PERKAWINAN ANTAR (PEMELUK) AGAMA MENURUT ULAMA’ KLASIK dan KONTEMPORER
PERKAWINAN ANTAR (PEMELUK) AGAMA MENURUT ULAMA’ KLASIK dan
KONTEMPORER
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Perbandingan Hukum Perdata
Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr.
Ahmad rofiq, MA.

Disusun
oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Perkawinan Antar (Pemeluk) Agama Menurut Ulama’ Klasik dan
Kontemporer
I.
Pendahuluan
Tujuan
utama dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga seutuhnya, dan sesuai
dengan ajaran islam yang telah diajarkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhamad
SAW, dan dituangkan dalam firma-NYA.
Di
dalam islam dikenal adanya perkawinan beda agama, hal ini telah dijelaskan dalam
firman-NYA bahwa perkawinan dengan Ahl Alkitab[1] diperbolehkan.
Ulama’ dalam madzhab-madzhab trertentu berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan
beda agama dan juga memiliki pandangan tersendiri tentang tafsiran Ahl
Alkitab. Namun sebagian besar ulama’ memberikan kesimpulan bahwa perkawinan
beda agama hukumnya makruh atau malah mendekati kata haram, karena
dikhawatirkan agama (islam) yang akan dipertaruhkan. Tapi pemberian hukum
tersebut masih memberikan peluang bahwa laki-laki muslim dapat menikahi wanita Ahl
Alkitab. Seiring dengan berkembangnya zaman, pemikiran ulama’ klasik mulai
ditinggalkan oleh ulama’ kontemporer saat ini, karena mengingat bahwa Ahl
Alkitab yang ada saat ini tidak mungkin dapat disamakan dengan yang ada
pada zaman dahulu.
Dalam
tulisan ini, pemakalah akan mencoba membahas tentang perbandingan pandangan
ualma’ klasik dan kontemporer mengenai perkawinan antar (pemeluk) agama, dan
juga apa yang menyebabkan perbedaan pandangan diantara ulama’ klasik dan
kontemporer.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.
Definisi
Perkawinan Beda Agama !
B.
Konsep Perkawinan Beda
Agama dalam Pandangan Ulama’ Klasik !
C.
Konsep Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Ulama’
Kontemporer !
III.
Pembahasan
A.
Definisi
Perkawinan Beda Agama
Perkawinan
adalah hubungan dua manusia yang setara. Pemilihan pasangan adalah batu pertama
fondasi bangunan rumah tangga, ia harus sangat kukuh, karena kalau tidak,
bangunan tersebut akan roboh. Kendati hanya dengan sedikit goncangan. Apalagi
jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak. Fondasi
kukuh tersebut bukan kecantikan atau ketampanan, karena keduanya bersifat
relatif, sekaligus cepat pudar; bukan pula harta, karena harta mudah didapat dan
sekaligus mudah lenyap; bukan pula status sosial ataupun status kebangsawanan,
karena yang ini pun sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Fondasi yang kukuh
adalah nilai-nilai spriritual yang dianut.[2]
Melalui
perkawinan, syariat islam tidak hanya ingin merealisir maslahat duniawi dan
kesejahteraan material belaka, akan tetapi ingin merealisir kesejahteraan
duniawi dan rohani bersama-sama, dan ingin menjadikan perkawinan sebagai sarana
untuk peningkatan dan perbaikan akhlak, membersihkan masyarakat dari
perbuatan-perbuatan asusila, menciptakan suatu sistem islam yang murni dalam
masyarakat dan berupaya untuk membentuk suatu umat yang beriman kepada Allah
SWT. Dalam pembentukan pondasi masyarakat inilah, syari’at islam menghendaki
agar dasar dan perekatnya adalah agama islam, dan perkawinan adalah salah satu
dari pondasi terkuat yang ada dalam lingkungan masyarakat.[3]
Al
Qur’an tidak banyak memberi petunjuk tentang bentuk dan cara-cara pernikahan
yang sah, namun setidaknya Allah telah memberikan kita pegangan melalui
firman-NYA. Al Qur’an memberi kesan bahwa dalam pernikahan mempelai pria
merupakan pihak yang mempunyai wewenang lebih.[4] Dalam
Al Qur’am juga ditunjukan beberapa hal yang dapat menghalangi pernikahan, salah
satunya adalah adanya perbedaan agama. Seperti yang telah Allah jelaskan dalam
surah Al Baqarah ayat 221.
