HUKUM dalam PARADIGMA POSITIVISME dan HUKUM ISLAM



HUKUM dalam PARADIGMA POSITIVISME dan HUKUM ISLAM

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu : Dr. H. Abu Hapsin, ph.D, M.A.


Disusun oleh:
       Husni Fauzan                   (122111053)
       Hadhin Mahdhun            (122111092)
       Nely Sama Kamalia         (122111102)
       Nihayatul Ifadhloh          (122111103)



AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Hukum dalam Paradigma Positivisme dan hukum Islam

I.                   Pendahuluan
Sejarah filsafat telah mengajarkan kepada kita bahwa keterlibatan umat manusia dibidang filsafat telah menempatkan manusia untuk terus menerus bergulat dengan masalah-masalah dasar yang sudah ada sejak manusia berfilsafat.
Menghadapi filsafat positivisme, di satu pihak orang mengatakan bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sebuah metode atau pendirian saja, sedang di lain pihak orang mengatakan bahwa filsafat positivisme itu  merupakan “sistem afirmasi”, sebuah konsep tentang dunia dan manusia, dan juga terdapat seorang tokoh yang mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-19 tidak dapat ditulis tanpa positivisme. Sebutan “filsafat positivisme” bagi suatu aliran filsafat muncul kembali pada abad ke 20, setelah dahulu ada pada abad ke 18.[1]
jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan kepada pengadilan yang unfair jelaslah hukum di suatu negara tidak akan pernah bersentuh dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering digaungkan oleh kaum positivisme tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya menghapus pemikiran yang selalu mengindentikkan hukum sebagai undang-undang saja. Secara ilmiah dapat dikatakan tidak benar bahwa kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat. Pemikiran positivisme hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Sebaliknya, positivisme kental dengan ide pendokumenan dan pemformalan hukum.

II.                Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§  Pengertian paradigma positivisme, sejarah dan perkembanganya !
§  Definisi hukum dalam sudut pandang positivisme dan islam !
§  Hukum sebagai kesepakatan sosial !
§  Hukum islam, paduan antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal dalam firman allah yang universal/etrenal !
III.              Pembahasan
A.                Pengertian paradigma positivisme, sejarah dan perkembanganya
Untuk memahami filsafat positivisme, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan positif. Dan salah satu ilmuan Auguste Comte menerangkan bahwa yang dimaksud dengan positif adalah:
1.                  Sebagai lawan atau kebalikan sesutau yang bersifat khayal, maka pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesutau yang nyata, jadi filsafat positivisme itu dalam menyelidiki obyek sasaranya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran penyelidikan.
2.                  Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka pengertian positif diartikan sebagai penafsiran sesuatu yang bermanfaat, hal ini sesuai dengan ajaranya yang menyatakan bahwa di dalam filsafat positivisme, segala sesutau harus dapat diarahkan kepada pencapaian kemajuan.
3.                  Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat negatif, maka pengertian positif dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju kearah penataan atau penertiban.[2] 
Perinsip pokok positifisme berbunyi “ilmu yang dapat mengajar kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif”. Ini adalah ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia) yang ditunjukkan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal keteraturan hukum didalamnya. Disamping ilmu-ilmu positif ini (yang membicaraan kenyataan) positivisme mengakuai keilmiahan ilmu formal (didalamnya dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti. Dengan menganut perinsip ini maka filsafat, teologi dan etika tidak lagi dianggap sebagai suatu yang ilmiah.[3]
Comte seorang matematikus dan filusuf  perancis, membedakan tiga tahap evolusi dalam pemikiran manusia. Teori tersebut terkenal dengan nama “Teori Tiga Tahap”. Berdasarkan tiori tiga tahap, seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari studium yaitu tiologi (mistis) ke tahap falsafi, dan akhirnya tiba pada tahap positivistis sebagai kemenangan pasti akal. Dalam tahap tiologi, semua fenomena dijelaskan dengan menunjukan kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi suatu yang bersifat Ilahi, dan segala problematika manusia dipecahkan dengan mengacu pada dunia Tuhan atau para dewa-dewa yang tidak terjangkau panca indra. Dalam tahap kedua, pemikiran manusia menuju prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi. Dalam tahap falsafi ini “hakikat” segala sesuatu menjadi keterangan terakhir. Dalam tahap ketiga yakni tahap positivistis orang mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya untuk para dunia dewa dan hakikat-hakikat, dan membatasi penyelidikan ilmu pengetahuan pada fakta.
