HUBUNGAN HUKUM dan KEADILAN
HUBUNGAN HUKUM dan
KEADILAN
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Etika Profesi Hukum
Dosen Pengampu : Novita Dewi Masithoh,SH.,MH.
Disusun oleh:
Muhamad Fahruddin
(122111088)
M Bashori Safridin R
(122111087)
M Ridlwan (122111095)
Nely sama kamalia
(122111102)
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
Hubungan Hukum dan Keadilan
I.
Pendahuluan
Terciptanya kehidupan
yang kondusif, nyaman, dan tentram dalam berbangsa dan bernegara merupakan suatu momentum yang dinanti-nantikan
oleh sebagian besar penghuni republik ini. Adapun untuk mewujudkan
cita-cita tersebut adalah dengan cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa
hal yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat di negara ini, salah satunya adalah masalah penegakan hukum.
Penegakan hukum hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati
bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata
dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat
kaum legalistik[1]
Namun yang
terjadi pada saat ini jika kita mengamati,
melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum di
negara ini berada pada kondisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat
penegak hukum. maka perlu dikaji lebih eklusif mengenai masalah
penegakan hukum, lebih spesifiknya mengenai keadilan karena banyak spekulasi-spekulasi
negatif yang berkembang di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa penegakan
hukum saat ini sudah mulai menjauh dari keadilan yang dicita-citakan oleh
masyarakat.
Dalam tulisan ini
pemakalah akan mencoba membahas tentang hubungan keadilan dan hukum, prespektik
keadilan dalam lingkup nasional, serta bagaimana bentuk dari keadilan yang diharapkan
oleh masyarakat yang sejalan dengan hukum yang ada.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan
makalah ini adalah :
A.
Pengertian hukum dan Keadilan !
B.
Hubungan hukum dan Keadilan !
C.
Prespektif Keadilan Dalam Lingkup Nasional !
III.
Pembahasan
A.
Pengertian hukum dan Keadilan
1.
Definisi hukum
Hampir semua sarjana hukum memberikan
definisi berbeda tentang hukum, sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprojo
S.H.[2]
lalu memberikan contoh-contoh definisi Hukum yang berbeda-beda, sebagai
berikut:
a.
Prof. Mr. E.M. Meyers
Hukum
adalah semua aturan yang ,mengandung pertimbangan kekususilaan, ditujukan
kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi
pengusasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.
b.
Leon Duguit
Hukum ialah aturan
tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat
tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan
bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran itu.
c.
Immanuel Kant
Hukum ialah
keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu
dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti
peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Inilah
sebabnya mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, ialah karena
hukum itu mempubyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin
tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu dalam suatu definisi.
Selain
itu, beberapa sarjana Hukum Indonesia lain juga telah berusaha merumuskan
tentang apakah Hukum itu[3],
yang diantaranya ialah:
a.
S.M. Amin S.H.
”Kumpulan-kumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi disebut hukum,
dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan menusia,
sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
b.
J.C.T. Simorangkir S.H. dan Woerjono
Sastropranoto S.H.
“Hukum itu ialah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran terjadap peraturan-peraturan itu mengakibatkan adanya tindakan
dengan hukuman tertentu.
c.
M.H. Tirtaatmidjaja S.H.
“Hukum ialah
semua aturan yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam
pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar
aturan-aturan itu, dan akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya
orang akan kehilangan kemerdekaannnya, didenda dan sebagainya.
Dari
beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan oleh para srjana hukum di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu itu meliputi beberapa unsur, seperti:
Ø Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Ø Peraturan
itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Ø Peraturan
itu bersifat memaksa, dan
Ø Sanksi
terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
2.
Definisi
keadilan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia,[4]
kata Adil mempunyai arti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada
yang benar, dan berpegang teguh pada kebenaran. Sedangkan Keadilan, merupakan
sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.