wur
(#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4 ×ptBV{ur
îpoYÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
7px.Îô³B
öqs9ur
öNä3÷Gt6yfôãr&
3 wur
(#qßsÅ3Zè?
tûüÏ.Îô³ßJø9$#
4Ó®Lym
(#qãZÏB÷sã
4 Óö7yès9ur
í`ÏB÷sB
×öyz
`ÏiB
78Îô³B
öqs9ur
öNä3t6yfôãr&
3 y7Í´¯»s9'ré&
tbqããôt
n<Î)
Í$¨Z9$#
( ª!$#ur
(#þqããôt
n<Î)
Ïp¨Yyfø9$#
ÍotÏÿøóyJø9$#ur
¾ÏmÏRøÎ*Î/
( ßûÎiüt7ãur
¾ÏmÏG»t#uä
Ĩ$¨Y=Ï9
öNßg¯=yès9
tbrã©.xtGt
ÇËËÊÈ
“(Dan)
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”. (Qs Al-Baqoroh: 221).
Walaupun
demikian, Al Qur’an masih mengizinkan pria muslim untuk menikah dengan wanita
non muslim, dengan syarat (agama) wanita tersebut adlah wanita yang tergolong
dalam Ahlikitab dan juga memiliki kitab suci yang Allah turunkan sebelum islam datang, dan
wanita tersebut termasuk wanita yang menjaga kehormatanya (muhsonat),
karena hal lain yang mnejadi penghalang pernikahan adalah tentang kemurniaan
(kehormatan).
Dari
penjelasan tersebut menunjukkan bahwa terdapat syarat lain yang menjadikan halalnya
seorang mulsim menuju perkawinan beda agama. Penjelasan Penghalalan pernikahan
beda agama bersyarat ini di jelaskan dalam Al Qur’an Al Maidah ayat 5.[5]
tPöquø9$#
¨@Ïmé&
ãNä3s9
àM»t6Íh©Ü9$#
( ãP$yèsÛur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
@@Ïm
ö/ä3©9
öNä3ãB$yèsÛur
@@Ïm
öNçl°;
( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
!#sÎ)
£`èdqßJçF÷s?#uä
£`èduqã_é&
tûüÏYÅÁøtèC
uöxî
tûüÅsÏÿ»|¡ãB
wur
üÉÏGãB
5b#y÷{r&
3 `tBur
öàÿõ3t
Ç`»uKM}$$Î/
ôs)sù
xÝÎ6ym
¼ã&é#yJtã
uqèdur
Îû
ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ÎÅ£»sø:$#
ÇÎÈ
“pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi”
(Qs Al Maidah: 05).
Terhadap
ayat tersebut Al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i kebolehan seorang
laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah, yaitu apabila mereka bergama
menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkanya Al Qur’an. Namun setalh
diturunkanya Al Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut,
maka tidak termasuk Ahlikitab. sementara menurut tiga madzhab lainya, Hanafi,
Maliki dan Hambali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini
wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama Ahlikitab tersebut telah dinaskah.[6]
Al
Qur’an membagi kelompok non muslim dalam konsteks perkawinan beda agama kedalam
tiga kategori, yakni; klompok musyrik, kafir dan ahlikitab. Ulama’ masih
berbeda pendapat tentang kelompok mana saja yang dapat dikatagorikan kedalam
kelompok-kelompok tersebut. Pada umumnya, pengertian musyrik diletakkan pada
kelompok yang menyekutukan Tuhan atau mengakui ada tuhan lain selain Allah SWT,
seperti penyembah api, berhala, dll. Lalu kafir pada umumnya dimaknai semua
orang yang bukan muslim. Sementara Ahlikitab adalah penganut agama yang
memiliki kitab suci atau penganut agama-agama samawi, seperti yahudi dan
kristen.[7]
Ayat
tersebut merupakan ayat madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang
pernikahan dengan orang-orang musryrik (yang telah dijelaskan pada surat Al
Baqarah ayat 221 diatas), sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat disebut
dengan ayat revolusi, karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan bagi
masyarakat muslim pada saat itu, perihal pernikahan dengan non muslim. Ayat
tersebut dapat berfungsi dua hal sekaligus, yaitu; penghapus (nasakh)
dan pengkhusus (mukhashish) dari ayat sebelumnya yang melarang
pernikahan dengan orang-orang musyrik. Dalam kaidah fiqh dapat di ambil
kesimpulan, bila terdapat dua ayat yang bertentangan anatara yang satu dengan
yang lainya, maka diambilah ayat yang
lebih akhir diturunkan.[8]
B.
