HUKUM dalam PARADIGMA POSITIVISME dan HUKUM ISLAM
HUKUM dalam PARADIGMA POSITIVISME dan HUKUM ISLAM
Makalah
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat
Hukum Islam
Dosen
Pengampu : Dr. H. Abu Hapsin, ph.D, M.A.
Disusun oleh:
Husni Fauzan (122111053)
Hadhin Mahdhun (122111092)
Nely Sama Kamalia (122111102)
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Hukum dalam Paradigma Positivisme dan hukum Islam
I.
Pendahuluan
Sejarah filsafat telah mengajarkan kepada
kita bahwa keterlibatan umat manusia dibidang filsafat telah menempatkan
manusia untuk terus menerus bergulat dengan masalah-masalah dasar yang sudah
ada sejak manusia berfilsafat.
Menghadapi filsafat positivisme, di satu
pihak orang mengatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode
atau pendirian saja, sedang di lain pihak orang mengatakan bahwa filsafat
positivisme itu merupakan “sistem
afirmasi”, sebuah konsep tentang dunia dan manusia, dan juga terdapat
seorang tokoh yang mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di
abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme. Sebutan “filsafat
positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul kembali pada abad ke 20, setelah
dahulu ada pada abad ke 18.[1]
jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan
kepada pengadilan yang unfair jelaslah hukum di suatu negara tidak akan
pernah bersentuh dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide
kepastian hukum yang sering digaungkan oleh kaum positivisme tidak selalu
benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian
undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya menghapus pemikiran yang selalu
mengindentikkan hukum sebagai undang-undang saja. Secara ilmiah dapat dikatakan
tidak benar bahwa kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang
dibuat. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara
modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya masyarakat masih menggunakan hukum
yang dinamakan interactional law atau customary law. Sebaliknya,
positivisme kental dengan ide pendokumenan dan pemformalan hukum.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan
makalah ini adalah :
§
Pengertian paradigma positivisme, sejarah dan perkembanganya !
§
Definisi hukum dalam sudut pandang positivisme dan islam !
§
Hukum sebagai kesepakatan sosial !
§
Hukum islam, paduan antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal
dalam firman allah yang universal/etrenal !
III.
Pembahasan
A.
Pengertian paradigma positivisme, sejarah dan perkembanganya
Untuk memahami filsafat positivisme, perlu
kiranya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan positif. Dan salah
satu ilmuan Auguste Comte menerangkan bahwa yang dimaksud dengan positif
adalah:
1.
Sebagai lawan atau kebalikan sesutau yang bersifat khayal, maka
pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesutau yang
nyata, jadi filsafat positivisme itu dalam menyelidiki obyek sasaranya
didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh
akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.
2.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka
pengertian positif diartikan sebagai penafsiran sesuatu yang bermanfaat, hal
ini sesuai dengan ajaranya yang menyatakan bahwa di dalam filsafat positivisme,
segala sesutau harus dapat diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3.
Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat negatif, maka
pengertian positif dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya yang selalu menuju kearah penataan atau penertiban.[2]
Perinsip pokok positifisme berbunyi “ilmu
yang dapat mengajar kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif”.
Ini adalah ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan
manusia) yang ditunjukkan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk
mengenal keteraturan hukum didalamnya. Disamping ilmu-ilmu positif ini (yang
membicaraan kenyataan) positivisme mengakuai keilmiahan ilmu formal (didalamnya
dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti. Dengan
menganut perinsip ini maka filsafat, teologi dan etika tidak lagi dianggap
sebagai suatu yang ilmiah.[3]
Comte seorang matematikus dan filusuf perancis, membedakan tiga tahap evolusi dalam
pemikiran manusia. Teori tersebut terkenal dengan nama “Teori Tiga Tahap”.
