HAKIKAT HUKUM PROGRESIF
Nama : Nihayatul
Ifadhloh
Nim : 122111103
Kelas : AS_A_5
Mata Kuliah :
Etika Profesi Hukum.
HAKIKAT HUKUM PROGRESIF
hukum progresif
adalah salah satu terapi krisis hukum indonesia. Karna kita suduh cukup lama
terpuruk dalam pemaknaan hukum sebatas hitam diatas putih, hukum bukan hanya
peraturan tapi juga perilaku (dan struktur sosial). Kita boleh mempunyai
undang-undang yang bagus, tetapi kalau yang melaksanakan orang-orang kerdil,
percuma saja. Gagasan besar dan perilaku indah tidak dapat diwujudkan oleh
orang dan pelaku kerdil. Dengan demikian, manusia atau lebih tepat kualitas
manusia memegang peran penting dalam sebuah penegakan hukumm. Pengadilan
progresif mengikuti maksim “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”.
Hakim yang progresif selalu menjadikan dirinya bagian masyarkat. Dan hakim
progresif akan selalu meletakkan telinganya ke degup jantung rakyat.
Hukum progresif
memberikan usulan bahwa hukum itu tidak hanya sebatas dalam ranah peraturan
tapi juga tentang paradigma moral. Secra singkat hukum progresif merupakan suatu
ilmu yang ingin mematahkan dan menolak status quo yang mana didalam
pengertianya adalah penerimaan normativitas dan sistem yang ada tanpa melihat
kelemahan. Kekuatan hukum progresif tidak sama sekali menepis kehadiran hukum
positif, tetapi gelisah dengan belenggu pertanyaan “apa yang bisa dilakukan
dengan hukum yang ada untuk memberikan keadilan kepada rakyat?”. Hukum
progresif tidak imgin hanya menjadi tawanan sistem dan undang-undang yang ada
semata, keadilan dan kebahagiaan rakyat ada diatas hukum.
Penegakan hukum
dan kepastian hukum juga keadilan belum dinikmati oleh masayarakat indonesia,
bagi sebagian besar masyarakat indonesia hukum yang ada dirasakan belum
memberikan rasa keadilan, kemanfaatan kesetaraan dan perlindungan terhadap HAM
khusunya terhadap masyarakat kecil. Hukum dalam pengadilan hanya memperhatikan
aspek-aspek tertulis tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain. Hukum progresif
yang berakal nurani dan bahagia adalah salah satu kunci dalam hidup ini. Dalam
hukum progresif penerapanya hasrus ditekankan
pada perlunya akal yang berhati nurani, dan kebahagiaan masyarakat merupakan
prinsip utiliti. Oleh karena itu utilitarianisme merupakan hedoisme yang
bersifat universal, namun bukan hedoisme yang egoistik.
Prof Dr Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif tidak melihat hukum sebagai suatu
produk final, melainkan yang secara terus menerus masih dibangun. Hukum dilihat
sebagai suatu proses. Hukum progresif lebih memilih konsep perubahan dan
pengubah. Progesivisme mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetpai alat untuk
menjabarkan rasa kemausiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak
bernurani. Melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan. Oleh karena itu
yang mendasari progresivisme adalah:
a.
Hukum ada untuk manusia.
b.
Hukum itu selalu
pada status law in the making dan tidak bersifat final.
c.
Hukum adalah
institusi yang bersifat moral kemanusiaan.
Etika atau moral
sangat melekat pada diri manusia. Oleh kaena itu sangat bertitik tolak dari
pembinaan dan penataan etika dan perlu pertimbangan rasa, kesadaran jiwa,
diaman hal ini ada pada manusia, dimana hukum progresif itu sangat bertumpu
pada sumber daya mausia Dalam hukum.
Hukum bukanlah sekedar
logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuinescience),
Satjipto Rahardjo melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu
berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan
untuk melihat logika sosial dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan, yang
seharusnya selalu dimaknai
sehingga selalu “up to date”. Pemikiran konvensional
yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum,
bagi Satjipto merupakan
tragedi pemikiran.
Satjipto Rahardjo
lebih jauh menegaskan, bahwa tidak ada tatanan sosial termasuk didalamnya
tatanan hukum, yang tidak bertolak dari
kearifan pandangan tentang
manusia dan masyarakat.
Dengan perkataan lain, tidak ada tatanan tanpa paradigma. Pandangan holistik memberikan kesadaran
visioner bahwa sesuatu dalam tatanan
tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja
untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya
memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami
secara menyeluruh.
masyarakat
merupakan "tatanan normatif" yang tercipta dari proses
interaksi sosial dan menciptakan berbagai "kearifan nilai sosial".
Kearifan nilai sosial itu ada yang bersifat rasional dan
irasional yang "ditransformasikan" membentuk
"tatanan masyarakat normatif"
melalui "proses normativisasi hukum" sehingga menjadi publik
dan positif.
Hukum
progresif ingin mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum
sebagai suatu status quo, sebagai institut yang secara mutlak
harus diabadikan. Pemahaman seperti itu akan mengatakan, bahwa hukum yang ada
harus diterapkan “at all cost”. Hukum adalah suatu skema dan
suatu skema yang final (finite scheme). Tidak ada cara
berhukum yang lain, titik. Hukum progresif mengajak masyarakat untuk melihat
kekeliruan tersebut sebagai faktor penting yang menyebabkan kinerja hukum
menjadi buruk. Hukum progresif menghendaki agar mereka yang berani berpikir dan
bertindak “beyond the call of duty” itu justru tidak dibuang
dan dikucilkan. Hukum bukan karya mesin, melainkan manusia yang penuh dengan
nuansa pilihan dan modalitas, seperti kepedulian, empati dan keberanian.
Terobos-menerobos menempati kedudukan penting dalam wilayah hukum progresif. Terobosan ini tidak diartikan sebagai
perbuatan anarkis, yang mengatakan
bahwa kita sedang berevolusi, hukum banyak dianggap
sebagai penghalang dan oleh karena itu harus dipatahkan. Dalam
masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan,
menyatakan secara formal tentang keharusan adanya kesamaan hukum antara para
anggota masyarakat adalah
sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata ada
dalam masyarakat, oleh hukum.
Hukum progresif berkepentingan untuk
mengakhiri atau menekan serendah-rendahnya ketidaksamaan atau ketimpangan
sosial tersebut. Dalam
hukum progresif, sarana yang dapat digunakan lebih beragam daripada yang
digunakan dalam hukum tradisional. Faham tradisional hanya mendasarkan pada
peraturan, sedang
hukum progresif juga menggunakan atau mendasarkan pada
sarana bukan peraturan formal.
Kita mengetahui, bahwa di dunia ini
terdapat kosmologi lain kecuali kosmologi individualistis yang menjadi basis
dari hukum liberal. la merupakan modal yang sangat mendasar yang membekali cara
bangsa-bangsa berhukum. Kenyataan tersebut lebih mendorong hukum progresif
untuk melakukan pemikiran alternatif tentang bagaimana sistem peradilan itu
dibangun, yang
pada akhirnya berujung pada pembebasan dari dominasi sistem liberal yang merupakan hak setiap bangsa untuk
memelihara kosmologi masing-masing, termasuk institusi publik dan cara berhukum
yang didasarkan pada kosmologi (asal dari hukum
itu sendiri).
Benang merah yang
dapat ditarik dari lontaran gagasan mengenai hukum progresif adalah seyogyanya penegak hukum bahkan kita
semua harus berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya
bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sebab hukum bukanlah
semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep nonhukum. Hukum harus
pula dilihat dari prespektif sosial, perilaku yang senyatanya dan dapat diterima
oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya.
Meski tak jarang penerimaan itu sendir tidak selalu bermakna sama bagi
semua.
Referensi tulisan
ini diambil dari buku:
v
Satjipto Rahardjo.
Membedah Hukum Progresif. Ed; I Gede A.B. Wiranata. Joni Emirzon. Firman
Muntaqo. Jakarta ; Kompas Media Nusantara.. 2006. Cet 1.
Komentar
Posting Komentar