Konsep Perkawinan Beda
Agama dalam Pandangan Ulama’ Klasik
Di
dalam agama islam dikenal adanya perkawinan antar (pemeluk) agama, yang mana
hal tersebut telah dijelakan Allah dalam firman-NYA pada ayat Al Qur’an ,namun
hal itu hanya terbatas pada laki-laki yang dapat menikahi wanita non muslim, dalam
hal itu saja, wanita yang boleh dinikahi adalah wanita Ahlikitab yang
dapat menjaga kehormatanya, lagi dapat memegang teguh ajaran kitab agamanya.[9]
Menurut Imam syafi’i boleh memadu
(menggabungkan) wanita muslimah dengan wanita ahlikitab, diperkenankan
pula berpoligami dengan empat wanita ahlikitab. Wanita ahlikitab
pada seluruh (proses) pernikahanya dan seluruh hukum-hukumnya dalam masalah
halal dan haram sama seperti wanita muslimah tanpa ada perbedaan sedikitpun.
Tidak boleh menikahi wanita ahlikitab keculai dihadiri dua saksi yang
adil dan beragama islam, serta wali dari pengikut agamanya.[10]
Terdapat
dua pendapat (yang umum) tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita
Ahlikitab:
1.
Pernikahan laki-laki
muslim dengan wnaita Ahlikitab diperbolehkan, pendapat ini menurut Jumhur
Ulama’, yakni; madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali. Hal ini
didasarkan pada firman Allah Al Maidah ayat 5, seperti yang telah dijelsakan
diatas.
2.
Seorang laki-laki tidak
diperbolehkan menikahi wanita Ahlikitab pendapat ini menurut golongan Syi’ah
Imamiyah. Pendapat ini di dasarkan pada firman Allah “Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” Al Baqarah ayat 221.
Jumhur Ulama’ tidak sependapat dengan
apa yang menjadi dasar dari golongan syi’ah imamiyah, menurut jumhur ulama’ firman
Allah “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman” Al Baqarah ayat 221. Ayat ini telah di-naskh oleh ayat lain
dalam surat dalam surat Al Maidah ayat 5 ““pada hari ini Dihalalkan bagimu
yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu.” Menurut Jumhur Ulama’ alasan yang diajukan oleh
golongan Syi’ah Imamiyah bersifat umum, yang dapat berlaku bagi setiap wanita
kafir, sedangkan alasan yang diajukan oleh Jumhur Ulama’ lebih bersifat khusus,
padahal yang khusus harus lebih didahulukan.
Didalam Al Qur’an dijelaskan bahwa
antara musyrik dan Ahlikitab itu berbeda, musyrik tidak
dapat disamakan dengan Ahlikiab.[11] Imam syafi’i menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlikitab
adalah orang-orang yahudi atau nasrani yang berasal dari keturunan Bani Israil,
sedangkan bangsa-bangsa lain yang ikut-ikutan mengadopsi agama-agama yahudi
atau kristen sebagai agamanya, maka tidak termasuk dalam kategori Ahlikitab.
Dengan alasan bahwa Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s tidak diutus kecuali kepada
Bani Israil, dan dakwahnya pun tidak diperuntukkan untuk semua bangsa di dunia
selain bangsa Israil. Pendapat imam syafi’i ini dilandaskan pada sebuah hadits
yang bersandar pada Rasulullah SAW.
وكان
النبي يبعث فى قومه خاصة وبعثت إلى النا س عامة.
“Adalah nabi-nabi terdahulu itu diutus kepada kaumnya
(bangsanya) sedangkan aku (Nabi Muhamad) diutus untuk seluruh manusia”.
