KAIDAH GHOIRU ASASIYAH MUKHTALAF FIHA
KAIDAH GHOIRU ASASIYAH MUKHTALAF FIHA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Qawaid
Fiqhiyyah
Dosen
Pengampu: Dr. H. Abdul Ghofur,
M.Ag.

Disusun oleh :
Amal (112111054)
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
Miftakul Khoriyah (122111135)
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Kaidah Ghoiru Asasiyah Mukhtalaf Fiha
I.
Pendahuluan
Kaidah-kaidah fiqh (al-qawaid al-fiqhiyyah)
adalah kaidah-kaidah makro atau frekuantif yang mengatur persoalan-persoalan
mikro fiqh yang serupa. Hal ini termasuk dalam ketentuan-ketentuan hukum fiqh (al-ahkam
fiqhiyyah), bukan ketentuan-ketentuan hukum ushul fiqh (al-ahkam
al-ushuliyyah), sebab meski bersifat umum, objek kajian-kajian kaidah fiqh
adalah perbuatan manusia yang menjadi subjek hukum (mukallaf).
Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab
karya para ahli hukum klasik, bercampur dengan hukum-hukum fiqh mikro (al
ahkam al fiqhiyyah al juz’iyyah) sebagai penjelasan atau rasionalisasi
hukumnya. Sementara sebagian ulama’, terutama kalangan ulama’ fiqh generasi
terakhir (muta’akhirin) mendeduksi kaidah-kaidah ini dari sela-sela
permasalahan cabang fiqh yang memiliki kemiripan dan terdapat didalam berbagai
topik pembahasan yang bercabang-cabang.
Kaidah-kaidah yang ada itu terdiri dari kaidah asasiyah
dan kaidan ghoiru asasiyah. Kaidah ghoiru asasiyah itu kemudian
dibagi lagi atas kaidah ghoiru asasiyah yang muttafaq alaih dan
kaidah ghoiru asasiyah yang mukhtalaf fiha, masing-masing memiliki empat
puluh (40) macam kaidah. Dan disini pemakalah akan mencoba untuk membahas
tentang sebagian kaidah ghoiru asasiyah yang mukhtalaf fiha.
II. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah
ini adalah :
1.
Pengertian Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha !
2.
Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha Beserta
Contohnya !
III.
Pembahasan
A. Pengertian Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha
Qawaidul Fiqhiyyah berarti
dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum
(fikih) sebagaimana yang telah disebutkan dalam materi yang telah lampau. Qawaidul
fiqhiyyah ini mencakup kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi.
Qawaid fiqhiyyah asasiyyah yaitu kaidah
pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini dipergunakan untuk
menyelesaikan masalah furuiyyah. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah
berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah seperti
yang diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang
lingkup dan cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum
fikih.[1]
Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi
menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah muttafaq ‘alaih ( yang
tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah mukhtalafah fiha (
yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak
dipertentangkan banyaknya ada empatpuluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi
keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam,
karena itu dalam kalangan fuqaha sepakat kehujjahan kaidah ini. Tentu saja
kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum , baik alquran maupun al sunnah.
Karena itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah
universal ).
Sedangkan kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah.
Menurut al suyuthi, kedua puluh kaidah tersebut tidak dapat ditarjih
(diunggulkan) salah satunya. Hal ini dikarenakan kedua puluh kaidah tersebut
mempunyai dasar hukum masing – masing.[2]
Berikut akan dijelaskan mengenai kedua puluh kaidah tersebut.
B. Macam-Macam Kaidah Ghoiru Asasiyah yang Mukhtalaf Fiha
Beserta Contohnya
Menurut Abdurrahman as-suyuthi dalam “Al_Asybah Wa
Nadhoir” menyebutkan 20 (dua puluh) kaidah yang diperselisihkan, yaitu:
Kaidah pertama
الجمعة ظهر مقصورة او صلاة على حالها
“salat jum’at merupakan salat zuhur yang dipersingkat, ataukah salat
sebgaimana mestinya.” (as_suyuthi. TT:109).
Menaggapi kaidah tersebut ada dua macam pendapat:
1.
Salat
jum’at sebagai salat dzuhur yang diringkas, karena itu orang yang sedang
bepergian boleh menjamak jum’at dengan ashar, baik jama’ taqdim maupun jama’
ta’khir.
2.
Salat
jum’at sebagai keadaan salat jum’at sendiri bukan merupakan salat yang lain,
karena itu niatnya harus niat salat jum’at bukan salat dzuhur.