Berdasarkan tiori tiga tahap, seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari
studium yaitu tiologi (mistis) ke
tahap falsafi, dan akhirnya tiba pada
tahap positivistis sebagai kemenangan
pasti akal. Dalam tahap tiologi,
semua fenomena dijelaskan dengan menunjukan kepada sebab-sebab supernatural dan
intervensi suatu yang bersifat Ilahi, dan segala problematika manusia
dipecahkan dengan mengacu pada dunia Tuhan atau para dewa-dewa yang tidak
terjangkau panca indra. Dalam tahap kedua, pemikiran manusia menuju
prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi. Dalam tahap falsafi ini “hakikat” segala
sesuatu menjadi keterangan terakhir. Dalam tahap ketiga yakni tahap
positivistis orang mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya untuk para
dunia dewa dan hakikat-hakikat, dan membatasi penyelidikan ilmu pengetahuan
pada fakta.
Para orientalis seharusnya menyusun hukum dengan menata
konsep keadilan dan etika, positivisme yang mereka tunjuk sebagai hal yang amat
penting merupakan korban konflik dan ketegangan, di satu pihak positivisme
analitis telah mnegubah tekanan dari teori-teori keadilan kepada kedaulatan
nasional sebagai tempat penyimpangan dan sumber kekuasaan hukum. Dalam
positivisme itu ada dua bentuknya, yaitu positivisme analitik, dan pragmatik.
Positivisme analitik bersifat kaku, sedangakn positivisme pragmatis bersifat
berubah-rubah dan memikirkan hukum dalam arti memaksimumkan pemenuhan sejumlah
keinginan.
Hukum-hukum manusia merupakan produk akal manusia, yang
karenanya didalamnya pasti tidak terlepas dari adanya ketidaksempurnaan dan
juga adakalanya bertentangan dengan kehidupan. Karena itu, hukum alam dimabil
sebagai hukum yang paling tinggi. Dalam teori hukum, positivisme dan idealisme
digambarkan saling bertentangan. Teori idealisme didasarkan pada sebuah konsep
keadilan, sedangkan teori positivisme di ilhami oleh pandangan-pandangan tentang
hukum yang bertentangan. Bagi positivisme analitik hukum adalah perintah dari
penguasa (negara), namun pada positivisme pragmatis menganggap bahwa hukum
tunduk kepada masyarakat, yang karenanya selalu berubah-ubah sesuai dengan setiap
perubahan dalam masyarakat.
Karena ada pemisahan antara apa yang nyata
dengan apa yang seharusnya, maka tidak akan ada titik temu antara hukum positif
dengan hukum alam, karena itu, syari’ah mengkombinasikan hukum sebagai adanya,
dan hukum sebagai yang seharusnya, sekaligus mempertahankan perintah dan
keadilan, sebagai pemerintah, penguasa tertinggi, maka syrai’ah adalah hukum
positif dan karena memberikan keadilan, maka syrai’ah bisa disebuat ideal, yang
karenanya, dapat digambarkan secara tepat sebagai ‘hukum positif dalam
bentuk ideal’. Dalam syari’ah positivisme dan idealisme dalam pengertian
yang sebenarnya tidak hanya didamaikan tetapi benar-benar harmonis.[4]
Filsafat positivisme ternyata sangat menekankan segi
rasional ilmiah, Dengan terlalu mendambakan ilmu positif sebagai satu-satunya
ilmu yang dianggap mampu mencapai kebenaran, ternyata pandangan positivisme
telah mereduksikan obyeknya, termasuk manusia dan alamanya. Paham positivisme
juga ternyata tidak mampu menghayati manusia dalam hakekatnya yang “monopluralistik”
yaitu kesatuan atau keutuhan.[5]
B.
Definisi hukum dalam sudut pandang positivisme dan islam
o
Definisi dan hukum
pendefinisian Hukum adalah suatu masalah yang belum
mencapai kata putus di antara para ahli hukum. Sebagian menyatakan bahwa suatu
definisi tentang hukum diperlukan,terutama bagi mereka yang baru memepelajari
hukum, Adanya definisi akan membantu mereka yang baru mempelajari hukum
menunjukkan jalan (open the way),ke arah mana ia harus berjalan.[6]
Untuk mempermudah uraian definisi hukum dari prespektif
islam, kami akan menguraikanya dari dua sudut pandang, yaitu AL-Qur’an Dan Fuqoha’.