Dalam konteks ini maka, pengertian Ahlikitab
jika dilihat adalah suatu generasi atau kaum yang telah musnah (ringkasnya),
kata Ahlikitab merupakan identitas sekelompok manusia yang telah tiada
ciri dan tandanya untuk saat ini. Dengan demikian, pemeluk agama kristen
tidaklah menjadikan ia tergolong dalam golongan Ahlikitab. Sebab yang
dimaksud Ahlikitab hanyalah orang-orang Bani Israil dan orang-orang yang
diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Sedangkan orang-orang selain
mereka yang mengikuti ajaran kristen tidaklah termasuk dalam istilah Ahlikitab.[12]
Al Qur’an secara cermat dan jelas
membedakan pengertian antara kaum musyrik dan Ahlikitab, dalam
surat Al Bayyinah ayat 1.
óOs9 Ç`ä3t tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$#
tûüÏ.Îô³ßJø9$#ur tûüÅj3xÿZãB
4Ó®Lym
ãNåkuÏ?ù's?
èpuZÉit7ø9$# ÇÊÈ
“orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata.”
Pada
ayat diatas Al Qur’an menggunakan kata hubung “dan” antara kafir ahlikitab
dan kafir musyrik, hal ini menunjukkan bahwa kedua kata tersebut
mempunyai makna yang berbeda.[13]
Perbedaan lain dari wanita musyrik
dan Ahlikitab adalah perempuan musyrik tidak mempunyai agama (ajaran) yang
mengahramkanya berbuat khianat, mewajibkan berbuat amanah, dan menyuruhnya
berbuat baik. Apa yang dikerjakanya terpengaruh oleh ajaran-ajaran kermusyrikan,
dan bayangan-bayangan dari bisikan setan. Oleh karena itu, mereka cenderung
dapat berkhiyanat kepada suaminya dan merusak Aqidah agama anak-anaknya. Adapun
perempuan Ahlikitab, mereka percaya kepada Allah dan para Nabi, juga
hari ahir. Perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah mengenai keimanan dan
percaya kepada Nabi Muhamad SAW.[14]
Seorang wanita yang salah satu dari
kedua orang tuanya bukan dari Ahlikitab (entah bapak atau ibunya), tidak
dianggap sebagai wanita Ahlikitab murni. ulama’ yang bermadzhab Hambali
telah berkata bahwa wanita yang seperti itu telah diharamkan bagi umat islam
mengawininya. Ulama’ syafiiyah berpendapat bahwa apabila bapaknya bukan Ahlikitab,
maka wanita itu dinisbatkan kepada bapaknya, sehingga wanita itu tidak dianggap
wanita Ahlikitab, dan haram bagi seorang muslim mengawininya. Pendapat-pendapat
ulama’ tentang hukum dari perkawinan
seorang muslim dengan wanita ahlikitab, dimana mereka berusaha untuk mempersempit
ruang perkawinan itu dengan segala cara, ataupun memepersulit, semoga Allah
memberikan petunjuk bagi mereka kearah jalan yang benar. Seorang muslim
diperbolehkan untuk menikahi wanita ahlikitab ketika dalam keterpaksaan,
sehingga tidak terjatuh dalam perbuatan haram, sebagaimana Allah berfirman
dalam penutup ayat 5 dari surat al maidah yang merupakan teguran dan peringatan
bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim sangat
membahyakan keimanan. Maka, apabila zhahir syari’at islam membolehkan umatnya
melakukan perkawinan dengan wanita non muslim, hal itu hanya diperbolehkan pada
kondisi yang mendesak, dan pembolehan itu menempati posisi keringanan (rukhsoh).[15]
Disisi lain Jumhur ulama’ yang telah
sepakat tentang diperbolehkanya pernikahan dengan wanita Ahlikitab juga
masih berbeda pendapat, apakah pernikahan itu diperbolehkan secara mutlak?,
ataukah diperbolehkan disertai makruh?. Dari perbedaan pendapat tersebut
mayoritas mengatakan bahwa kebolehanya disertai dengan makruh, karena mengingat
pengaruhnya terhadap agama, kondisi keluarga dan juga masyarakat.[16]
Jika perkawinan laki-laki muslim dengan wanita
ahlikitab itu diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al
Qur’an, maka untuk wanita muslimah yang dinikahi oleh laki-laki non muslim
tetap tidak diperbolehkan. Rasio (dasar pemikiran) kenapa Allah memberikan
dispensasi perkawinan hanya untuk laki-laki muslim, diantaranya adalah; Allah
melebihkan sebagian laki-laki dari wanita. Oleh karena itu laki-laki di beri
hak untuk mejadi kepala rumah tangga, dan juga diberi kewajiban untuk
memberikan nafkah, dan, menjadi wali atas pernikahan anak-anak mereka. Dilihat
dari hal-hal tersebut, maka seorang laki-laki harus berwibawa, memegang teguh
ajaran agama, dan bertindak sebagai nahkoda kapal untuk mengarungi bahtera
hidup dalam rumah tangga.[17]
Para ulama’ sepakat bahwa perempuan
muslim tidak halal menikah dengan laki-laki bukan muslim, sekalipun ahlikitab.