Para orientalis seharusnya menyusun hukum dengan menata konsep keadilan dan etika, positivisme yang mereka tunjuk sebagai hal yang amat penting merupakan korban konflik dan ketegangan, di satu pihak positivisme analitis telah mnegubah tekanan dari teori-teori keadilan kepada kedaulatan nasional sebagai tempat penyimpangan dan sumber kekuasaan hukum. Dalam positivisme itu ada dua bentuknya, yaitu positivisme analitik, dan pragmatik. Positivisme analitik bersifat kaku, sedangakn positivisme pragmatis bersifat berubah-rubah dan memikirkan hukum dalam arti memaksimumkan pemenuhan sejumlah keinginan.
Hukum-hukum manusia merupakan produk akal manusia, yang karenanya didalamnya pasti tidak terlepas dari adanya ketidaksempurnaan dan juga adakalanya bertentangan dengan kehidupan. Karena itu, hukum alam dimabil sebagai hukum yang paling tinggi. Dalam teori hukum, positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Teori idealisme didasarkan pada sebuah konsep keadilan, sedangkan teori positivisme di ilhami oleh pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan. Bagi positivisme analitik hukum adalah perintah dari penguasa (negara), namun pada positivisme pragmatis menganggap bahwa hukum tunduk kepada masyarakat, yang karenanya selalu berubah-ubah sesuai dengan setiap perubahan dalam masyarakat.
Karena ada pemisahan antara apa yang nyata dengan apa yang seharusnya, maka tidak akan ada titik temu antara hukum positif dengan hukum alam, karena itu, syari’ah mengkombinasikan hukum sebagai adanya, dan hukum sebagai yang seharusnya, sekaligus mempertahankan perintah dan keadilan, sebagai pemerintah, penguasa tertinggi, maka syrai’ah adalah hukum positif dan karena memberikan keadilan, maka syrai’ah bisa disebuat ideal, yang karenanya, dapat digambarkan secara tepat sebagai ‘hukum positif dalam bentuk ideal’. Dalam syari’ah positivisme dan idealisme dalam pengertian yang sebenarnya tidak hanya didamaikan tetapi benar-benar harmonis.[4]
Filsafat positivisme ternyata sangat menekankan segi rasional ilmiah, Dengan terlalu mendambakan ilmu positif sebagai satu-satunya ilmu yang dianggap mampu mencapai kebenaran, ternyata pandangan positivisme telah mereduksikan obyeknya, termasuk manusia dan alamanya. Paham positivisme juga ternyata tidak mampu menghayati manusia dalam hakekatnya yang “monopluralistik” yaitu kesatuan atau keutuhan.[5]
B.                 Definisi hukum dalam sudut pandang positivisme dan islam
o    Definisi dan hukum
pendefinisian Hukum adalah suatu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli hukum. Sebagian menyatakan bahwa suatu definisi tentang hukum diperlukan,terutama bagi mereka yang baru memepelajari hukum, Adanya definisi akan membantu mereka yang baru mempelajari hukum menunjukkan jalan (open the way),ke arah mana ia harus  berjalan.[6]
Untuk mempermudah uraian definisi hukum dari prespektif islam, kami akan menguraikanya dari dua sudut pandang, yaitu  AL-Qur’an Dan Fuqoha’.
1.                  Alqur’an
Prof. K.H ALI yafie dalam hal dfinisi hukim menurut sudut pandang alqur’an,berpendapat secara garis besar dalam al quran memuat tiga hukum.
a.         Hukum alam
Sejumlah ketentuan-ketentuan yang pasti dan berlaku sebgaai hukum yang mengatur segala hal dalam alam raya ini. Hukum alam sebgai takdir allah memuat hukum causal yang akan menopang tegaknya hukum sayrai’ah.
b.         Hukum sejarah
Hukum sejarah sebetulnya masih termasuk kategori sunnatullah, karena sunatullah yang diperkenalkan al qur’an tdak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang  mengutamakan  materi saja, tetapi juga menjangkau alam yang non materi, yang oleh ilmu pengetahuan disebut dengan hukum sejarah.