1.
Alqur’an
Prof. K.H ALI yafie dalam hal dfinisi hukim
menurut sudut pandang alqur’an,berpendapat secara garis besar dalam al quran
memuat tiga hukum.
a.
Hukum alam
Sejumlah ketentuan-ketentuan yang pasti dan
berlaku sebgaai hukum yang mengatur segala hal dalam alam raya ini. Hukum alam
sebgai takdir allah memuat hukum causal yang akan menopang tegaknya hukum
sayrai’ah.
b.
Hukum sejarah
Hukum sejarah sebetulnya masih termasuk
kategori sunnatullah, karena sunatullah yang diperkenalkan al
qur’an tdak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang mengutamakan
materi saja, tetapi juga menjangkau alam yang non materi, yang oleh ilmu
pengetahuan disebut dengan hukum sejarah.
Hal ini sebgaimana alqur’an menyebutkan sunnatullah
dengan formulasi sunnatul awalin, sunnatan man qod arsalna, sunnatal
ladzina min qoblikum, yang semuanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwi
sejrah yang dialami para nabi, pelaku sejarah, umat dan tempat-temnpat
bersejarah dari umat terdahulu.
Kaitan
antar hukum sejarah dan hukum syrai’ah nampak jelas, dimana hukum sejarah
sangat membantu proses terbentuknya sutau hukum.
c.
Hukum syari’ah
Hukum syari’ah secara garis besar ada tiga
bagian. Pertama al ahkam al syra’iyah al ittiqodiyah (teologo islam), al
ahkam as syar’iyah al huluqiyah (tasawuf atau akhlak) al ahkam as
syar’iyah al amaliyah (ilmu fiqh).
Dari uraian tersebut kita bisa menarik
kesimpulan bahwa Al Quran memebrikan
definisi hukum dengan konsepsi yang integral. Karena terpadu hukum-hukum
syariah dengan hukum-hukum kauniyah, sebagaimana terpadunya antara
aqidah/keimanan dan moral dengan hukum amaliyah.
Selanjutnya definisi hukum dalam Al quran
akan dikaji dari sisi etimologisnya, hukum itu sendiri berasal dari bahas arab ‘’hukm’’
mempunyai makana yang lebih luas. makna hikmah
yang mengarah pada pengertian ‘’wisdom’’ dalam bahasa inggris. Hali
ini dapat dilihat dari firman Allah yang
menggambarkan tugas seorang nabi atrau utusan Allah.
Surat
Al Imran : 79
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
Artinya: Tidak wajar bagi seorang
munusia yang Allah berikan keadanya Al
Kitab,hukum dan kenabia, kalau dia berkata kepada manusia.Hendaklah kamu
menjadi penyembah penyembah Allah.Akan tetapi(dia berkata) Hendakalh kamu menjadi
orang orang Rabbani,karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu
tetap mempeljarinya.
Dan
juga pada Surat Al Baqarah:129
$uZ/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ y7ÏG»t#uä ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkÏj.tãur 4 y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
Artinya:Ya Tuhan kami utuslah untuk mereka
seorang Rasul dari kalangan mereka,yang akan mengajarkan ayat ayat Engkau dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan hikmah serta mensucikan
mereka.Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkas dan Maha Bijaksana.
Dari kedua ayat di atas ditarik pemahaman bahwa
hukum adalah peraturan tentang kehidupan sosial manusia yang mengandung ‘’wisdom’’.
2.
Fuqoha’
Para fuqaha dalam merumuskan definisi hukum
tidak ada keseragaman. Adapun hukum
secara etimologis didefinisiskan :
اثبات شي ء على شيء او نفيه عنه
Menetatakan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakan sesuatu daripadanya.
Sedangkan Ulama Ushul fiqh mendefinisikans sebagai berikut:
خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالاقتضا
اوالتخيير اوالوضع
“firman Allah
yang behubungan dengan perbuatan mukallaf, yang mengandung
tuntutan,menerangkan kebolehan,atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat
atau penghalang bagi sesuatu hukum.”
Pengertian hukum menurut Ushul fiqh
(metidologi) adalah berbeda dengan pengertian hukum menurut ilmu
fiqh.Pengertian hukum menurut Ushul fiqh adalah firman (nash) dari pembuat
syara’ itu sendiri.Seperti firman Allah :
Surat Al baqarah:110
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4 ×ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
Artinya:Dan dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat.
Sedangkan definisi hukum menurut ilmu fiqh
adalah akibat kandungn firman tersebut,yaitu: kewajiban shalat dan kewajiban
membayar zakat.[7]
o
Hukum dalam sudut pandang Positivisme
Positivismemu mulai merambah ke segala cabang ilmu
pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan tentang hukum, pada pertengahan
kedua abad ke19.[8]
Sebelum lahirnya aliran positivisme ini,
telah berkembang suatu pemikiran dalam hukum yang dikenal dengan legisme. Pemikiran
hukum ini berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di
banyak negara ,tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum
dengan undang undang. Satu satunya
sumber hukum dalah undang undang.[9]
Dalam aliran ini dikenal dua sub aliran yang terkenal
yaitu :
1.Alran
hukum positif yang analitis,pendasarnya
adalah John Austin.
2.Aliran
hukum positif yang murni, depelopori olah Hans klelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu
sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang undang
atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau memegang kedaulatan.
Selanjutnya john Austin membagi hukum itu atas :
1.
Hukum ciptaan Tuhan untuk manusia
2.
hukumyang dibuat oleh manusia,yang terdiri dari :
a. hukum dalam arti yang sebenarnya,yaitu yang juga sebagai
hukum positif,dirinci:
-hukum
ysng dibuat oleh penguasa,seperti undang undang peraturan pemerintah dan lain
lain,
-hukum
yang dibuat oleh rakyat,yang digunakan untuk melaksanakn hak hak yang diberikan
kepadanya.Contohnya hak wali terhadap orang yang berada dibawah
perwaliannya,hak kurator terhadap badan/orang yang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya,yaitu hukum
yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Contohnya, ketentuan-ketentuan
yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan tertentu dalam bidang
olahraga,mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk
dinamakan sebagai hukum,yaitu: perintah ,sanksi,kewajiban,dan kedaulatan.
ketentuan ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut bukanlah hukum
positif, unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar pihak
lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintahkan akan mengalami penderitaan
jika perintah tidak dijalankan. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban
terhadap yang diperintah. Dan yang memiliki kedaulatan itu bisa seoerang atau
sekelompok orang (souvereign person or a souverreign body of persons).[10]
Selanjutnya ajaran hukum murni dari hans kelsen, kami
golongankan ajaran ini pada aliran positivisme oleh karena ajaran-ajarannya
yang tak jauh berbeda dari ajaran Austin. Ada dua teori dari Hans kelsen. Pertama,ajarannya
tentang hukum yang bersifat murni dan kedua ajarannya tentang hukum yang
mengutamakn tentang adanya hierarkis dari pada undang undang, Inti ajaran hukum
murninya adalah: Bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang
tidak yuridis seperti etis,sosiologis,politis dan sebagainya.
Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak
memberikan tempat bagi berlakunya hukum
alam. Etika memberikan suatu penilaian
tentang baik dan buruk.ajaran kelsen menghindari dari soal penilaian
ini.
Dari unsur sosiologis,ajaran ini tidak memberikan ruang
bagi hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat.
Dari unsur hierarki hukum menyatakan bahwa suatu ketentuan
hukum tertentu bersumber dari ketentuan hukum lain yang lebih tinggi.[11]
C.
Hukum sebagai kesepakatan sosial
Di dalam suatu masyarakat yang oleh maclever
(the web of goverment, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba, yang
terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yag bertujuan
untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Pola-pola pikir manusia mempengaruhi
sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakuakan atau
tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan.