Alasanya pada firman Allah;
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä
#sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$#
;NºtÉf»ygãB
£`èdqãZÅstGøB$$sù (
ª!$#
ãNn=÷ær&
£`ÍkÈ]»yJÎ*Î/
(
÷bÎ*sù
£`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB
xsù
£`èdqãèÅ_ös? n<Î)
Í$¤ÿä3ø9$# (
w
£`èd
@@Ïm
öNçl°;
wur
öNèd
tbq=Ïts £`çlm; (..
ÇÊÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”...(
Qs. Al mumtahanah: 10).
Pertimbangan dari ketentuan ini adalah
karena ditangan suamilah kekuasaan terhadap istrinnya, dan istri juga wajib
taat kepada suaminya. Selain itu orang kafir tidak peduli akan agama istrinya
yang muslim, bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran
nabinya.[18]
Namun jika kita telaah kembali, Pernikahan
wanita muslimah dengan laki-laki non muslim merupakan wilayah ijtihadi dan
terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah islam pada saat itu,
yang mana jumlah umat islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar
agama merupakan sesuatu yang terlarang. Namun, karena kedudukanya sebagai hukum
yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat
baru, bahwa wanita muslim dapat menikahi laki-laki non muslim. Namun permasalahanya
adalah, masih adakah (laki-laki) ahlikitab saat ini?.[19]
C.
Konsep Perkawinan Beda
Agama dalam Pandangan Ulama’ Kontemporer
Dalam
pendapat jumhur ulama’ klasik telah dijelaskan
bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlikitab diperbolehkan,
baik nashrani maupun yahudi. yang dimksudkan wanita Ahlikitab yang dapat
dinikahi adalah mereka yang menjaga kehormatanya, tidak hanya dengan ketentuan
mereka yang memegang teguh kitab Injil dan Taurat. Inilah yang ditegaskan dalam
ayat Al Qur’an.
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
`ÏB
öNä3Î=ö6s%
“Dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu”.
(Qs Al Maidah: 05).
Dalam melaksanakan
pernikahan dengan Ahlikitab, hendaknya melihat akhlak wanita Ahlikitab
tersebut. Sebab, sebagaimana yang sudah diketahui bersama, Injil dan Taurat
yang tersebar pada zaman sekarang bukan merupakan kitab yang murni, didalamnya
banyak terdapat revisi, disusupi berbagai khurafat dan acara-acara keagamaan
yang diada-adakan oleh segolongan mereka sendiri, tidak seperti yang diturunkan
oleh Allah. Dalam fakta kehidupan saat ini, Pada zaman sekarang wanita
ahlikitab (jika dilihat dari segi eksistensi agama; yahudi dan nasrani) justru
lebih bercorak pada kehidupan bebas, sehinggan sangat janggal jika corak
kehidupan itu dinisbatkan dengan ajaran dalam kitab para Nabi Allah terdahulu.
Apabila pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Ahlikitab tidak membawa
kemaslahatan, sebab bagaimanapun juga, keberadaan wanita non muslimah didalam
keluarga, masyarakat bahkan agama, akan memberi warna yang berbeda dengan
wanita yang muslimah. Karena suatu masyarakat akan terbentuk mulai dari adanya
keluarga.[20]
Indonesia
menganut hukum larangan beda agama secara mutlak, dan kemudian pandangan
tersebut dilegalkan negara melalui kompilasi hukum islam (KHI) yang disahkan
dengan Inpres no 1. Tahun 1991 dan tafsir atas UU perkawinan no 1 tahun 1974.