Menurut
Soejono Koesoemo Sisworo,[5]
keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan
dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim
toleransi dan kebebasan.
Sedangkan
menurut Suhrawardi K. Lubis dalam bukunya “Etika Profesi Hukum”,[6]
mengemukakan bahwa Adil atau Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang
antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang
antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui hak hidup,
maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan
bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan keugian
terhadap orang-orang, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama. Dengan
pengakuan hidup orang lain, otomatis kita wajib memberikan kesempatan kepada
orang lain tersebut untuk mempertahankan hak individunya.
Thomas
Aquinas[7]
seorang tokoh filsuf hukum alam, mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:
1)
Keadilan Umum, yaitu keadilan menurut
kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
2)
Keadlina Khusus, yaitu keadilan yang
didasarkan pada asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
·
Keadilan distributif (justitia
distributive) adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam
lapangan hukum publik secara umum.
·
Keadilan Komutatif adalah keadilan
dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.
·
Keadilan vindikatif adalah keadilan
dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang
dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang
telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.
Antara
Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa
keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa
hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam
mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak ada
keterkaitan pada perangkat aturan.
B.
Hubungan Hukum dan Keadilan
Dalam ilmu sosial ditegaskan bahwa manusia
itu adalah makhluk yang berkelompok/makhluk sosial.[8] Maka manusia saling membutuhkan satu sama lain, begitupun dalam membentuk
sebuah aturan untuk mengatur satu sama lain, yakni dengan menciptakan sebuah
hukum. Ilmu hukum tidak menjadi bagian ilmu alam, tetapi bagian dari ilmu
manusia, dan tidak dapat disangkal bahwa hukum sebagai norma adalah sebuah
realitas ideal, bukan realitas alamiah.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang
ditujukan untuk pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan yang dianggap secara
psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa
ditemukanya sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat,
yang mana kebahagiaan sosial dinamakan keadilan.
Kata “keadilan” tentu saja juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi
kecocokan dengan hukum positif, terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika
sebuah noram umum diterapkan pada satu kasus, tetapi tidak diterapkan pada
kasus sejenis yang muncul, maka dikatakan tidak adil, dan ketidakadilan
tersebut terlepas dari beberapa pertimbangan nilai norma umum itu sendiri.
Meurut pemakain kata-kata ini, menganggap sesuatu adil hanya mengungkapkan
nilai kecocokan relatif dengan sebuah norma, adil hanya kata lain dari kata
benar.
Hingga kini, semua rumusan kata yang menunjukkan dan mengajarkan arti
sebuah kedailan (kebanyakan) hanya sia-sia belaka, atau hanya bersifat
formalitas belaka, seperti; “kerjakan kebaikan dan hindari kejahatan”, “bersikaplah
tengah-tengah”, dll.[9]
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, disamping itu juga ada
kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan
kegiatanya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan kombinasi dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga
tujuan hukum tersebut , keadilan merupakan tujuan yang paling penting, dan
hukum hanya merupakan sarana.[10]
tetapi tidak berarti bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan harmonis. Menurut
Radbruch, ketiganya lebih sering
berada dalam suasana hubungan yang
tegang satu sama lain. dalam bekerjanya seyogyanya dilihat dalam
konteks yang lebih besar daripada hanya dibicarakan dalam konteks itu sendiri Berangkat dari situ maka
menjalankan sebuah aturan hukum tidak
dapat hanya dilakukan secara sistematis atau dengan cara yang disebut “mengeja
pasal-pasal undang-undang”.[11]
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi
mengkuti ritme zaman dan ruang. Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang
terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang keduanya
merupakan daya rohani. Diamana rasa berfungsi untuk mengendalikan
keputusan-keputusan akal agar berjalan diatas nilai-nilai moral, seperti
kebaikan dan keburukan. Jika hati suci, maka perbuatan akan baik, perbuatan
manusia akan berniali jika perbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir
dari bisikan hati yang suci, sehingga dengan demikian, nilai merupakan suatu
prinsip etik yang bermutu tinggi dengan pedoman bahwa keberadan manusia itu
harus memperhatikan kewajibanya untuk bertanggung jawab kepada sesamanya.
