugian dan kendala dalam berdagang,
karena mereka akan mendapatkan bantuan dari orang lain. Zakat juga memperkuat keihklasan
jiwa, dengan keihlasan dan saling memahami, maka akan trejadi kerjasama soisal.[17]
Sebagai subjek
pembahasan dalam keuangan publik islam, zakat tidak bisa dinilai hanya dari
aspkek politiknya saja, meskipun aspek zakat ini adalah aspek yang menunjukkan
gambaran karakteristiknya sebagai institusi keuangan publik dalam pemgertian
konvensiuonal. Aspek ritual zakat mempertahankan karakternya sebagai institusi
khusus keuangan publik dari sudut pandang islam, sebab zakat harus didistribusikan
kepada publik. Karennaya, karakter khas zakat terletak pada fakta aspek
pendistribusianya lebih penting dari pengumpulanhya.[18]
IV.
Kesimpulan
Dengan
kewajiban zakat, nyatalah bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak tanpa
adanya ikatan-ikatan syari’at. Tapi didalam hak milik itu ada suatu tugas
sosial yang wajib ditunaikan sebagai makhluk sosial. Dalam UU No.
38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “pengelolaan zakat adalah kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan
dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang
untuk mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh
pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat.
Dalam hal ini pemerintah berkewajiban
memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq
dan pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999 (yang saat ini
sudah diganti dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin pengelolaan
zakat sebagai amanah agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur
pertimbangan dan unsur pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan,
masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap
penyelewengan-penyelewengan.
Zakat yang
mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam yang
ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya kepada
yang lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat secara
konsumtif, namun diballik sisi konsumtif
yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat,
juga terdapat tujuan untuk hal produktif, seperti menambah modal usaha,
pengembangan dana, dll. Hal itu berarti zakat dapt dijadikan sebagai upaya
pengentasan kemiskinan dan menciptalan kesejahteraan umat
Zakat adalah sistem
keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan, karena
zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat fitrah,
dan kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal dan pendapatan
seperti halnya zakat mal pada umumnya. Zakat pada intinya adalah suatu sistem
kegiatan politik, karena pada dasarnya negaralah yang mengelola pemungutan dan
pembagianya terhadap sasaranya dengan memperhatikan asas keadilan, dan memenuhi
kebutuhan masyarakat yang membutuhkan. Terlepas dari berbagai perbedaan
pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya hal yang perlu dikedepankan dalam
kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep tentang kemaslahatan dan
keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya) harus mengeluarkan
zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan sebagai warga negara
dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban horizontalnya kepada
negara.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ba’ly, Abdul Al Hamid Mahmud. Ekonomi Zakat; Sebuah
Kajian Moneter Dan Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006.
Ed 1.
Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian
Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. Cet 1.
Ali, Nurudin Mhd. 2006. Zakat
Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn Fiskal. Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada.
Ed 1.
Hasan, Muhamad.
Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea Press.
2011. Cet 1.
Mufraini, Arif.
Akuntansi Dan Manajemen Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan Membangun
Jaringan. Jakarta; Kencana. 2006. Cet 1.
Sari, Elsi
Kartika Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006
Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat
Dan Pajak. Yogyakarta; Pusat Studi Zakat. Cet 1
Sulaiman. AR, Dahlan. Dkk. 2010. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai Penelitian Dan
Pengembangan Agama Semarang. Cet 1.
Supena, Ilyas. Darmu’in. 2009. Manajemen Zakat.
Semarang; Walisongo Pers. Cet 1.
Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun
1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id.
tanggal 30 September 2014.
Zuhri, Saifudin.
Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011. 2012.
Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. Cet 1.
[1] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi
(Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011. Semarang; Fak Tarbiyah Iain
Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 10.
[2] Sulaiman,
Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai
Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm V.
[3] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi
(Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011. Semarang; Fak Tarbiyah Iain
Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 2.
[4] Ilyas Supena, Darmu’in. Manajemen Zakat.
Semarang;Walisongo Pers.2009. Cet 1. Hlm 62.
[5] Abdul
Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan
Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 125.
[6] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat.
Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang.
2010. Cet 1. Hlm 1, 10.
[7] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model
Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea Press. 2011. Cet 1. Hlm 15.
[9] Undang-Undang
Zakat No. 38 Tahun 1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id. tanggal 30 September
2014.
[10] Arif Mufraini. Akuntansi Dan Manajemen
Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan Membangun Jaringan. Jakarta;
Kencana. 2006. Cet 1. Hlm 191-192.
[11] Elsi Kartika Sari. Pengantar Zakat dan
Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006. Hlm 89.
[12] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model
Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea Press. 2011. Cet 1. Hlm 38.
[13] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi
(Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011. Semarang; Fak Tarbiyah Iain
Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 111.
[14] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat.
Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang.
2010. Cet 1. Hlm 5, 22.
[15] Nurudin Mhd.Ali. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn
Fiskal. Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 49 57 152 153.
[16] Kutbuddin
Aibak. Kajian Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Cet 1. Hlm157 164 171
[17] Abdul
Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan
Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 134.
[18] Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam:
Reinterpretasi Zakat Dan Pajak. Yogyakarta; Pusat Studi Zakat. 2004.
Cet 1. Hlm 200.
Komentar
Posting Komentar