Karena itu tidak ada ruang terhadap pernikahan lintas agama di Indonesia.
Namun, meskipun begitu, jumlah pasangan yang menikah lintas agama tetap saja
bertambah dan secara mudah ditemukan dalam realitas sosiologis di masyarakat.
Sejumlah kiat mereka lakukan, misalnya untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti
legal pernikahan, mereka melangsungkan pernikahan diluar negri yang membolehkan
perkawinan beda agama, seperti; singapura, hongkong, australia. Dan (anehnya)
kemudian keterangan yang diterbitkan oleh lembaga pernikahan luar negri
tersebut dapat menjadi rujukan bagi kantor catatan sipil untuk melakuakn
pencatatan pernikahan. Dan kiat lianya adalah dengan cara salah satu dari
pasangan pura-pura konversi agama, dan setelah itu mereka kembali ke agamanya
semula, dan hal ini dilakukan semata untuk memenuhi syarat admnistratif.[21]
Perkawinan antar
pemeluk agama tidak diatur dalam undang-undang perkawinan (indonesia), didalam
kompilasi hukum islam terdapat bab larangan perkawinan dalam pasal 40 poin C
yang menjelaskan bahwa “dilarang melangsungkan perkawinan anatar seorang
pria dengan seorang wanita karena seorang wanita yang tidak beragama islam”.
Kemudian dalam pasal 44 yang menjelaskan bahwa “seorang wanita islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam”.
Hal ini berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang membolehkan
perkawinan antara orang muslim dengan wanita ahlikitab yang beragama yahudi dan
nashrani, karena dianggap wanita kitabiyah berpedoman kepada kitab yang aslinya
berasal dari wahyu Allah.
Apabila
diperhatikan ketentuan hukum dalam pasal 40 dan 44 kompilasi hukum islam,
menurut penulis (Prof. Dr. Ahmad rofiq, MA) selain
menngambil pendapat Imam Syafi’i yang melihat keberadaan kitab mereka, dinasakh
oleh Al Qur’an, sehingga perkawinan antara (pemeluk) islam dengan selain islam
tidak diperbolehkan, juga dibangun atas dasar kajian empiris, bahwa realitasnya
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, lebih banyak menimbulkan
persoalan, karena terdapat hal-hal prinsipal yang berbeda.[22]
Mungkin
inilah beberapa faktor yang menjadi penyebab dilarangnya pernikahan beda agama
di beberapa negara, termasuk indonesia. menurut majelis ulama’ indonesia (MUI)
berdasarkan musyawaroh nasional I tanggal 26 Mei- 1 Juni 1980 di jakarta, yang
telah (atau) diumumkan kembali pada tanggal 8 Nopember 1986, mengeluarkan fatwa
bahwa mengharamkan perkawinan antara orang-orang muslim dengan non muslim,
termasuk yang dimaksudkan adalah perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlikitab
(yahudi atau nasrani) dengan pertimbangan karena mafsadatnya (bahayanya)
lebih besar dari maslahatnya.[23]
Menikah dengan
perempuan ahlikitab sekalipun boleh tetap dianggap makruh, karena adanya
rasa tidak aman dari ancaman keagamaan, bahkan sebagian ulama’ memandang bahwa
menikahi permpuan ahlikitab adalah haram hukumnya. Pada zaman dahulu Islam
memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahlikitab diantaranya
adalah untuk membantu laki-laki muslim dalam menjaga nafsunya ketika harus
pergi jauh dalam peperangan, dan juga untuk menghilangkan rintangan-rintangan
hubungan antara ahlikitab dengan kaum muslim, karena dengan pernikahan
terjadilah percampuran, dan merupakan bentuk dakwah islam terhadap mereka, hal
itu merupakan alasan pada zaman dahulu. Jika kita melihat pada saat ini
perkembangan islam yang semakin luas, mungkin hal itu tidaklah harus
menjadi bahan pertimbangan lagi dalam
memberikan keringanan pada laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahlikitab.
Jadi itulah salah satu dari beberapa hal yang dipertimbangkan dalam menetapkan
diharmkanya perkawinan dengan ahlikitab oleh ulama’ kontemporer.[24]
IV.