Kaum sufis berpandangan bahwa manusialah yang seluruhnya menentukan isi
undang-undang, sehingga baik dan adil tidak tergantung pada aturan alam, melainkan
hanya keputusan manusia, dimana manusia adalah ukuran segala-galanya. Manusia
sebagai satu-satunya sumber yang menentukan apa yang baik dan apa yang adil.
Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa semua manusia (warga negara) yang
menentukan isi undang-undang negara, kareana hal itu hanya teruntuk orang-orang
yang berkedudukan sebagai pejabat negara. Maka jika terjadi kesewenang-wenangan
sangat wajar, karena orang-orang yang berkuasa akan membuat undang-undang yang
terkadang melindungi kepentinganya, kecuali teruntuk orang-orang yang memiliki
kesadaran hukum dan mempunyai hati nurani untuk sesama.
Plato mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari tiga unsur yaitu; pikiran,
perasaan dan nafsu. Jika ketiganya dapat berkombinasi dengan baik, maka akan
menghasilkan jiwa yang teratur. Hal itu dapat terjadi bila perasaan dan nafsu
dikendalikan dan ditundukkan pada akal, dan keadilan terletak dalam batas yang seimbang
antara ketiga bagian jiwa tersebut. Manusia menurut plato hanya dapat
berkembang melalui negara. Maka keutamaan yang tertinggi oleh manusia adalah
ketaatan kepada hukum negara. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh undang-undang
adalah adil, sebab adil ialah suatu yang bersifat abstrak, dan setiap manusia
(warga negara) mempunyai pandangan keadilan yang berbeda, maka negara hadir
dengan menyelaraskan keadilan untuk sesama, Dalam mengartikan keadilan, menurut
plato bersifat kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan
berbagai orgisme sosial. Maka setiap warga negara harus melakukan tugasnya
sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Sementara itu dalam pandangan islam Keadilan merupakan perpaduan harmonis
antara hukum dan moralitas, islam tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan
individu, tetapi mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi
masyarakat yang trediri dari individu itu sendiri, dan hukum islam memiliki
peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif. Sementara menurut
pandangan kaum utilitarianisme ukuran satu-satunya untuk mengukur keadilan adalah
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia. Kesejahteraan individual
dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar.[12]
Berbagai kasus
yang berserakan sekarang ini merupakan cerminan tidak dihargainya secara konsisten sebuah hukum dalam sebuah kerangka sistem. Malah cenderung
difungsikan sesuai dengan selera masing-masing
penggunanya. pengertian yang hakiki berkaitan dengan arti sebagai keadilan. Apabila suatu yang konkret yaitu undang undang, bertentangan dengan
prinsip keadilan, maka itu tidak
bersifat normative lagi. Secara teknis adil
merupakan unsur konstitutif yang ada dalam diri manusia. Mengapa sifat
adil itu dianggap sebagai bagian konstitutif ?, Alasannya adalah karena dianggap sebagai tugas etis manusia di dunia. Artinya
manusia berkewajiban membentuk suatu kehidupan yang baik dengan mengaturnya
secara adil.[13]
Penegak atau orang yang bertugas
menerapkan hukum mencakup ruang lingkup
yang sangat luas. Sebab, strata hukum yang ada dapat dilihat dari bermacam-macam
sudut. Para
professional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat yang bekerja
di pemerintahan, akan melihat dan
mengartikan hukum sebagai suatu bangunan perundang-undangan. Bagi
mereka tidak ada keraguan lagi, bahwa hukum itu tampil dan ditemukan dalam
wujud perundang-undangan
tersebut. oleh karena pekerjaan mereka mengharuskan berprgang teguh dengan prinsip demikian itu. Ibarat dokter bekerja
dengan stetoskop, maka para profesional hukum bekerja dengan undang undang. Di
sini otoritas perundang-undangan
adalah demikian besar.