Dan
dalam masyarakat pasti terdapat adanya kebutuhan yang tidak setiap individu
dapat menerima, karna kebutuhan yang tidak selalu sama, oleh karan itu diperlukan
adanya kaidah-kaidah atas suatu aturan agar segala sesuatunya berjalan tertib
dan teratur. Ciri yang menonjol dari hukum mulai tampak pada penciptaan
norma-norma hukum yang “murni”, yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu
badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan
pembuatan hukum itu.seringkali para ahli hukum menganggap bahwa perbedaan yang
pokok anatra kaidah hukum di satu pihak dengan kaidah-kaidah sosial lainya dan
kaidah agama terletak pada bahwa kaidah hukum itu dapat dipaksakan berlakunnya
karna didukung oleh suatu kekuasaan (negara), semakin besar terdapatya
perbedaan antara kaidah hukum dengan peri kelakuan yang nyata, makin besar pula
kekuasaan yang diperlukan untuk memaksakan berlakunya kaidah tersebut.[12]
Dalam masyarakat pada umumnya memiliki baik
lembaga hukum maupun maupun lembaga non hukum. Tedapat dua ukuran untuk
memebedakan lembaga hukum dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan lainya, pertama,
lembaga hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara
menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Kedua, lembaga
hukum mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan
lembaga non hukum dan aturan yang mengatur akivtas lembaga-lembaga hukum itu
sendiri.[13]
Dalam sebuah kasus hukum kita pasti kan
mengenal adanya pemutusan hukuman, dan dalam putusan hukuma itu menutut john
stuart mill, sumber dari kesadran keadilan itu bukan terletak pada kegunaan
untuk memepertahankan diri dan persaan simpati:
“Menurut mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak
membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja
yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan kaan memberontak terhadap
kerusakan, penderitaan, tidak hanya tas dasar kepentingan individual,
melainkanlebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita
samakandengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian mencakup
semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.”
(satjipto rahardjo, 1982:241; bodenheimer, 1974:86).[14]
konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi
kesepakatan sosial (masyarakat) yang dituangkan dlam undang-uandang, dan supaya
pelaksanaan perundang-undanag yang bertujuan untuk pembaaruan itu dapat
berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undanga yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu
huk yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.
kaitan yang erat antara hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu
ternyata bahwa hukum yang baiktidak lain adalah hukum yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[15]
D.
Hukum islam, paduan antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal
dalam firman allah yang universal/etrenal
1.
Hukum Islam dan
Sosial
Fiqih bukan hanya kesulitan menuntaskan
berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap
mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang
viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut.[16]
Dalam persepektif umum setidaknya ada tiga
level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi fiqih. Pertama,
level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi terhadap teks-teks
fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab secara metodologis
(manhaj); dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang
(furu‘). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi
(al-qat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi).
Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi
dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga,
pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka
terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer.
Sebagai langkah awal dari upaya rekonstruksi
fiqih, tulisan berikut berihtiar menjelaskan sebuah tawaran solusi metode
fiqih, yaitu a univied approach to shari’ah and social inference.[17]
Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan memadukan pendekatan
tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara
simultan dalam model penelitian ilmiah yang Islami.
2.
Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum
Islam
Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga
pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik),
ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis).[18]
Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang
dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa.
Pola ijtihad bayani
adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Usaha ini
mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya
bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks.
Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer
ini mulai ada upaya rethinking, metode ini dengan memakai alat bantu
filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah
satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh
Gadamer.[19]
Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi
tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Namun, upaya
ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis
sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor
kurang berkembang dan diminatinya metode ini. upaya penafsiran ini berimplikasi
pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya
maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat
metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi)[20]
berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang
memiliki persamaan illat. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya
keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf).
Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala
persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas
(asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas dengan sendiri menjauhkannya dari
nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach[21]
bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa
utopis, suigeneris, dan ngawang-ngawang, tidak menyelesaikan
masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada
nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar
bayani dan nalar alami (perubahan empirik).
Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik
sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih
memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis
oleh al-Ghazali[22]
dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi[23]
ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum
realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan
landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam.
Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum
Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis.
Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita
cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri yang nota bene
merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri selalu saja
didefinisikan sebagai " تيليصفتلا اهتلدأ نه تيلوعلا تيعرشلا ماكحلآا طابنتسلإ دعاىقلا
" “seperangkat kaidah untuk
mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.[24]
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua
definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimat هن أدلتها التفصيليت .
Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang
terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.[25]
definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat
dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara
itu, realitas sosial empiris yang hidup (living law) kurang mendapatkan
tempat dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism)
inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari
cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.[26]
Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan
doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.[27]
Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan
pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek tulisan mereka masih
terpusat pada analisis normative-tekstual.[28]
Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh
Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan.[29]
Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) merupakan
karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi
kajian tertentu.[30]
kecenderungan tekstualitas yang berlebihan
dalam metode penemuan hukum seperti ini telah memunculkan kesulitan dan
ketidak-cakapan hukum Islam dalam merespon perubahan sosial. Karakteristik
kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law
in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya--
tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah.[31]
adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa
memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas
tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam.
3.
Pendekatan Terpadu
Hukum Islam Dan Sosial
Krisis metodologi keilmuan Islam, yang
berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas dianggap sebagai persoalan yang harus segera
mendapatkan terapi intelektual.[32]
Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti
dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat.
Hal itu disebabkan
karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami
krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya.[33]
Yang perlu dicatat bahwa integrasi ini bukanlah suatu
percampuran eklektik[34]
dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh
bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria
baru atas dasar Islam. Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards
A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference dan tokoh lain, [35]
adalah dalam kerangka tersebut di atas. bagaimana wahyu juga mengandung suatu
rasionalitas tertentu dan bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris
sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan.[36]
Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari
ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan
lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Oleh sebab itu,
memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah
–terutama wilayah ilmu-ilmu sosial
adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.[37]
Perlu digasrisbawahi bahwa ilmu sosial yang dimaksudkan oleh Safi dalam a
univied approach to shari’ah and sosial inference, menurut penulis, adalah
ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) secara umum.[38]
Adanya Penolakan
wahyu dalam analasis ilmiah hal itu karena menjadi tidak relevan terutama dalam
bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai konsekuensinya, maka sumber-sumber
pengetahuan juga harus digali baik dari
wahyu maupun dari realitas empiris-historis.[39]
Lebih
jauh bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah
metodologis dari upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas
(empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan? Kedua inferensi tersebut dilakukan
dengan suatu prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai
berikut:
A Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk
menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan
memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam prosedur ini, yaitu:
a) Mengindentifikasi teks (al-Qur‘an dan Sunnah)
yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas, yang mencakup pula analisis
dan pendalaman linguistik secara tematis.
b) Memahami (menafsirkan) makna teks secara
memadai dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun dengan yang
lain (secara kontekstual).
c) Menjelaskan
(ta’lil) terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien (‘illah)
yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks.
d) Membangun
suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai
dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga aturan atau konsep hasil
derivasi dari teks itu dimasukkan ke
dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.[40]
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya
sistem aturan dan konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak
cukup memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan.[41]
Pertama, sistem itu sendiri terdiri
dari aturan general dan universal, aplikasinya terhadap kasus partikular
membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi lebih lanjut. Kedua, aplikasi
aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada.
Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian
dengan kondisi aktualnya.
Berdasarkan hal itu diperlukan suatu studi terlebih
dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia sebelum suatu aturan wahyu
diimplementasikan.
B.
Prosedur Inferensi Historis[42]
a)
Menganalisis aksi individu yang termasuk ke
dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini
adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah
seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan
psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis
(hukum-hukum sosial) yang harus diikuti untuk mencapai tujuan.
b)
Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe
aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya (tujuan, motif dan
aturannya).
c)
Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang
membangun interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah
kedua.
Sistematisasi aturan-aturan universal yang
didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan
inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan.[43]
a) Analisis
teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan
(wacana) dan aksi (fenomena).
b) Pengelompokkan
pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori.
c) Mengidentifikasi
aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori.
d) Identifikasi
aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau
inter-relasi berbagai kategori.
IV.
Kesimpulan
Positivisme adalah paham atau aliran filsafat
ilmu pengetahuan modern yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi
dan menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain.
Aliran ini menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar. dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham
ini memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang
diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala
sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu
pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan
ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
Aliran positivisme mengidentikkan hukum
dengan undang undang. Satu satunya
sumber hukum dalah undang undang. Aliran hukum positif yang analitis
mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari
pembentuk undang undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagi
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system)
Hukum secara tegas dipisahakan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan
keadialan,dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. kaitan
yang erat antara hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata
bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Lemahnya analisis
sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak
pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam
metode penemuan hukum Islam selama ini. Disadari bahwa kecenderungan
tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada
gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu
sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik
kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law
in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya--
tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah.
V.
Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan
ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan
ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta
kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap
pada koridor membangun bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa
meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang
benar.
DAFTAR PUSTAKA
Coulson, Noel James. 1969. Conflict and
Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of
Chicago Press.
Djamil, Fathurahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Hallaq,
Wael B. 1997. A History f Islamic Legal Theories An Introduction to Sunni
Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hokum Islam Dan Pemikiran
Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rasjidi
, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007. Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rasjidi,
Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Pengantar filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. 1996. Arti
Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Jogjakarta: Gajah
Mada University Press.
Taqwim, Ahmad. 2009. Hukum Dalam Sudut Pandang Islam. Semarang;
Walisongo Press.
[1] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti
Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah Mada University Press, 1996).
Hlm36.
[2] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti
Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah
Mada University Press, 1996). Hlm 37.
[3] Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm 53.
[4] Muhamad Muslehuddin. Filsafat Hukum Islam Dan
Pemikiran Orientalis. (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1991). Hlm 72.
[5] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti Perekmbangan
Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah Mada
University Press, 1996). Hlm 64.
[6] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 38.
[7]Ahmad Taqwim. Hukum
Dalam Sudut Pandang Islam. (Semarang;Walisongo Press:2009). Hlm 12.
[8]Fathuraahman Djamil. Filsafat
Hukum Islam. (Jakarta;Logos Wacana Ilmu,1997).hlm 55
[9]Lili Rasjidi,Ira Thania Rasjidi. Dasar Dasar
Filsafat Dan Teori Hukum. (Bandung:Citra Aditya Bakti,2007).Hlm 56.
[10] Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. (Jakarta;
Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm 56
[11]Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar Dasar
Filsafat Dan Teori Hukum. (Bandung:Citra Aditya Bakti,2007). Hlm 60.
[12] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 40-45.
[13] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 49.
[14] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 61.
[15] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 81.
[16]Noel James Coulson, Conflict and Tension in
Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press,
1969), hlm 58-76
[17]Upaya ini ditawarkan oleh Louay Safi, dalam bukunya
The Foundation of Knowledge A Comparative Studyin Islamic and Western
Methods of Inquiry, (Selangor: IIU & IIIT, 1996), hlm. 171-196.
Muhammad Anas az-Zarqa coba mengembangkan metode ini dalam bidang ekonomi,
lihat Muhammad Anas az-Zarqa, Tahqiq Islamiyah Ilm al-Iqtisad: al-Manhaj wa
al-Mafh-m, dalam Toward Islamization of Disciplin, (Herdon: IIIT, 1989),
hlm 317-57.
[18] Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai
pola ijtihad yang berdiri sendiri dengan alasan beberapa bagian aplikasinya
masuk bahasan ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam katagori istislahi,
Lihat lebih lanjut pada Muhammad Ma‘ruf ad-Dawalibi, al-Madhal ila ‘Ilm
Usul al-Fiqh, (Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965), hlm. 419.
[19] Lihat lebih lanjut pada Hans George Gadamer, Truth
and Method, (New York: The Seabury Press,1975).
[20] Lihat uraian metode ini pada Mahsun Fuad, ―Ijtihad
Ta‘lili sebagai Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan
Analogi Hukum positif),‖ Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,
Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2004, hlm. 57-79.