Hal ini sebgaimana alqur’an menyebutkan sunnatullah dengan formulasi sunnatul awalin, sunnatan man qod arsalna, sunnatal ladzina min qoblikum, yang semuanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwi sejrah yang dialami para nabi, pelaku sejarah, umat dan tempat-temnpat bersejarah dari umat terdahulu.
 Kaitan antar hukum sejarah dan hukum syrai’ah nampak jelas, dimana hukum sejarah sangat membantu proses terbentuknya sutau hukum.
c.         Hukum syari’ah
Hukum syari’ah secara garis besar ada tiga bagian. Pertama al ahkam al syra’iyah al ittiqodiyah (teologo islam), al ahkam as syar’iyah al huluqiyah (tasawuf atau akhlak) al ahkam as syar’iyah al amaliyah (ilmu fiqh).
Dari uraian tersebut kita bisa menarik kesimpulan bahwa  Al Quran memebrikan definisi hukum dengan konsepsi yang integral. Karena terpadu hukum-hukum syariah dengan hukum-hukum kauniyah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral dengan hukum amaliyah.
Selanjutnya definisi hukum dalam Al quran akan dikaji dari sisi etimologisnya, hukum itu sendiri  berasal dari bahas arab ‘’hukm’’ mempunyai makana yang lebih luas. makna hikmah  yang mengarah pada pengertian ‘’wisdom’’ dalam bahasa inggris. Hali ini dapat  dilihat dari firman Allah yang menggambarkan tugas seorang nabi atrau utusan Allah.
Surat  Al Imran : 79
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuŠÏ?÷sムª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #YŠ$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrߊ «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhŠÏY»­/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ  
Artinya: Tidak wajar bagi seorang munusia  yang Allah berikan keadanya Al Kitab,hukum dan kenabia, kalau dia berkata kepada manusia.Hendaklah kamu menjadi penyembah penyembah Allah.Akan tetapi(dia berkata) Hendakalh kamu menjadi orang orang Rabbani,karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempeljarinya.
 Dan juga pada Surat Al Baqarah:129
$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ 
Artinya:Ya Tuhan kami utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka,yang akan mengajarkan ayat ayat Engkau dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan hikmah serta mensucikan mereka.Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkas dan Maha Bijaksana.
Dari kedua ayat di atas ditarik pemahaman bahwa hukum adalah peraturan tentang kehidupan sosial manusia yang mengandung ‘’wisdom’’.

2.                  Fuqoha’ 
Para fuqaha dalam merumuskan definisi hukum tidak ada keseragaman.  Adapun hukum secara etimologis didefinisiskan :
اثبات شي ء على شيء او نفيه عنه
Menetatakan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.  Sedangkan Ulama Ushul fiqh mendefinisikans sebagai berikut:         
خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين بالاقتضا اوالتخيير اوالوضع  
“firman Allah  yang behubungan dengan perbuatan mukallaf, yang mengandung tuntutan,menerangkan kebolehan,atau menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.”
Pengertian hukum menurut Ushul fiqh (metidologi) adalah berbeda dengan pengertian hukum menurut ilmu fiqh.Pengertian hukum menurut Ushul fiqh adalah firman (nash) dari pembuat syara’ itu sendiri.Seperti firman Allah :
Surat Al baqarah:110
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  
Artinya:Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.
Sedangkan definisi hukum menurut ilmu fiqh adalah akibat kandungn firman tersebut,yaitu: kewajiban shalat dan kewajiban membayar zakat.[7]
o    Hukum dalam sudut pandang Positivisme
Positivismemu mulai merambah ke segala cabang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan tentang hukum, pada pertengahan kedua abad ke19.[8]  Sebelum lahirnya aliran positivisme ini, telah berkembang suatu pemikiran dalam hukum yang dikenal dengan legisme. Pemikiran hukum ini berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di banyak negara ,tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang undang. Satu satunya  sumber hukum dalah undang undang.[9]  
Dalam aliran ini dikenal dua sub aliran yang terkenal yaitu :
1.Alran hukum positif  yang analitis,pendasarnya adalah John Austin.
2.Aliran hukum positif yang murni, depelopori olah Hans klelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan.