Berbeda dengan
golongan tersebut di atas, ilmuwan hukum melihat hukum
sebagai suatu objek yang dipelajari, yang tujuannnya adalah untuk mencari
kebenaran. Bagi mereka ini, hukum itu
bukan barang sakral yang tidak
boleh dipertanyakan atau dipersoalkan lagi yang semata-mata dengan
alasan bahwa itu sudah menjadi undang-undang. Kepedulian mereka adalah untuk menemukan
kebenaran tentang hukum.
Tugas utama
hakim adalah untuk memberi keputusan, bukan
menghadiahkan keadilan berdasarkan persekongkolan. Namun kenyataanya banyak
keputusan pengadilan mencerminkan kontaminasi keadilan tidak sehat. Sehingga bentuk pengendalian sosial secara
otomatis akan muncul. Tindakan individu maupun massa yang dari optic yuridis
dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigentricht),
pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian diri oleh masyarakat. Karena sudah
semakin tampak benar oleh mata hati masyarakat bahwa equal justice under
law masih merupakan lips service atau hanya bahan retorika belaka para petinggi hukum. Kondisi keterpurukan hukum
di Indinesia saat ini, hanya mungkin diatasi jika para penegak hukum lebih
banyak bertanya kepada hati
nuraninya, daripada perutnya, sehingga dapat disebut adil oleh masyarakat. maka para
penegak hukum harus mampu
mengimplementasikan melalui putusan hukum di pengadilan.[14]
C.
Perspektif Keadilan
Dalam Lingkup Nasional
Pandangan
keadilan dalam lingkup nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar
negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang
tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia.
Secara aksiologis, bangsa
Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values
Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan
sosial.
Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui,
serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan
penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak
merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau
penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku,
serta perbuatan manusia, dan bangsa
Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan masyarakat Indonesia.
Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber
tertinggi dan sebagai rasionalitasnya sumber nasional bangsa Indonesia. Pandangan
keadilan dalam nasional bangsa Indonesia
tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi :
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi nasional yang bersumber pada Pancasila.[15]
Setiap negara mengakomodir keadilan dalam prinsip peri kehidupan negara.
Terlebih dalam norma yang dipatutkan bagi berlakunya sejuta peraturan yang
diundang-undangkan, wilayah kehidupan negara yang dibatsi akan teritorial suatu
negara, namun senyatanya keadilan lah yang hadir sebagai penggalan yang
dijadikan sebuah aturan perang (misalnya) yang terbungkus dalam suatu norma.
Roscoe pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi untuk menjamin keterpaduan
sosial dan perubahan tertib sosial dengan cara menyeimbangakan konflik
kepentingan yang meliputi:
1.
Kepentingan-kepentingan
individual (kepentingan-kepentingan privat dari warga negara selaku
perseorangan).
2.
Kepentingan-kepentingan
sosial.
3.
Kepentingan-kepentingan
publik (khusunya kepentingan-kepentingan negara).
Dalam rangka
menyeimbangkan konflik kepentingan dalam masyarakat tersebut, maka hukum negara
harus berhakikat kepada keadilan dan kekuatan moral. sebab tanpa adanya
keadilan dan moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan ciri
independennya. Sebaliknya, ide keadilan dan moralitas akan penghargaan terhadap
kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan manfaat jika terwujud dalam hukum
formal dan hukum materil, serta diterapkan dalam kehidupan masyaraat. Keadilan
dalam hukum formal dan hukum materil tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan
keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman didalam hati orang, yang
apabila diganggu akan mengakibatkan goncangan. Hukum akan bersupremasi
(memiliki kekuasaan tertinggi) jika memiliki kekuatan moral yang berupa
keadilan.[16]
Menurut Kahar
Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang
dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian adil.
