TINDAK PIDANA KORUPSI
TINDAK PIDANA KORUPSI
(Revisi Individu)
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Fiqh Jinayah
Dosen Pengampu : Drs.,
Rokhmadi, M.,Ag
Disusun
oleh:
Nihayatul Ifadhloh
(122111103)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Tindak Pidana Korupsi
I.
Pendahuluan
Tindak
pidana korupsi merupakan kejahatan yang sudah tidak asing lagi dimata orang
Indonesia, kejahatan ini telah terkonsep dalam pikiran masyarakat bahwa pelaku
dari korupsi (koruptor) adalah kalangan atas yang dengan sewenang-wenangnya
menyelewengkan amanah rakyat juga negara. fenomena korupsi sebenarnya sudah
ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang
dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak
Indonesia belum merdeka.Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah
ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Berbagai
upaya dilakukan negara untuk memberantas sendi-sendi korupsi yang ada, namun
tidak kunjung menurun, malah semakin terungkap delik-delik korupsi yang ada,
mulai dari tingkat pejabat hingga daerah, mungkin hal yang dapat kita lakukan
adalah mulai dari diri kita sendiri kemudian lingkungan sekitar kita. Sanksi
atas tindakan korupsi seharusnya dapat ditinjau kembali untuk lebih mengikat
dan memberi ketegasan hukuman bagi para koruptor. Mungkin dalam agama (Islam)
juga memberikan perhatianya dalam masalah yang satu ini, namun tidak langsung
dalam bentuk penyataan korupsi, tapi dapat kita lihat atau kita sepadankan
seorang koruptor dengan seorang pencuri (berdasi), seorang yang menyelewengkan
amanat, dan dalam tulisan ini, pemakalah akan mencoba untuk memaparkan tentang
korupsi, dan juga sanksi hukumnya, terlebih dalam pandangan agama Islam.
II. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§ Pengertian
tindak pidana korupsi !
§ Dasar
dan sanksi hukum tindak pidana korupsi !
III.
Pembahasan
A.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi
adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, mitra kerja,
dll) untuk keuntungan pribadi atau suatu golongan.[1]
Diantara
bentuk-bentuk korupsi apabila ditinjau dari sisi syari’at islam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Suap menyuap disebut
dengan (ar-risywah).
2.
Dalam penggelapan uang
negara/menyembunyikan uang negara dapat dikatagorikan dengan (al-ghulul).
3.
Mengambil hak orang lain
secara bathil (ghosob).
4.
Menghiyanati negara
dengan menyelewengkan amanat (khiyanat).
5.
Pencurian (sariqoh).
pengertian
dari macam bentuk tindakan-tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak
pidana korupsi, akan dibahas dibawah ini.
1.
Risywah
(suap menyuap)
Dari
segi bahasa, risywah adalah suatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan
segala cara agar tujuan tersebut dapat tercapai. Risywah merupakan salah
satu bentuk korupsi yang mempunyai intensitas paling tinggi kasunya, dalam
prakteknya bentuk risywah mengggunakn barang berupa uang atau pun yang
lainya, dalam hal ini bentuk-bentuk seperti ini dapat diklasifikasikan sebagai
salah satu cara mendapatkan harta dari orang lain dengan cara yang bathil, tidak wajar, dan juga membawa dampak
negatif dengan merugikan kemaslahatan sesama manusia, dan inilah merupakan
salah satu sisi dimana islam mengharamkan risywah.[2]
Dalil tentang risywah sabda Nabi SAW :
عن
عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال:قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي
والمرتشي.(رواه الخمسة الاالنسائ وصححه الترمذي)
Artinya :
“Dari Abu
Hurairah r.a berkata: rasululloh SAW bersabda: laknat Alloh SWT itu terhadap
orang yang menyuap dan orang yang di suap”. (lima imam keculai an-nasa’i; H.R Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi, ).[3]
Mengingat
luasnya cakupan sektor dari bentuk risywah, di bawah ini terdapat
beberapa bentuknya dalam sektor-sektor tertentu;
a)
Sektor Hukum
Bentuk
risywah ini sangatlah diharamkan dalam konsep syari’ah, haram bagi sipenyuap,
penerima suap, dan mediatornya, ketiganya akan mendapatkan laknat dari Allah, menerima
suap dalam aspek hukum adalah haram berdasarkan koneseus ulama’, suap merupakan
bentuk dosa yang besar, karna termasuk mengambil hak orang lain dengan sangat
sewenang-wenangnya secara tidak langsung, dan merupakan perbuatan yang dzolim.
Contoh suap dalam sektor hukum adalah seperti penyuapan yang dilakukan oleh
seorang yang mempunyai kasus dalam sebuah pengadilan, dan dia ingin memenangkan
kasus tersebut, maka ia akan menyuap hakim untuk memenangkanya dalam pengadilan,
dalam bentuk hadiah maupun dalam bentuk uang.
b). Sektor ketenagakerjaan
Kasus
suap pada sektor ini sering terjadi di masyarakat, dan anehnya mereka mengaggap
biasa hal-hal semacam ini, padahal mereka tidak pernah mneyadari bentuk suap
semacam ini yang dapat dikatakan sudah mendarah daging pada masyarakat akan
berdamak pada kemaslahatan masyarakat, karna dengan terbiasanya suap seperti
itu, jabatan dan keduduan seseorang akan diserahkan dengan mengatasnamakan
materi semata, bukan karna kepandaian atau keahlian seseorang, dan jika semua
itu terjadi maka akan berdampak pada sebuah kehancuran, karna tidak ditempatkan
pada tangan-tangan yang semestinya.
Islam
telah memberikan gambaran tentang bagaiamana proses rekrutmen pegawai yang
baik, rasulullah bersabda; “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja pada kita dalah orang yang kuat, lagi dapat dipercaya,”
(sunnah ibnu majah; 1/31). Dan contoh dari bentuk suap dalam sektor ini adalah
penyuapan seseorang untuk medapatkan jabatan dalam sebuah pekerjaan, atau
mungkin juga adalah menyuap untuk dapat masuk dalam perguruan tinggi.
c). Sektor ekonomi
Dalam
sektor ekonomi suap juga sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, semisal untuk mengurus sesuatu, mereka akan gunakan uang pelicin
untuk memperlancar apa yang akan didapatkanya, contoh dari bentuk sektor
ekonomi antara lainya adalah:
Pungutan-pungutan liar
pada pengurusan ijin bisnis, investasi, ekspor,impor, dll, Pungutan-pungutan
liar pada transportasi, dan Pemenangan tender. Dan masih banyak lagi
bentuk-bentuk suap semacam ini lainya. Salah satu percobaan ujian yang paling
jelek dari Allah adalah suap menyuap, jangan anda tanya sebanyak apa malapetaka
yang timbul tiada terkira dari perlakuan suap menyuap, karna kehormatan akan
jadi hilang dan hak asasi akan terkoyak-koyak[4].
2.
Al-ghulul
(penggelapan uang negara)
al-ghulul
dalam sistematika syari’at islam di sebut dengan Menggelapakan uang negara.
Sedangakan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan berbagai macam arti dari
penggelapan, dan salah satu artinya adalah; penyelewengan, korupsi, dll.
Dalam
sebuah hadist juga telah dijelaskan tentang balasan pada orang yang melakukan
perbuatan ghulul.
من
استعملناه على عمل فرزقناه رزقا , فما اخد بعد ذلك فهو غلول (رواه ابو داود)
“Barang siapa yang kami
anggap menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu (tugas) dan kami berikan upah
menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya,
maka itu namanya perbuatan khianat/korupsi”.
(H.R Abu dawud).
Pada
saat hari kiamat nanti orang-orag yang membawa harta lebih dari apa yang telah
ditentukan, maka kelak dihari kiamat akan dia bawa seluruh dari harta yang telah
dibawanya itu (di selewengkan). Dan dalam konteks ini juga termasuk adalah
sebuah hadits yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan apa yang
diinginkan, semisal seperti seorang yang menyuap terhadap hakim dalam
bentuk uang, ataupun
dalam bentuk hadiah, karna hal itu dianggap dapat memperlancar apa yang
diinginkan oleh sipenyuap.[5]
Dalam
sebuah hadits dijelaskan tentang larangan pejabat menerima hadiah;
عن ابى حميد الساعدى قال : استعمل رسول الله صلى الله صلى الله عليه وسلم ابن اللتبية على صدقات بني سليم , فلما جاء الى النبي صلى الله عليه وسلم وحاسبه قال : هذا الذى لكم وهذه هدية اهديت لى, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فهلا جلست في بيت ابيك وبيت امك حتي تاتيك هديتك ان كنت صادقا, ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم فخطاب الناس وحمد الله واثني عليه ثم قال : اما بعد فانني استعمل رجالا منكم على امور مما ولانني الله فياءتى احدكم فيقول هذا لكم وهذه هدية اهديت لي, فهلا جلس في بيت ابيه وبيت امه حتي تاءتيه هديته ان كان صادقا فوالله لايأخد احدكم منها شيئا بغير حقه الا جاء الله يحمله يوم القيامة فلاعرفن احدا منكم لقي الله يحمل بعيرا له رغاء او بقرة لها خوار , او شاة تيعر , ثم رفع يد يه حتى رئي بياض ابطيه , الاهل بلغت.
(رواه البخارى و مسلم بروايات مختلفة)
“Dari
abu humaid As, sa’di ia berkata; Rasulullah saw memberi tugas kepada seorang
laki-laki bernama ibnul lutbiyyah untuk memungut sedekag zakat dari Bani Salim.
Ketika ibnu lutbiyyah datang kepada Nabi saw dan beliau menghitungya, dia
berkata: ini untuk kalian, dan ini hadiah yang diberikan untuk saya. Maka Rasulullah saw bersabda:
”mengapa kamu tidak duduk saja dirumah ayahmu atau ibumu sehungga hadiah itu
sendiri datang kepadamu ika kamu betul? Kemudian Rasulullah saw berdiri dan
berkhutbahdihadapan orang banyak dan memuji kepada Allah serta menyanjungnya,
lalu bersabda: “adapun sesudah itu, maka sesungguhnya aku telah aku telah
menggunakan beberapa di antara kamu untuk suatu urusan diantara yang telah
ditugaskan kepadaku, lalu salah seorang diantara kamu datang kepadaku dan
berkata: “ ini yang untuk engkau dan ini hadiah yang diberikan kepada saya,
maka mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayahnya atau dirumah ibunya, sehingga hadiah itu datang sendiri
kepadanya, jika dia betul. Maka demi Allah tidak seorangpun diatara kamu yang
mengambil sedikitpun dari sedekah itu tanpa dia berhak memilikinya, kecuali
dihari kiamat dia datang kepada Allah dengan membawa sebagian hadiah yang dia
ambil. Sungguh saya mengetahui salah seorang diantara kamu berjumpa Allah
dengan membawa seekor unta yang bersuara atau lembu yang bersuara mengowak, ata
kambing bersuara mengembik kemudian beliau mengangkat kedua tanganya sehingga
tampak ketiaknya yang putih ketahuilah aku telah menyampaikan” (H.R. Bukhori
dan Muslim dengan berbagai riwayat yang berbeda-beda).
Rasulullah
saw telah membuat perumpamaan dari dirinya sendiri, untuk para pemimpin dan para
khalifah dalam mengontrol para petugasnya terhadap tugas yang telah diberikan
kepada mereka, mereka tidak boleh lengah dan tidak boleh membiarkan mereka
mengumpulkan kekayaan dan merampas harta yang menjadi milik rakyat, mereka
tidak boleh menjadikan kekuasaanya sebagai cara untuk mengumpulkan pundi-pundi
harta dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Sungguh tidak layak jika
seseorang dianugerahi amanat oleh negara dan menyelewengkanya, padahal semua
jabatan dan kepemimpinan itu adalah
ni’mat dari Allah yang merupakan amanat dan cobaan belaka, menggelapkan
atau merampas apa yang menjadi bentuk amanat bagi orang banyak yang dititipkan
kepada mereka adalah sebuah bentuk pencurian dengan cara yang halus, dan itu
sungguh lebih kejam dibandingkan dengan pencurian yang tidak kasat mata.
3.
Ghosob
(mengambil tanpa diketahui oleh orang yang
berhak/mempunyai hak).
االغصب شرعا الإستيلا ءعلي حق الغير عدوانا[6]
“Ghasab
secara syara’ adalah keinginan memiliki/menguasai terhadap hak orang lain
secara permusuhan.”
Arti dari permusuhan
didalam kata ini adalah sebuah bentuk kiasan terhadap apa yang dilakukan oleh
seseorang yang mengambil apa yang bukan haknya, dan juga dilakukan secara bathil,
dan hal itu secara tidak langsung menunjukkan bentuk penentangan seseorag yang
akan mengakibatkan permusuhan
4.
Khiyanat
(menyelewengkan amanat).
bentuk
penyelewengan amanat itu dapat berupa diantaranya; seorang guru (sipil) yang
tidak mengajar padahal sudah dibayar oleh negara, menggunakan uang yang
seharusnya untuk membangun jalan, dan masih banyak lagi bentuk dari
penyelewengan amanat.
Dalam
Al-qur’an dijelaskan suatu bentuk dari penyelewengan amanat.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
ÉA$t6Éfø9$#ur
ú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur
$pk÷]ÏB
$ygn=uHxqur
ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß
Zwqßgy_
ÇÐËÈ
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu Amat zalim dan Amat bodoh”. (Al-ahzab; 72).
5.
Sariqoh (pencurian)
Sariqah
adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh
dirham yang masih berlaku, di simpan di tempat penyimpanannya atau di jaga dan
dilakukuan oleh seorang secara sembunyi-sembunyi serta tidak ada unsur syubhat,
sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham maka tidak bisa
dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya di ancam hukuman potong tangan,
atau bahkan hukuman mati, tergantung jumlah besarnya dari korupsi[7]
B.
Dasar dan Sanksi Hukum Tindak Pidana Korupsi
1)
Dasar Hukum
Korupsi
merupakan suatu bentuk pidana yang sangat membahayakan bagi keberlangsungan sosial (salah satunya)
dalam suatu negara, dan biasanya tradisi
suatu bentuk korupsi itu telah terbiasa dari lingkungan maupun dari individunya
masing-masing orang, sehingga akan berdampak pada sikapnya. Dan korupsi juga akan merugikan (negara/pihak
tertentu), dan semua itu di negara kita telah diatur sanksi dan hukumnya, namun
Majlis Ulama’ Indonesia kita juga tidak hanya berdiam dalam menyaksikan
fenomena kejahatan bertahta kekuasaan ini, karna MUI juga turut menyumbangkan
suara mengenai korupsi.
Orde
reformasi semakin tak berdaya, mereka sangat gagal membuuh virus penyakit KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme), hal-hal ini masih leluasa bergentayangan
hampir diseluruh aspek kekuasaan. Keadan
ini diperparah lagi oleh bentuk-bentuk amoral, seperti pelanggaran hukum,
pembunuhan, dll, oleh MUI perbuatan ini dimasukkan dlam istilah “almunkarat”
dan hukumnya adalah haram, karna merupakan bentuk pengingkaran atau
penghianatan terhadap aturan-aturan (negara). Menurut MUI dalam menetapkan hasil
keputusan sidang komisi fatwanya, korupsi adalah tindakan pengambilan suatu
yang ada dibawah kekuasanya dengan cara yang tidak benar dalam menurut syari’at
islam. (Kep. Fatwa. No. 4/MUNAS VI/MUI/2000). Salah satu bentuk padanan yang
diambil oleh MUI dalam penyamaan korupsi adalah mencuri dan ghulul.
Dasar
dalil dari sebuah tindakan yang dapat digolongkan dalam bentuk korupsi
diantaranya adalah ;
1. suap-menyuap
(risywah)
didalam Al-Qur’an Allah
berfirman;
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur
!$ygÎ/
n<Î) ÏQ$¤6çtø:$#
(#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB
ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$#
ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamudengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Q.S.
Al-Baqarah: 188)
2. menyembunyikan/penggelapan
uang (ghulul)
Allah
swt berfirman;
$tBur
tb%x.
@cÓÉ<oYÏ9
br&
¨@äót 4 `tBur ö@è=øót
ÏNù't $yJÎ/ ¨@xî
tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# .....4 ÇÊÏÊÈ
“Tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu”....(Ali-imron;
161) .
3. mengambil
yang bukan haknya, tana diketahui yang mempunyai hak (ghosob).
Tidak
ada dalil yang pasti didalam Al-Qur’an yang secara spesifik membahas tentang ghosob,
dan dalam bentuk penyamaanya pada tindak korupsi adalah tentang bagaimana caranya
ynag mirip dengan perilaku ghosob, yaitu mengambil bukan haknya, mungkin dapat
di berikan dalil seperti pencurian/juga dapat dikatagorikan permusuhan, karna
di atas terdapat salah satu pendapat ulama’ yang mangatakan bahwa ghosob
itu mengambil sesuatu yang berujung permusuhan .
4. menyelewengakan
amanat (khiyanat)
¨bÎ)
©!$# öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ)
©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/
3 ¨bÎ)
©!$# tb%x. $JèÏÿx
#ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”. (An-nisa’;58)[8]
5. pencurian
(sariqoh)
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3
ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah ; 38).
2). Sanksi Hukum
Korupsi
adalah tindakan mengambil sesuatu yang bukan miliknya, ataupun juga bukan haknya, sedangkan harta itu berada
dalam tempatnya yang biasa, diambil secara sembunyi-sembunyi. Koruptor dan
pencuri sama-sama mengambil benda yang bukan hak mereka. Perbedaan dari
keduanya adalah terletak pada cara mengambilnya, tempat barang yang diambil,
akibat kepada pemilik barang, pengaruh perbuatan itu kepada kehidupan
masyarakat umum.
Sanksi
hukum Tindak Pidana Korupsi menurut Fiqh Jinayah dapat diterapkan dalam
beberapa hal, yaitu :
a). hukuman ta’zir
Melakukan
pencurian lebih sukar dari pada melakukan korupsi, karna melakukan korupsi
pelakunya tahu benar tempat harta yang mahu dimabilnya, apalagi harta itu
termasuk dibawah kekuasaanya. Akan tetapi, akibat pengaruhnya pada kehidupan
masyarakat lebih besar, karna yang diambil itu milik bersama (uang negara) yang
dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat.
Bila koruptor itu diqiyaskan dengan pencuri, maka dloror
yang di timbulkan adalah lebih besar dari bahaya pencurian, hukuman yang lebih
besar itu diserahkan kepada keputusan hakim/qodli dengan pertimbangan ijthad
jam’i oleh para ulama’ mujtahiddin yang disebut dengan ta’zir.[9]
v pengertian
ta’zir sendiri adalah;
Secara
etimologis ta’zir adalah bentuk masdar dari kata kerja “عزّرـ يعزّرـ تعزيرا”
yang berarti mencegah. Sedangkan pengertian ta’zir secara terminologi
tardapat beberapa pendapat, yaitu:
Menurut
Imam Al-Mawardi :
التعزير تأديب علي ذنوب لم تشرع
فيها الحدود[10]
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan
(adab) terhadap perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.”
Menurut Wahbah Zuhaili :
وهو شرعا : العقوبة المشروعة علي معصية أو جناية لا حد
فيها ولا كفا رة
“Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan
atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak
pula kifarat.”[11]
Dari
pendapat-pandapat di atas dapat disimpulkan bahwa ta’zir merupakan suatu
hukuman yang dilaksanakan tarhadap seseorang yang melakukan tindak pidana
(jinayah) yang hukuman tindak pidana tersebut belum ditetapkan oleh syara’.
Adapun jarimah ta’zir adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
(hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.[12]
Macam
dari bentuk ta’zir yang di berlakukan terdapat empat tokoh besar yang
berpendapat tetang pembagaian ta’zir.
Ø Abdul
Aziz Amir membagi dalam 11 bagian
1.
hukuman mati
2.
hukuman jilid
3.
hukuman penahanan
4.
hukuman pembuangan
5.
hukuman ganti rugi
6.
hukuman publikasi dan
pemanggilan paksa
7.
hukuman berupa nasehat
8.
hukuman berupa
pencelaan
9.
hukuman berupa
pengucilan
10. hukuman
berupa pemecatan
11. hukuman
berupa penyiaran
Ø Abdul
Muhsin Al-Tariqi dalam 6 bagian
1.
hukuman mati
2.
hukuman
pembuangan/pengasingan
3.
hukuman pencelaan
4.
hukuman pengucilan
5.
hukuman penyiaran
6.
hukuman nashat
Ø Wahab
Al Zuhaili dalam 5 bagian
1.
hukuman pencelaan
2.
hukuman penahanan
3.
hukuman pemukulan
4.
hukuman ganti rugi
materi
5.
hukuman mati karna
pertimbangan politik
Ø Abdul
Qadir Audah dalam 15 bagian
1.
hukuman mati
2.
hukuman jilid
3.
hukuman penahanan
4.
hukuman pengasingan
5.
hukuman salib
6.
hukuman berupa nasehat
7.
hukuman pengucilan
8.
hukuman berupa
pencelaan
9.
hukuman berupa ancaman
10. hukuman
penyiaran
11. hukuman
pemecatan
12. hukuman
pembatasan hak
13. hukuman
penyitaan aset kekayaan
14. hukuman
perampasan benda-benda tertentu milik pelaku
15. hukuman
ganti rugi dan denda.
Diantara
beberapa macam bentuk hukuman ta’zir ini terdapat tiga macam hukuman yang
disebutkan didalam undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi yaitu: 1) hukuman mati, 2) hukuman penjara, 3) hukuman ganti
rugi.
jika
dilihat rumusan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberatasan tindak pidana
korupsi di Indonesia sangat berani khususnya dengan adanya tuntutan hukuman mati
bagi pelaku korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya
sesuai dnegan undang-undang yang berlaku , pada waktu krisis moneter, atau pada
waktu terjadi bencana nasional. hukuman ta’zir bagi koruptor ini bisa saja
dalam bentuk pidana denda materi, pidana penjara seumur hidup, dan bahkan juga
bisa hukuman mati[13].
Kemudian
dalam Undang-undang juga telah
ditetapkan bentuk pemaparan dari korupsi beserta sanksinya, salah satu
bentuk pemaparanya terdapat dalam pasal
3 (bagian tindak pidana korupsi) telah dijelaskan “setiap orang yang dengan
tujuan meguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Dalam
pasal ini seolah-olah orang yang dapat dipidana karena perbuatan korupsi adalah
orang dalam pemerintahan negara, padahal banyak sekali kasus korupsi dalam
masyarakat. Istilah kata “kedudukan” menurut soedarto[14] adalah “tindak pidana korupsi tidak hanya
terbatas pada suatu jabatan dalam aparatur negara”.[15]
b). Sanksi Moral,
sanksi sosial dan sanksi akhirat bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Ketiga
sanksi ini memang tidak ditemukan dalam berbagai rumusan pasal UU no. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dikarenakan bahasa
hukum berbeda dengan bahasa moral(akhlaq).
Secara
pengertiannya, secara spesifik korupsi yang sering terjadi ini memang tidak
ditemukan dalam ajaran Islam masa Nabi SAW . Namun setidaknya dalam surat Ali
Imron ayat 161 terdapat petunjuk (dalil) yang merujuk pada hal tersebut, yang
mana asbabunnuzul dari ayat tersebut berkaitan dengan anggapan bahwa
sebagian orang mencurigai nabi SAW
berbuat korup terhadap harta rampasan perang. Dalam ayat tersebut
ditegaskan juga bahwa siapapun yang berbuat korup maka di hari kiamat nanti
akan membawa hasil korupsi tersebut dan harus mempertanggungjawabkannya.
Selain
itu, sanksi moral dapat dilakukan sebagaimana perintah nabi SAW kepada para
sahabat untuk menyalati jenazah sedang beliau tidak berkenan melaksanakannya.
Kemudian rosululloh SAW menjelaskan bahwa jenazah itu sebelum mati sempat
mengambil perhiasan semacam intan atau manik-manik.
c). Konsep taubat dan pengembalian harta hasil
korupsi.
Taubat
yang dilakukan seseorang tidaklah mudah untuk dilihat secara kasat mata, namun
mungkin perubahan dalam hal ini dapat dilihat dari kebiasaan keseharianya, jadi
sangat sulit untuk memberikan batas dari definisi sbuah kata taubat. Dan untuk
penyitaan harta itu merupakan hak dari negara (instansi) yangh dirugikan, namun
tetap dalam aturan/prosedur yang telah di berikan oleh negara.
Dari segi hikmah dan
maksud di syari’atkan hukum, para ulama’ merumuskan berdasarka istiqrar
(penelitian dan pembahasan mendalam) bahwa hukuman suatu pelanggaran
itu bertujuan agar suatu pelanggaran tidak terjadi, hukuman syari’at islam
sebenarnya tidak begitu sadis, namun bermaksud menghalangi bentuk-bentuk
pelanggaran dan juga hal yang membahayakan terutama untuk kemaslahatan masyarakat
umum.
jika kita lihat dari
sekian macam jenis tindakan korupsi yang ada di Indonesia semuanya sudah
menyeluruh dan sering kali kasus semacam itu telah menjadi rahasia umum,
semisal saja kita akan melamar ke sebuah perusahaan atau instansi lembaga
tertentu, sebelum diterima biasanya kita akan di mintai sejumlah uang, dan hal
itu sudah menjadi hal yang biasa, kemudian untuk sanksi atas tindakan korupsi
yang di berlakukan di indonesia, banyak dari masyaratkat kita yang sering
mengatakan, hukum di negara kita telah mati dan juga buta, tak mampu melihat
sisi kejelekan atas suatu tindakan, dan hukum negara kita itu dapat
dikatakan “seakan-akan tajam kebawah
(masyarakat kecil) dan tumpul jika keatas ( pada kalanga kelas atas) “ ,
dan negara kita pun belum begitu berani untuk mengambil kesimpulan atas tidakan
korupsi dengan sanksi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, karna
kembali lagi biasanya seseorang itu takut jika sebuah istilah “ senjata
makan tuan ”dan hal ini biasnaya di takutkan oleh kalangan yang mempunyai
suatu kekuasaan, mereka takut mereka sendiri yang akan masuk dal;am sanksi
tersebut.
jika kita ingin
membenahi hukum negara kita, maka benahilah dulu tindakan atas perilaku
masyarakat negara kita, jika tindakan masyarakat kita tidak melenceng dari
aturan, maka kita akan jadi negara yang paling tentram dari suatu permasalahan,
dan untuk memulai semua itu, kita mulai dari diri kita sendiri, dari
aspek-aspek moral diri kita.
IV.
Kesimpulan
Korupsi
adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, mitra kerja,
dll) untuk keuntungan pribadi atau suatu golongan.
Bentuk-bentuk
korupsi antara lainya adalah Suap menyuap disebut dengan ar-risywah, dan
penggelapan uang negara dapat dikatagorikan dengan al-ghulul
(penggelapan uang negara) jika dalam islam. Terdapat banyak sekali ayat
Al-qur’an maupun hadits yang menunjukkan sanksi dan gambaran tentang
bentuk-bentuk tertentu yang dapat dikatagorikan korupsi, meskipun tidak secara
spesifik dalam islam ditegaskan tentang sanksi korupsi, namun telah jelas dalam
hukum islam haramnya adalah haram.
sanksi
atas tindak pidana korupsi dari beberapa macam bentuk hukuman ta’zir terdapat tiga macam hukuman yang disebutkan
didalam undang-undang no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi yaitu: 1) hukuman mati, 2) hukuman penjara, 3) hukuman ganti rugi,
namun juga masih ada sedikit ketidak selarasan pendapat tentang bagaimana
sanksi atas tindakan korupsi itu diberlakukan, khususnya dari oknum-oknum
tertentu.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdu
rafi’, Abdu fida’. 2006. Terapi Penyakit Korupsi. jakarta; Republika.
Cet 1.
As-Syahir ,
Al- Husein, Ahmad bin. tt. Fathul
Qarib ‘ala Al-kitab Al-musamma bi At-taqrib.
Semarang.
Al-barokah.
Ali
bin Sanan , Muhammad
bin ‘. 1982.
Al-Janib At- Ta’zir fi jarimah Az-Zina, Cet. 1.
Ali,
Zainuddin M.A. 2009.
Hukum Pidana Islam.
Jakarta, Sinar Grafika.
Cet
2.
Mas’udi,
masadar F. Indra J, Pilliang, dkk. 2003. Amanah Vs Kekuasaan. Nusa
Tenggara Barat; Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB. Cet 1.
Muslich , Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam.
Jakarta; Sinar Grafika, cet1.
Nurul Irfan
, Muhammad. 2009. Tindak Pindana Korupsi di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqh Jinayah. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.

Sulaiman,
Noor. 2010. Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual Dan Kontekstual. Jakarta; Gaung Persada Press.


[1]Kamus Besar Bahsa
Indonesia Offline.
[2]Abdu fida’ abdu rafi’, Terapi
Penyakit Korupsi, (jakarta;republika,2006), cet 1, hlm 3-7.
[3] Prof. Dr. H.M. Noor
Sulaiman, Hadits-Hadits Pilihan Kajian Tekstual dan Kontekstual,
Jakarta, Gaung Persada Press, cet. I, 2010, hal. 130. Lihat juga Al- Syaukani, Nail Al Authar, Beirut, Dar Al Fikr, jilid 9, hal. 172.
[4] Noor Sulaiman, Hadits-Hadits
Pilihan Kajian Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta; Gaung Persada Press,
2010), Hlm 130-131.
[5] Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi
Penyakit Korupsi, (Jakarta; Republika, 2006), Cet 1, Hlm 3-17.
[6] Ahmad bin
Al- Husein As-Syahir, Fathul Qarib ‘ala
Al-kitab Al-musamma bi At-taqrib, Semarang, Al-barokah, hal. 36
[7] Dr. Muhammad Nurul
Irfan, Tindak Pindana Korupsi di
Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2009, hal. 139.
[8] Noor Sulaiman, Hadits-Hadits
Pilihan Kajian Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta; Gaung Persada Press,
2010), Hlm 130.
[9] Masadar, F Mas’udi,.
Indra J,dkk. Pilliang. Amanah Vs Kekuasaan. Nusa Tenggara Barat;
Solidaritas Masyarakat Transparansi NTB. . 2003. Cet 1. Hlm 253-258.
[11] Drs. H.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, cet. 1, 2005, hal 249.
[13] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pindana Korupsi di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqh Jinayah, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2009, hal.156-158.
[14]Soedarto Adalah Seorang
Penulis Buku dengan Judul Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,
1977).
[15]Wiyono, Pembahasan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta; Sinar Grafika, 2005), Cet 1,
Hlm 37.
Komentar
Posting Komentar