Kesimpulan
Pemilihan
pasangan adalah batu pertama fondasi bangunan rumah tangga, ia harus sangat
kukuh, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh. Di dalam agama islam
dikenal adanya perkawinan antar (pemeluk) agama, namun hal itu hanya terbatas
pada laki-laki yang dapat menikahi wanita non muslim, dalam hal itu saja,
wanita yang boleh dinikahi adalah wanita ahlikitab yang dapat menjaga
kehormatanya lagi dapat memegang teguh ajaran kitab agamanya. ahlikitab
jika dilihat adalah suatu generasi atau kaum yang telah musnah (ringkasnya),
kata ahlikitab merupakan identitas sekelompok manusia yang telah tiada ciri
dan tandanya untuk saat ini. Jika perkawinan laki-laki muslim dengan wanita
ahlikitab itu diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al
Qur’an, maka untuk wanita muslimah yang dinikahi oleh laki-laki non muslim
tetap tidak diperbolehkan. Dalam melaksanakan pernikahan dengan Ahlikitab,
hendaknya melihat akhlak wanita Ahlikitab tersebut. Dalam fakta kehidupan saat
ini, Pada zaman sekarang wanita ahlikitab justru lebih bercorak pada
kehidupan bebas, sehinggan sangat janggal jika corak kehidupan itu dinisbatkan
dengan ajaran dalam kitab para Nabi Allah terdahulu. perkembangan islam yang
semakin luas, mungkin hal iti tidak lah harus menjadi bahan pertimbangan lagi dalam memberikan
keringanan pada laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahlikitab. Jadi
itulah salah satu dari beberapa hal yang dipertimbangkan dalam menetapkan diharamkanya
perkawinan dengan ahlikitab oleh ulama’ kontemporer.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Jabry, Abdul
Mutaal Muhamad. 1998. Jarimatuz Zawaj Bighoiril Muslimati Fiqhan
Wasiyasatan (Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam). Penj; Achmad
Syathori. Jakarta: Bulan Bintang.
Al Jabry, Abdul Muta’al. 2003. Jariimat Az
Zawaaj Bighairill Muslimat (Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Non Muslim?
Dalam Tinjauan Fiqh Dan Politik). Penj; Ahmad Riva’i Usman, Abdul Syukur,
Abdul Razak. Jakarta; Gema Insani Press.
Hamidah, Tutik. 2011. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender.
Malang; Uin Maliki Press. Cet 1
Humaidhy,
Syaikh Bin Abdul Aziz Bin Muhamad Al Humaidy. 1992. Ahkamju
Nikahil-Kuffar Alal Madzahibil-Arba’ah (Kawin Campur Dalam Syari’at Islam).
Penj ; Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar. Cet 1.
Madjid, Nurcholis
Dkk. 2004. Fiqh Lintas Agama ; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.
Jakarta; Paramadina.
Purwahadiwardoyo.
1990. Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik (implikasinya dalam kawin
campur). Yogyakarta: Kanisius.
Ramulyo, Moh Idris.
1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, Dan
zakat Menurut Hukum Islam. Jakrta; Sinar Grafika,. Cet 1.
Rofiq, Ahmad. 1997. Hukum Islam
Di Indonesia. Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada. Hlm Ed 1. Cet 1.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqh Sunnah
II (Fiqh Sunnah). Penj; Nor Hasanuddin. Jakarta; Pena Pundi Aksara. Cet 1.
Syafi’, Imam Abu Abdullah Muhamad Bin Idris. 2012. Ringkasan Kitab Al Umm (Mukhtashar Kitab
Al Umm Fi Al Fiqh). Penj ; Imron Rosadi, Anirudin, Awaluddin Imam. Jakarta;
Pustaka Azzam.
Shihab, M Quraish. 2010. M
Quraish Shihab Menjawab (101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui).
Jakarta; Lentera Hati.
[2] M Quraish Shihab. M Quraish Shihab
Menjawab (101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui). Jakarta; Lentera
Hati.2010. Hlm 92.
[3]Abdul Mutaal Muhamad Al Jabry. Jarimatuz
Zawaj Bighoiril Muslimati Fiqhan Wasiyasatan (Perkawinan Campuran Menurut
Pandangan Islam). Penj; Achmad Syathori. Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Hlm 28.
[4] Purwahadiwardoyo. Perkawinan Menurut Islam
Dan Katolik(implikasinya dalam kawin campur). Yogyakarta: Kanisius. 1990.
Hlm 43.
[6] Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia.
Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada. Hlm 1997. Ed 1. Cet 1. Hlm 345.
[7] Tutik Hamidah. Fiqh Perempuan Berwawasan
Keadilan Gender. Malang; Uin Maliki Press. 2011. Cet 1. Hlm 144.
[8] Nurcholis Madjid, Dkk. Fiqh Lintas Agama ;
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta; Paramadina. 2004. Hlm
162-163.
[9] Purwa Hadiwardoyo. Perkawinan Menurut
Islam Dan Katolik (Implikasinya Dalam Kawin Campur). Yogyakarta: Kanisius.
1990. Cet 1. Hlm 58.
[10] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhamad Bin Idris. Ringkasan
Kitab Al Umm (Mukhtashar Kitab Al Umm Fi Al Fiqh). Penj ; Imron Rosadi,
Anirudin, Awaluddin Imam. Jakarta; Pustaka Azzam. 2012. Hlm 433
[11] Syaikh Humaidhy Bin Abdul Aziz Bin Muhamad Al
Humaidy. Ahkamju Nikahil-Kuffar Alal Madzahibil-Arba’ah (Kawin Campur Dalam
Syari’at Islam). Penj ; Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar.
1992. Cet 1. Hlm 23-27.
[12]Abdul Mutaal Muhamad Al Jabry. Jarimatuz
Zawaj Bighoiril Muslimati Fiqhan Wasiyasatan (Perkawinan Campuran Menurut
Pandangan Islam). Penj; Achmad Syathori. Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Hlm 22-25.
[13] Nurcholis Madjid, Dkk. Fiqh Lintas Agama ;
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta; Paramadina. 2004. Hlm 155.
[14] Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah II (Fiqh
Sunnah). Penj; Nor Hasanuddin. Jakarta; Pena Pundi Aksara. 2006. Cet 1. Hlm
951.
[15] Abdul Muta’al Al Jabry. Jariimat Az Zawaaj
Bighairill Muslimat (Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Non Muslim? Dalam
Tinjauan Fiqh Dan Politik)..Penj; Ahmad Riva’i Usman, Abdul Syukur, Abdul
Razak. Jakarta; Gema Insani Press. 2003. Hlm 27-29.
[16] Syaikh Humaidhy Bin Abdul Aziz Bin Muhamad Al
Humaidy. Ahkamju Nikahil-Kuffar Alal Madzahibil-Arba’ah (Kawin Campur Dalam
Syari’at Islam). Penj ; Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar.
1992. Cet 1. Hlm 28.
[17] Moh Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, Dan zakat Menurut Hukum Islam.
Jakrta; Sinar Grafika, 1995. Cet 1. Hlm 65.
[18] Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah II (Fiqh
Sunnah). Penj; Nor Hasanuddin. Jakarta; Pena Pundi Aksara. 2006. Cet 1.
Hlm 594.
[19] Nurcholis Madjid, Dkk. Fiqh Lintas Agama ;
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta; Paramadina. 2004. Hlm 164.
[20] Syaikh Humaidhy Bin Abdul Aziz Bin Muhamad Al
Humaidy. Ahkamju Nikahil-Kuffar Alal Madzahibil-Arba’ah (Kawin Campur Dalam
Syari’at Islam). Penj ; Kathur Suhardi. Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar.
1992. Cet 1. Hlm 32-34.
[21] Tutik Hamidah. Fiqh Perempuan Berwawasan
Keadilan Gender. Malang; Uin Maliki Press. 2011. Cet 1. Hlm 153.
[22] Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia.
Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada. Hlm 1997. Ed 1. Cet 1. Hlm 344-345.
[23] Moh Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, Dan zakat Menurut Hukum Islam.
Jakrta; Sinar Grafika, 1995. Cet 1. Hlm 62.
[24] Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah II (Fiqh
Sunnah). Penj; Nor Hasanuddin. Jakarta; Pena Pundi Aksara. 2006. Cet 1. Hlm
590.
Komentar
Posting Komentar