Selanjutnya john Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan  untuk manusia
2. hukumyang dibuat oleh manusia,yang terdiri dari :
a. hukum dalam arti yang sebenarnya,yaitu yang juga sebagai hukum positif,dirinci:
-hukum ysng dibuat oleh penguasa,seperti undang undang peraturan pemerintah dan lain lain,
-hukum yang dibuat oleh rakyat,yang digunakan untuk melaksanakn hak hak yang diberikan kepadanya.Contohnya hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya,hak kurator terhadap badan/orang yang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya,yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Contohnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan tertentu dalam bidang olahraga,mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk dinamakan sebagai hukum,yaitu: perintah ,sanksi,kewajiban,dan kedaulatan. ketentuan ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut bukanlah hukum positif, unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar pihak lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintahkan akan mengalami penderitaan jika perintah tidak dijalankan. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah. Dan yang memiliki kedaulatan itu bisa seoerang atau sekelompok orang (souvereign person or a souverreign body of persons).[10]
Selanjutnya ajaran hukum murni dari hans kelsen, kami golongankan ajaran ini pada aliran positivisme oleh karena ajaran-ajarannya yang tak jauh berbeda dari ajaran Austin. Ada dua teori dari Hans kelsen. Pertama,ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua ajarannya tentang hukum yang mengutamakn tentang adanya hierarkis dari pada undang undang, Inti ajaran hukum murninya adalah: Bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis,sosiologis,politis dan sebagainya.
Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya  hukum alam. Etika memberikan suatu penilaian  tentang baik dan buruk.ajaran kelsen menghindari dari soal penilaian ini.
Dari unsur sosiologis,ajaran ini tidak memberikan ruang bagi hukum kebiasaan yang hidup  di masyarakat.
Dari unsur hierarki hukum menyatakan bahwa suatu ketentuan hukum tertentu bersumber dari ketentuan hukum lain yang lebih tinggi.[11]
C.                Hukum sebagai kesepakatan sosial
Di dalam suatu masyarakat yang oleh maclever (the web of goverment, 1954) digambarkan sebagai sarang laba-laba, yang terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar individu yag bertujuan untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.  Pola-pola pikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakuakan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan.
 Dan dalam masyarakat pasti terdapat adanya kebutuhan yang tidak setiap individu dapat menerima, karna kebutuhan yang tidak selalu sama, oleh karan itu diperlukan adanya kaidah-kaidah atas suatu aturan agar segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Ciri yang menonjol dari hukum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang “murni”, yaitu yang dibuat secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk menjalankan pembuatan hukum itu.seringkali para ahli hukum menganggap bahwa perbedaan yang pokok anatra kaidah hukum di satu pihak dengan kaidah-kaidah sosial lainya dan kaidah agama terletak pada bahwa kaidah hukum itu dapat dipaksakan berlakunnya karna didukung oleh suatu kekuasaan (negara), semakin besar terdapatya perbedaan antara kaidah hukum dengan peri kelakuan yang nyata, makin besar pula kekuasaan yang diperlukan untuk memaksakan berlakunya kaidah tersebut.[12]
Dalam masyarakat pada umumnya memiliki baik lembaga hukum maupun maupun lembaga non hukum. Tedapat dua ukuran untuk memebedakan lembaga hukum dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan lainya, pertama, lembaga hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. Kedua, lembaga hukum mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan lembaga non hukum dan aturan yang mengatur akivtas lembaga-lembaga hukum itu sendiri.[13]
Dalam sebuah kasus hukum kita pasti kan mengenal adanya pemutusan hukuman, dan dalam putusan hukuma itu menutut john stuart mill, sumber dari kesadran keadilan itu bukan terletak pada kegunaan untuk memepertahankan diri dan persaan simpati:
“Menurut mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan kaan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya tas dasar kepentingan individual, melainkanlebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakandengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.” (satjipto rahardjo, 1982:241; bodenheimer, 1974:86).[14]
konsepsi hukum sebagai “sarana” yang menjadi kesepakatan sosial (masyarakat) yang dituangkan dlam undang-uandang, dan supaya pelaksanaan perundang-undanag yang bertujuan untuk pembaaruan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undanga yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran sosiological jurisprudence yaitu huk yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. kaitan yang erat antara hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baiktidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[15]
D.                Hukum islam, paduan antara kesepakatan sosial yang partikular/lokal dalam firman allah yang universal/etrenal
1.         Hukum Islam dan Sosial
Fiqih bukan hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut.[16]
Dalam persepektif umum setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab secara metodologis (manhaj); dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu‘). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi (al-qat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi). Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga, pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer.