Apabila salat jum’at diniati dengan salat dzuhur yang diringkas, maka
menurut hakikatnya sudah sah, tetapi menurut fungsinya tidak sah, karena niat
itulah sebenarnya yang membedakan setiap amalan.
Kaidah Kedua
الصلاة خلف
المحدث المجهول الحال اذا قلنا بالصحة هل هي صلاة جماعة اوانفراد
“salat (makmum) dibelakanga imam yang berhadas dan tidak diketahui kondisi
itu, jika salatnya diketahui sah, apakah sahnya itu karena salat jamaah ataukah
karena salat sendirian.”(as_suyuthi.TT:110).
Jika seorang imam menjadi imam dalam salat dan jumlah jamaah sudah cukup
walaupun dikurangi imam, sedang imam dalam keadaan berhadas, maka salat
jamahnya dianggap sah, karena itu mereka semua mendapat pahala jamaah. Jika
imam lupa bahwa ia berhadas atau makmumnya lupa bahwa imamnya berhadas,
kemudian dalam salat itu ia ingat dan memisahkan diri dari jamaah sebelum
salam, jika makmum menginginkansalat jamaah maka ia harus sujud sahwi karena
lupanya imam, bukan karena kelupaan dirinya.
Kaidah Ketiga
من اتى بما
ينا فى الفرض دون النفل فى اول فرض اواثناءه بطل فرضه وهل تبقى صلاته نفلا اوتبطل
“Barangsiapa yang
melakukan perbuatan dengan membatalkan perbuatan fardu, bukan perbuatan
sunnat, diawal atau ditengah-tengah perbuatan fardu, maka perbuatan fardunya
menjadi batal, tetapi apakah perbuatan itu menjadi perbuatan sunnat ataukah
batal secara keseluruhan.” (as_suyuthi. TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.
Bila seorang melakukan salat fardu sendirian, kemudian ada salat jamaah dan
karena ingin mengikuti salat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka
salatnya tetap sah, dan salatnya berstatus salat sunnah.
2.
Bila seorang telah melakukan takbiratul ihram untuk salat fardu sebelum
masuknya waktu atau karena ia membatalkan salat fardunya untuk ditukarkan
kepada fardu yang lain, tau untuk berpindah kepada salat sunnah tanpa sebab,
maka salatnya dianggap tidak sah.
Kaidah Keempat
النذر هل
يسلك به مسلك الواجب اوالجائز
“Realisasi nazar, apakah apakah dilakukan seperti mengerjakan pekerjaan
wajib, ataukah pekerjaan jaiz.” (as_suyuthi.TT:110).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat, yaitu:
1.
Dilaksanakan
seperti pelaksanaan ibadah wajib, misalnya; nazar salat, puasa maupun kurban,
maka salat , puasa, ataupun kurban itu harus dilakukan sebagaimana pekerjaan
wajib. Kalau salat harus berdiri, tidak boleh duduk bila kuasa, puasanya harus
berniat dimalam hari, tidak boleh siang hari seperti puasa sunnat, sedang
kurbanya harus hewan yang cukup umur serta tidak cacat.
2.
Dilaksanakan
seperti pelaksanaan ibadah jaiz, seperti memerdekakan budak, sehingga boleh
memerdekakan budak kafir atau budak cacat.
Kaidah Kelima
هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها
“Apakah ungkapan itu yang dianggap bentuk akadnya tau maknanya.”
(as_suyuthi.TT:111).
Misalnya ada orang yang mengadakan transaksi dengan berkata “saya beli
bajumu dengan syarat-syarat demikian dengan harga sekian” kemudian penjual
menjawab “iya jadi”, jika melihat akadnya bentuknya jual beli, namun jiak
melihat maknanya merupaakan akad salam (pesanan). Demikian juga jika orang
berkata “saya jual bajuku padamu” tanpa menyebutkan harganya. Bila dilihat dari
maknanya berarti hibah, tetapi sudut lafalnya berarti jual beli. Bila hibah
maka diperbolehkan tetapi jika dipandang jual beli, maka merupakan jual beli
yang fasid (rusak).
Kaidah Keenam
العين
المستعارة للرهن هل المغلب فيها جانب الضمان او جانب العارية
“Barang yang dipinjam untuk gadai, apakah layak
sebagai jaminan ataukah sebagai pinjaman.”(as_suyuthi.TT:113).
Barang pinjaman untuk jaminan gadai dipegang oleh
pemberi gadai, apakah yang mempunyai barang tersebut boleh meminta kembali?
Kalau barang tersebut dianggap sebagai pinjaman, maka dapat kembaliatau
diambil, sedaang jika sebagai jaminan maka tidak dapat diminta kembali kecuali
sudah dilunasi utangnya. Demikian juga, jika barang itu rusak, maka pihak gadai
harus mengganti, jika sebagai pinjaman, tetapi tidak wajib mengganti, jika
sebagai jaminan.