(1)
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
(2)
menerima hak tanpa
lebih dan memberikan hak orang lain
tanpa kurang.
(3)
memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang
antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, sesuai dengan kesalahan dan
pelanggaran”.
Untuk lebih
lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif nasional, terdapat diskursus penting tentang
adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang
antara hak dan kewajiban, yang mana dapat
dilakukan dengan pengakuan hak hidup orang lain, maka dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang
lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi
demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai
sumber nasional bangsa Indonesia, pada
hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu
dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan
beradab.
Keadilan sosial
menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan
sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu
yang lainnya, keadilan nasional hanya
mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam
perspektif nasional adalah keadilan yang
menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara
sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan
kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.[17]
Masyarakat Indonesia yang pernah dijajah lama oleh bangsa lain sebaiknya
meninggalkan praktik yang mencerminkan bahwa hukum itu sebagai alat penguasa
untuk memerintah rakyat yang dikuasainya. Dengan demikian tercermin law is
morality dan law is right. Persamaan
dihadapan hukum bagi setiap warga Negara
Indonesia merupakan tujuan dalam
mewujudkan keadilan dan sebagai norma hukum. Seperti halnya dirumuskan dalam
pasal 27 ayat 1 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Penegakan sering kali
tidak mengindahkan prinsip “equality before the law”, sehingga
menghasilkan perilkau diskriminatif, hal ini akan berakibat pada tatanan sistem aturan, sekaligus akan
mencederai serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang menimbulkan citra
buruk pada semua kalangan masyarakat yang bermoral, termasuk masyarakat
internasional. Bila kita bersepakat bahwa muara dari pembangunan sistem
nasional adalah terbagunnya sistem
nasional yang berkeadilan, maka kita harus melanjutkan upaya untuk
mengoreksi setiap elemen sistem baik pada arus pradigmatik maupun arus
teknikalnya.[18]
III.
Kesimpulan
Dari
beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan oleh para srjana hukum di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu itu meliputi beberapa unsur, seperti:
Ø Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Ø Peraturan
itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Ø Peraturan
itu bersifat memaksa, dan
Ø Sanksi
terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Antara Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum
tanpa keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan
tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di
dalam mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak
ada keterkaitan pada perangkat aturan.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang
ditujukan untuk pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan yang dianggap
secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan, yang tidak
bisa ditemukanya sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam
masyarakat. kebahagiaan sosial dinamakan keadilan. Kata “keadilan” tentu saja
juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi kecocokan dengan hukum
positif, terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika sebuah noram umum
diterapkan pada satu kasus, tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang
muncul, maka dikatakan tidak adil, dan ketidakadilan tersebut terlepas dari
beberapa pertimbangan nilai noram umum itu sendiri. Meurut pemakain kata-kata
ini, menganggap sesuatu adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relatif dengan
sebuah norma, adil hanya kata lain dari kata benar. Berbagai
kasus yang berserakan sekarang ini merupakan cerminan tidak dihargainya secara konsisten sebuah hukum dalam sebuah kerangka sistem. Malah cenderung
difungsikan sesuai dengan selera masing-masing
penggunanya.
Setiap negara mengakomodir keadilan dalam prinsip peri kehidupan negara.
Terlebih dalam norma yang dipatutkan bagi berlakunya sejuta peraturan yang
diundang-undangkan, wilayah kehidupan negar yang dibatsi akan teritorial suatu
negara, namun senyatanya keadilan lah yang hadir sebagai penggalan yang
dijadikan sebuah aturan perang (misalnya) yang terbungkus dalam suatu norma.
Roscoe pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi untuk menjamin keterpaduan
sosial dan perubahan tertib sosial dengan cara menyeimbangakan konflik
kepentingan. Persamaan dihadapan bagi
setiap warga Negara Indonesia merupakan tujuan
dalam mewujudkan keadilan dan sebagai norma hukum. Seperti halnya
dirumuskan dalam pasal 27 ayat 1 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya
di dalam dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Penegakan
sering kali tidak mengindahkan prinsip “equality before the law”,
sehingga menghasilkan perilkau diskriminatif, hal ini akan berakibat pada tatanan sistem aturan , sekaligus akan
mencederaii serta kegagalan dalam melaksanakan sistem yang menimbulkan citra
buruk pada semua kalangan masyarakat yang bermoral termasuk masyarakat
internasional.
IV.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaiduddin. 2006. Filsafat Hokum. Jakarta: Sinar Grafika.
Arinanto,
Satya. Ninuk Triyanto. 2009. Memahami Hukum. Jakarta; Rajawali Pers.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka,
Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap
Hukum. Jakarta; Rajawali Pers. Ed 1. Cet 2.
K. Lubis, Suhrawardi. 1994. Etika Profesi
Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. 1982. Pengantar Ilmu Hukum
Dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka.
Kelsen, Hans.
2009. Pengantar Teori Hukum (Introduction To The Problems Of Legal
Theory ). Penj; Siwi Purwandari. Bandung:
Nusa Media.
Khoirin, Nur. 2012. Melacak Bantuan Hukum Dalam System Peradilan. Semarang; Walisongo Pers.
Nursidik.
2011. “Kebenaran Dan Keadilan Dalam Putusan Hakim”, Dalam Jurnal Mimbar
Hukum Dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam Dan
Masyarakat Madani (Pphimm).
Rahardjo, Satjipto. 2007. Biarkan Hukum
Mengalir; Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia Dan Hukum. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Http://Fauzi-Iswari.Blogspot.Com/Dikases
Pada Tanggal 14 Oktober 2014. Pukul 21:14 WIB.
Http://Mahendra-Servanda.Blogspot.Com/2012/04/Pengertian-Dan-Macam-Macam-Keadilan
3321.Html. Diakses Pada Tanggal 11 Oktober 2014 Pukul 21.00 WIB.
Http://Ugun-Guntari.Blogspot.Com/2011/12/.Teori
Keadilan Dalam Perspektif Hukum.Html. Diakses Pada Tanggal 11 Oktober 2014 Pukul 21.00
WIB.
[1] http://fauzi-iswari.blogspot.com/dikases
pada tanggal 14 oktober 2014. Pukul 21:14 WIB.
[8] Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir; Catatan
Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
2007, Hlm 7.
[9] Hans Kelsen.
Pengantar Teori Hukum (Introduction To The Problems Of Legal Theory
). Penj; Siwi Purwandari. Bandung:
Nusa Media. 2009. Hlm 47-49.
[10] Muhamad Erwin.
Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta; Rajawali Pers.
2012. Ed 1. Cet 2. Hlm 217
[11] Satjipto
Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2007, Hlm 87, 81.
[12] Muhamad Erwin. Filsafat Hukum; Refleksi
Kritis Terhadap Hukum. Jakarta; Rajawali Pers. 2012. Ed 1. Cet 2. Hlm
217-229.
[13] Zaiduddin Ali. filsafat hokum. Jakarta: sinar
grafika. 2006. Hlm 86.
[15] http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektif-hukum.html.
Diakses pada tanggal 11 oktober 2014 pukul 21.00 WIB.
[16] Muhamad Erwin. Filsafat Hukum; Refleksi
Kritis Terhadap Hukum. Jakarta; Rajawali Pers. 2012. Ed 1. Cet 2. Hlm
237-238.
[17] http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektif-hukum.html.
Diakses pada tanggal 11 oktober 2014 pukul 21.00 WIB.
[18] Satya Arinanto, Ninuk Triyanto. Memahami Hukum. Jakarta; Rajawali
Pers. 2009. Hlm 116, 58, 12.
Kere
BalasHapus