 Sebagai langkah awal dari upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut berihtiar menjelaskan sebuah tawaran solusi metode fiqih, yaitu a univied approach to shari’ah and social inference.[17] Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan memadukan pendekatan tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan dalam model penelitian ilmiah yang Islami.
2.          Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam
Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis).[18] Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa.
 Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks.
Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking, metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.[19] Interpretasi produktif sebagai model dari hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spisifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas.
Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi)[20] berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf).
Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas dengan sendiri menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach[21] bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, suigeneris, dan ngawang-ngawang, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).
Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali[22] dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi[23] ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam.
Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri selalu saja didefinisikan sebagai " تيليصفتلا اهتلدأ نه تيلوعلا تيعرشلا ماكحلآا طابنتسلإ دعاىقلا " seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.[24]
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fiqh tersebut adalah kalimat هن أدلتها التفصيليت . Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.[25] definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup (living law) kurang mendapatkan tempat dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.[26] Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.[27]
Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.[28] Demikian juga upaya pembaruan pemikiran kontemporer, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman sampai Muhammad Sahrur, masih belum memberikan ketegasan.[29] Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu.[30]
kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam dalam merespon perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah.[31]
adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam.
3.         Pendekatan Terpadu Hukum Islam Dan Sosial
Krisis metodologi keilmuan Islam, yang berpangkal pada kurangnya dimensi empirisitas dianggap  sebagai persoalan yang harus segera mendapatkan terapi intelektual.[32] Akan tetapi, kekurangan tersebut tidak dapat semata-mata ditutup atau diganti dengan menerapkan ilmu-ilmu sosial modern Barat.
 Hal itu disebabkan karena metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial modern juga tengah mengalami krisis epistemologis yang tidak kalah akutnya.[33]
Yang perlu dicatat bahwa integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik[34] dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagai reorientasi seluruh bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar Islam. Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference dan tokoh lain, [35] adalah dalam kerangka tersebut di atas. bagaimana wahyu juga mengandung suatu rasionalitas tertentu dan bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan.[36]
Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah akibat dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial  adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.[37]
Perlu digasrisbawahi bahwa  ilmu sosial yang dimaksudkan oleh Safi dalam a univied approach to shari’ah and sosial inference, menurut penulis, adalah ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) secara umum.[38]
 Adanya Penolakan wahyu dalam analasis ilmiah hal itu karena menjadi tidak relevan terutama dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora. Sebagai konsekuensinya, maka sumber-sumber pengetahuan juga harus digali baik dari  wahyu maupun dari realitas empiris-historis.[39]
            Lebih jauh bagaimana upaya merumuskan kerangka dasar dan bagaimana langkah-langkah metodologis dari upaya mengintegrasikan normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan? Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu prosedur inferensi yang khas, sebagaimana dijelaskan Safi sebagai berikut:
A         Prosedur Inferensi Tekstual
Prosedur inferensi tekstual ini dimaksudkan untuk menderivasi aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis dan memadai. Ada empat langkah yang harus dilewati dalam prosedur ini, yaitu:
a)       Mengindentifikasi teks (al-Qur‘an dan Sunnah) yang relevan dengan persoalan yang sedang dibahas, yang mencakup pula analisis dan pendalaman linguistik secara tematis.
b)       Memahami (menafsirkan) makna teks secara memadai dan relevan baik secara individual (leksikal) maupun dengan yang lain (secara kontekstual).
c)      Menjelaskan (ta’lil) terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efisien (‘illah) yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks.
d)     Membangun suatu aturan dan konsep umum yang diderivasi dari teks. Ini dapat dicapai dengan proses abstraksi terus-menerus, sehingga aturan atau konsep hasil derivasi dari teks itu  dimasukkan ke dalam aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi.[40]
Sebelumnya harus disadari bahwa bagaimanapun canggihnya sistem aturan dan konsep yang berhasil diderivasikan dari wahyu, hal itu tidak cukup memadai untuk mendasari perbuatan/tindakan tertentu, karena dua alasan.[41]
 Pertama, sistem itu sendiri terdiri dari aturan general dan universal, aplikasinya terhadap kasus partikular membutuhkan pertimbangan dan spesifkasi lebih lanjut. Kedua, aplikasi aturan universal mensyaratkan pengetahuan tentang syarat-syarat yang ada. Aplikasi aturan dimungkinkan ketika syarat teoretis dari suatu aksi bersesuaian dengan kondisi aktualnya.