Kaidah Ketujuh
الحوالة هل
هي بيع او استيفاء
“Apakah hiwalah (pemindahan utang) itu merupakan jual beli ataukah
kewajiban yang dipenuhi”.(as_suyuthi.TT:114).
Jika hiwalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, maka tidak ada khiyar
baginya (pilihan untuk ditangguhkan), namun bila dianggap jual beli maka ia
berlaku persyaratan-persyaratan sebagaimana jual beli , yakni bila ada cacatnya
dapat dikembalikan, atau bila tidak senang dapat dikembalikan kembali (khiyar
majlis), namun apabila sebagai istifa’ maka tidak ada persyaratan
tersebut.
Kaidah Kedelapan
الإبراء هل
هو إسقاط او تمليك
“Pembebasan utang, apakah sebagai pengguguran utang,
ataukah merupakan pemberian untuk dimiliki.”(as_suyuthi.TT:115).
Pembebasan utang yang tidak diketahui jumlah utangnya
oleh orang yang membebaskan, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk
dimiliki dan tidak sah pengguguranya, sedanfkan kalau pemberi membebaskan
dengan mengetahui jumlah uangnya, maka yang lebih sah dengan isqoth
(pengguguran). Demikian juga pembebasan utang dari salah satu orang, maka yang lebih sah adalah pemberian untuk
dimiliki (tamlik) dan jika ibro’nya dikaitakan dengan sesuatu
(tempat,keadaan) maka yang sah adalah tamlik, kalu disyaratkan adanya qobul
maka yang sah dengan isqoth (pengguguran), sedang tamlik tidak disyaratkan
adanya qobul.
Kaidah Kesembilan
الإقالة هل
هي فسخ او بيع
“iqolah (pencabutan jual-beli terhadap orang yang menyesal) adakah
itu merupakan pembatalan jual-beli ataukah merupakan jual-beli (keduakalinya)”.
(as_suyuthi, TT:115).
Misalnya seseorang membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak
tersebut menjadi muslim dan penjual menghendaki iqalah. Kalau iqalah itu
dipandang sebagai jual-beli maka dianggap sah seperti mengembalikan barang
pembelian karena adanya cacat. Sedangkan kalau iqalah dianggap sebagai fasah
(pembatalan) maka tidak perlu adanya ijab qabul, sedangkan jika dianggap jual
beli maka memerlukan ijab qabul baru.
Kaidah Kesepuluh
الصداق
المعين في يد الزوج قبل القبض مضمون ضمان عقد او ضمان يد
“Maskawin yang sudah ditentukan dan masih dalam genggaman suami yang belum
diterima oleh istri, hal itu merupakan barang yang di jamin oleh suami
berdasrkan akad ataukah dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri
(as_suyuthi,TT:116).
Artinya, maskawin kalau dianggap sebagai barang yang dijamin akad maka
tidak sah untuk dijual sebelum diterima, sedangkan kalau dianggap hak milik
istri maka boleh dijual walaupun barangnya masih disuaminya. Demikian juga jika
maskawin yang ditangan suami itu rusak atau hilang, maka harus diganti sesuai
dengan maskawin misil istri, karena jaminan berdasarkan akad. Tetapi kalau
dianggap sebagai barang yang diambil dari tangan istri maka harus diganti
persis seperti wujud semula atau seharga mahar itu.
Kaidah Kesebelas
الطلاق
الرجعي هل يقطع النكاح اولا
“Thalaq raj’i apakah itu merupakan pemutusan nikah atai tidak.”
(as_suyuthi,TT:116).
Seandainya suami menggauli istri dalam masa iddahnya, kemudian baru
merujuknya, maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang menyatakan rujuk
termasuk memutus pernikahan, dan kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikanya
menurut pendapat yang absah, tetapi menurut pendapat yang kedua boleh
memandikanya sebagaimana masih suami istri. Bila hal itu dianggap putus maka
berakibat haram melihat aurat, dan bergaul dengan istri, namun jika dianggap
tidk putus, maka berkaibat wajib memberi nafkah, mempunyai hak waris. Menilai
kaidah tersebut, maka muncul pndapat ketiga, yaitu talak Raj’i masih mauquf
sampai habis masa iddahnya.
Kaidah Keduabelas
الظهار هل
المغلب فيه مشابهة الطلاق اومشابهة اليمين
“Dhihar itu apakah
selayaknya serupa dengan talak, ataukah serupa dengan sumpah.”