[21] equilibrium approach adalah pendekatan yang
mengkombinasikan secara seimbang (adil) aspek teks dan konteks atau normatif
dan historis.
[22] Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat
al-Ghazalli, Al Mustasfa min Ilm al-Usul, (Beirut Dar al-Fikr,
tt), terutama hlm. 251.
[23] Mengenai konsep maslahah lihat pada asy-Syatibi, al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam, (Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H).
[24] Abu Zahrah misalnya
mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعد التي
ترسن الونا هج لإستنباط الأحكام
العوليت هن ادلتها التفصيليت . .
Lihat Abu Zahroh, Usul al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr al-‗Araby, tt.),
hlm. 7. Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعدوالبحىث التي يتىصل
بها إلى إستفادة الأحكام الشرعيت
العوليت هن ادلتها التفصيليت . . Lihat Abdul Wahhab
Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 12.
[25] Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut bahwa ushul
al-fiqh merupakan ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum dan sekaligus metode
deduksi hukum dari sumber-sumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles
of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991),
hlm. 1.
[26] Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an
Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and
Thought, 2nd Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1994), hlm. 87-92. Idem, Crisis
in the Muslim Mind, alih bahasa Yusuf Talal Delorenzo, 1st Edition,
(Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45. Lihat juga Akh. Minhaji, ―A
Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies, al-Jami’ah
Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v.
[27] Bandingkan dengan Akh. Minhaji, ―Reorientasi
Kajian Ushul Fiqih‖, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI
tahun 1999, hlm. 16-17.
[28] Syamsul Anwar, ―Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali
dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam‖, dalam M. Amin Abdullah et.
al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 198.
[29] Wael B. Hallaq, A History f Islamic Legal
Theories An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), hlm. 245, dan 253.
[30] Syamsul Anwar, ―Epistemologi Hukum Islam Probabilitas
dan Kepastian‖, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta:
FSHI Fak. Syari‘ah, 1994), hlm. 74.
[31] Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar
mencatat ada lima (5) karakteristik studi fiqh yang dominan, yaitu (1)
pemusatan studi hukum Islam sebagai law in book, tidak mencakup law
in action, (2) pencabangan materi yang rumit tanpa memperhatikan relevansi
dengan permasalahan yang berkembang (3) sifat polemik-apologetik, (4) inward
looking dan (5) atomistik. Secara epistemik kajian fiqh juga ditandai oleh
karakteristik (1) kurang memisahkan mitos dan sejarah, (2) univokalisasi makna
dan (3) nalar transhistoris. Syamsul Anwar, ―Paradigma Fikih Kontemporer:
Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh‖, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana
IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002, hlm. 8-9.
Karakteristik lebih sederhana diberikan oleh Hasyim Kamali, yaitu: (1) tidak
mendukung efektifitas dan efisiensi administrative, karena ditulis mengikuti style
abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi, (2) consern
kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam, dan
(3) adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme
madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain. M.
Hasyim Kamali, ―Fiqh and Adaptation to Sosial Reality‖ dalam The Muslim
World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996, hlm. 78-79.
[32] Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic
Theory of International Relation, hlm. 87-92, 92-96. Idem, Crisis in the
Muslim Mind, hlm. 43-63.
[33] Ibid,hal 4-9.
[34] Islamil R. al-Faruqi, sebagaimana dikutip oleh
Louay Safi, The Foundation of Knowledge, hlm. 6.
[35] lihat Muhammad Anas az-Zarqa, ―Tahqiq Islamiyah
‗Ilm al-Iqtisad: al-Manhaj wa al-Mafh-m,dalam Toward Islamization of
Disciplin, (Herdon: IIIT, 1989).
[36] Ibid, hlm 172-176.
[38] Ibid, hlm 149-155.
[39] Ibid, hlm 3-5.
[40] Ibid, hlm, 187-189.
[41] Ibid, hlm, 194.
[42] Ibid, hal, 182- 186.
[43] Ibid, hal, 190.
Komentar
Posting Komentar