Berdasarkan hal itu diperlukan suatu studi terlebih dahulu terhadap aksi dan interaksi manusia sebelum suatu aturan wahyu diimplementasikan.
B.                Prosedur Inferensi Historis[42]
a)         Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahas. Maksud yang ingin diketahui di sini adalah tujuan, motif dan aturan aksi tersebut. Tujuan adalah seluruh obek yang dikemukakan oleh aktor. Motivasi adalah dorongan psikologis aktor. Sedangkan aturan adalah suatu prosedur teknis (hukum-hukum sosial) yang harus diikuti untuk mencapai tujuan.
b)        Mengklasifikasi berbagai bentuk atau tipe aksi berdasarkan kesamaan atau perbedaan komponennya (tujuan, motif dan aturannya).
c)        Mengidentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompok yang diidentifikasi pada langkah kedua.
Sistematisasi aturan-aturan universal yang didapatkan dari langkah sebelumnya. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan yang dihasilkan.[43]
a)      Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan (wacana) dan aksi (fenomena).
b)      Pengelompokkan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori.
c)      Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori.
d)     Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori.
IV.             Kesimpulan
Positivisme adalah paham atau aliran filsafat ilmu pengetahuan modern yang memicu pesatnya perkembangan sains di satu sisi dan menandai krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat di sisi lain.  Aliran ini menyatakan bahwa ilmu alam adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Paham ini memandang bahwa paradigma positivisme adalah satu-satunya paradigma yang diterapkan untuk menyatakan kesahihan ilmu pengetahuan. Maka dari itu segala sesuatu yang dinyatakan oleh para ilmuwan dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan jika mengikuti paradigma tersebut. Suatu pernyataan dapat dikatakan ilmu pengetahuan apabila kebenarannya dapat dibuktikan secara empiris.
Aliran positivisme mengidentikkan hukum dengan undang undang. Satu satunya  sumber hukum dalah undang undang. Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagi sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system) Hukum secara tegas dipisahakan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadialan,dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk. kaitan yang erat antara hukum dan nilai –nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action --sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah.

V.                     Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar.


DAFTAR PUSTAKA

Coulson, Noel James. 1969. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Djamil, Fathurahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hallaq, Wael B. 1997. A History f Islamic Legal Theories An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press.
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hokum Islam Dan Pemikiran Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rasjidi , Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007. Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Pengantar filsafat Hukum. Bandung:  Mandar Maju.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. 1996. Arti Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Jogjakarta: Gajah Mada University Press.
Taqwim, Ahmad. 2009. Hukum Dalam Sudut Pandang Islam. Semarang; Walisongo Press.



[1] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah Mada University Press, 1996). Hlm36.
[2] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah Mada University Press, 1996). Hlm 37.
[3] Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm 53.
[4] Muhamad Muslehuddin. Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis. (Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya, 1991). Hlm 72.
[5] Koento Wibisono Siswomihardjo. Arti Perekmbangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. (Jogjakarta; Gajah Mada University Press, 1996). Hlm 64.
[6] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 38.
[7]Ahmad Taqwim. Hukum Dalam Sudut Pandang Islam. (Semarang;Walisongo Press:2009). Hlm 12.
[8]Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. (Jakarta;Logos Wacana Ilmu,1997).hlm 55
[9]Lili Rasjidi,Ira Thania Rasjidi. Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum. (Bandung:Citra Aditya Bakti,2007).Hlm 56.
[10] Fathuraahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm 56
[11]Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum. (Bandung:Citra Aditya Bakti,2007). Hlm 60.
[12] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 40-45.
[13] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 49.
[14] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 61.
[15] Lili Rasjidi Dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar filsafat Hukum.(Bandung;Mandar Maju,2007). Hlm 81.