Misalnya ada seorang yang mendhihar (menyamakan punggung istri dengan
punggung ibunya) empat istrinya dengan satu kalimat. Misalnya “engkau semua
seperti punggung ibuku.” Jika ia ingin kembali pada istrinya ia harus membayar
empat kafarat karena diserupakan dnegan talak, tetapi jika lebih diserupakan
dengan sumpah maka cukup membayar satu kafarat, yakni kafarat sumpah. Jika
diserupakan dengan talak maka boleh dengan lisan atau tulisan, tetapi jika dengan
sumpah maka harus dengan lisan.
Kaidah Ketigabelas
فرض الكفاية
هل يتعين بالشروع او لا
“Fardu kifayah, apakah menjadi fardu ‘ain setelah dilaksanakan atau masih
tetap sebagai fardu kifayah “.)as_suyuthu,TT:117).
Pendapat yang lebih syah adalah bahwa shalat jenazah apabila sesorang telah
memulai menegrjakan maka haram baginya untuk meninggalkan, karena hal itu bagai
fardu ‘ain, demikian pula kasus jihad. Diharamkan meninggalkan bila sudah
memulai berjihad (berperang), bahkan sangat dibenci jika hal itu dilakukan,
karena hal itu merupakan kemunafikan. Bagi al-Ghazali menyatakan bahwa pendapat
itu khusus fardu kifayah shalat jenazah dan jihad, selainya tidak mengubah
status fardu kifayah.
Kaidah Keempatbelas
الزائل
العائد هل هو كالذي لم يزل او كالذي لم يعد
“Suatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya
seperti tidak hilang sebagaimana sedia kala ataukah sebagai barang baru”.
(as_suyuthi.TT:118).
Kaidah tersebut menimbulkan dua pendapat , yaitu:
1.Dianggap sebagaiamana sedia kala, misalnya wanita yang
telah ditalak sebelum digauli, maka hilang kemilikanya atas mahar, kalau
suamianya kemabali maka kembali pula hak pemilikanya terhadap mahar seperti
mahar semula. Harta yang pada ahir tahun perlu dizakati kemudian hilang
ditengah tahun yang kemudian kembali maka tetap pada ahir tahun dizakati
seperti tidak hilang, dan juga orang memukul orang lain hingga rusak
penglihatan, kemudian penglihatan kembali maka gugur hukum qashas atas orang
itu.
2.Dianggap sebagaimana barang baru, mislanya hakim gila
atau hilang keahlianya, kemudian sembuh atau kembali keahlianya maka tidak
kembali kekuasaan hakimnya.
Kaidah Kelimabelas
هل العبرة
بالحال اوبالمال
“Apakah ungkapan itu menurut keadaan atau menurut bendanya”. (as_suyuthi,TT:119).
Kaidah tersebut menimbulkan kaidah sebagai berikut:
ماقارب
الشيء هل يعطي حكمه
“Yang dekat dengan
sesuatu adakah diberi hukumya.”
المشرف
الزوال هل يعطي حكم الزائل
“Sesuatu yang hampir hilang, apakah diberikan hukum sebgaimana sesuatu yang
hilang” (as_suyuthi,TT:119).
المتوقع هل يجعل كالواقع
“Apa yang akan terjadi apakah dijadikan seperti yang terjadi.” (as_suyuthi,
TT:119).
Misalnya ada seorang menjadi imam dengan berpakaian yang menutup aurat,
tetapi ketika ruku’ pakianya robek. Pendapat yang kuat adalah bahwa apa yang
akan terjadi itu tidak dijadikan seperti apa yang terjadi, jadi makmum tetap
sah dengan niat infirod (memisahkan diri dari shalat jamaah) ketika robek
pakaian imam.
Kaidah Keenambelas
اذا بطل
الخصوص هل يبقى العموم
“Apabila kekhususanya
batal maka masih tetap keumumanya”. (as_suyuthi, TT:121).
Misalnya seseorang telah melakukan takbiratul ihram pad shalat yang belum
masuk waktunya, mka batallah kekhususanya (niat shalat wajib itu) tetapi
menurut pendapat yang absah masih dianggap berlaku keumuman takbir itu untuk
shalat sunnah. Demikian juga orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum
waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib (sebab kebolehan
tayamum adalah menunggu waktu shalat wajib tiba) serta tidak boleh digunakan
sholat sunnat, lain lagi jika niyatnya untuk tayamum sholat sunnat maka
diperbolehkan.
Kaidah Ketujubelas
الحمل هل
يعطي حكم المعلوم اوالمجهول
“Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti sesuatu yang
telah diketahui ataukah sebagai sesuatu yang belum diketahui”.(as_suyuthi,
TT:121).
Misalnya mengenai penjualan biantang yang bunting “hamil” menurut pendapat
yang absah hal itu tidak diperkenankan, karena yang dalam kandungan itu masih
majhul tidak tidak diketahui kriterianya, demikian juga tidak sah menjual
binatang dalam perut induknya karena hal itu tidak diketahui, sedang dalam
masalah waisat pada anak dalam kandungan itu diperbolehkan, karen ahak itu
sudah jelas. Tetapi dalam hal waris-mewarisi, maka anak dalam kandungan dianggap
laki-laki saja, sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka
bagianya sebgaimana mestinya, tetapi jika wanita maka uang warisan yang lebih
dapat dibagikan lagi pada yang lain.
Kaidah Kedelapanbelas
النادر هل
يلحق بجنسه اوبنفسه
“Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah
menurut keadaanya sendiri”.(as_suyuthi,TT:122)
Misalnya hukum menyentuh penis laki-laki yang telah putus, menurut pendapat
yang lebih kuat adalah membatalkan wudlu, karena secara hakiki adalah menyentuh
alat kelamin. Sedangkan jika menyentuh anggota tubuh wanita yang telah terputus
dari induknya maka tidak membatalkan, karena hal itu tidak menyentuh wanita
lagi. Demikian juga orang yang mempunyai anggota badan lebih, misalnya jarinya
6 (enam), maka wajib juga dibasuh saat berwudlu.
Kaidah Kesembilanbelas
القادر على
اليقين هل له الاجتهاد والأخذ بالظن
“Orang yang kuasa menuju yang yakin bolehkah baginya berijtihad berdasarkan
perkiraan”.(as_suyuthi,TT:123)
Secara umum seorang mujtahid tidak boleh berijtihad jika mendapatkan nash,
karena nash merupakan suatu keyakinan dan dia tidak boleh mengabaikan nash
tersebut, sedangkan ijtihad merupakan keputusan dhon dibanding nash. Misalnya
seseorang mempunyai dua baju, yang stau suci, sedang yang lain najis, maka dia
boleh meneliti (berijtihad) mana yang suci untk dipergunakan walaupun ia dapat
berganti dengan pakaianya lain yang jelas suci. Namun seseorang tidak sah
shalat menghadap hijr ismail, karena yang yakin jelas diketahui, yakni
menghadap ka’bah.
Kaidah keduapuluh
المانع
الطارئ هل هو كالمقارن
“Halangan yang datang kemudian, apakah ia seperti bercampur”.
(as_suyuthi,TT:123).
Kaidah tersebut ada dua pendapat , sebagian menganggap seperti bercampur
seperti menambah air sehingga menjadi banyak yang semua jenis. Selesainya orang
yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan sholat. Murtadnya seseorang yang
sedang ihram, serta perubahan niat yang buruk yang semula baik dalam bepergian,
maka kasus tersebut hukum airnya menjadi suci, sholatnya menjadi batal, dan ihramnya
juga batal dan tidak ada rukhsoh baginya.
Dari beberapa kaidah diatas, dapat diamati bahwa kaidah-kaidah yang
diperselisihkan sebenarnya bukan pada kaidah itu sendiri tetapi lebih mengarah
pada kondisi yang mempengaruhi kaidh itu tercipta, sehingga keberlakuan kaidah
tersebut menurut kondisi yang melatarbelakanginya.
IV. Kesimpulan
Qawaidul fiqhiyyah terbagi
dalam kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid fiqhiyyah
ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu asasiah
muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu
asasiah mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu
asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empat puluh kaidah. Kaidah
ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah universal ). Sedangkan
kaidah yang mukhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Kedua puluh
kaidah tersebut tidak dapat ditarjih (diunggulkan) salah satunya.
V. Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan
juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini.
Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik
dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada
koridor membangun bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa
meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang
benar, Aamin.....
DAFTAR PUSTAKA
Rohayana, Ade Dedi, Ilmu Qawaid
Fiqhiyyah Kaidah – Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2008.
Usman,
Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan
Fiqhiyah), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet 3., 1999.
Washil,
Nashr Farid Muhamad, Abdul Aziz Muhamad Azzam, Qowa’id Fiqhiyyah, Jakarta : Amzah, Cet 1, 2009.
[1] http://muhlisinbisyri.blogdetik.com/2011/10/10/diktat-qawaidul-fiqhiyyah/ .
diakses pada 01 Mei 2014, 10:20 WIB.
[2] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Kaidah – Kaidah Hukum Islam, Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2008, Hal. 142-143.
Komentar
Posting Komentar