[16]Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), hlm 58-76
[17]Upaya ini ditawarkan oleh Louay Safi, dalam bukunya The Foundation of Knowledge A Comparative Studyin Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: IIU & IIIT, 1996), hlm. 171-196. Muhammad Anas az-Zarqa coba mengembangkan metode ini dalam bidang ekonomi, lihat Muhammad Anas az-Zarqa, Tahqiq Islamiyah Ilm al-Iqtisad: al-Manhaj wa al-Mafh-m, dalam Toward Islamization of Disciplin, (Herdon: IIIT, 1989), hlm 317-57.
[18] Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai pola ijtihad yang berdiri sendiri dengan alasan beberapa bagian aplikasinya masuk bahasan ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam katagori istislahi, Lihat lebih lanjut pada Muhammad Ma‘ruf ad-Dawalibi, al-Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965), hlm. 419.
[19] Lihat lebih lanjut pada Hans George Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press,1975).
[20] Lihat uraian metode ini pada Mahsun Fuad, ―Ijtihad Ta‘lili sebagai Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan Analogi Hukum positif),‖ Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2004, hlm. 57-79.
[21] equilibrium approach adalah pendekatan yang mengkombinasikan secara seimbang (adil) aspek teks dan konteks atau normatif dan historis.
[22] Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat al-Ghazalli, Al Mustasfa min Ilm al-Usul, (Beirut Dar al-Fikr, tt), terutama hlm. 251.
[23] Mengenai konsep maslahah lihat pada asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H).
[24] Abu Zahrah misalnya mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعد التي ترسن الونا هج لإستنباط الأحكام
العوليت هن ادلتها التفصيليت . . Lihat Abu Zahroh, Usul al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr al-‗Araby, tt.), hlm. 7. Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعدوالبحىث التي يتىصل بها إلى إستفادة الأحكام الشرعيت
العوليت هن ادلتها التفصيليت . . Lihat Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 12.
[25] Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut bahwa ushul al-fiqh merupakan ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum dan sekaligus metode deduksi hukum dari sumber-sumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), hlm. 1.
[26] Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1994), hlm. 87-92. Idem, Crisis in the Muslim Mind, alih bahasa Yusuf Talal Delorenzo, 1st Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45. Lihat juga Akh. Minhaji, ―A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v.
[27] Bandingkan dengan Akh. Minhaji, ―Reorientasi Kajian Ushul Fiqih‖, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. 16-17.
[28] Syamsul Anwar, ―Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam‖, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 198.
[29] Wael B. Hallaq, A History f Islamic Legal Theories An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 245, dan 253.
[30] Syamsul Anwar, ―Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian‖, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: FSHI Fak. Syari‘ah, 1994), hlm. 74.
[31] Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar mencatat ada lima (5) karakteristik studi fiqh yang dominan, yaitu (1) pemusatan studi hukum Islam sebagai law in book, tidak mencakup law in action, (2) pencabangan materi yang rumit tanpa memperhatikan relevansi dengan permasalahan yang berkembang (3) sifat polemik-apologetik, (4) inward looking dan (5) atomistik. Secara epistemik kajian fiqh juga ditandai oleh karakteristik (1) kurang memisahkan mitos dan sejarah, (2) univokalisasi makna dan (3) nalar transhistoris. Syamsul Anwar, ―Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh‖, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002, hlm. 8-9. Karakteristik lebih sederhana diberikan oleh Hasyim Kamali, yaitu: (1) tidak mendukung efektifitas dan efisiensi administrative, karena ditulis mengikuti style abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi, (2) consern kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam, dan (3) adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain. M. Hasyim Kamali, ―Fiqh and Adaptation to Sosial Reality‖ dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996, hlm. 78-79.
[32] Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation, hlm. 87-92, 92-96. Idem, Crisis in the Muslim Mind, hlm. 43-63.
[33] Ibid,hal 4-9.
[34] Islamil R. al-Faruqi, sebagaimana dikutip oleh Louay Safi, The Foundation of Knowledge, hlm. 6.
[35] lihat Muhammad Anas az-Zarqa, ―Tahqiq Islamiyah ‗Ilm al-Iqtisad: al-Manhaj wa al-Mafh-m,dalam Toward Islamization of Disciplin, (Herdon: IIIT, 1989).
[36] Ibid, hlm 172-176.
[37] Ibid, hlm172-179.
[38] Ibid, hlm 149-155.
[39] Ibid, hlm 3-5.
[40] Ibid, hlm, 187-189.
[41] Ibid, hlm, 194.
[42] Ibid, hal, 182- 186.
[43] Ibid, hal, 190.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE