NIKAH MUT’AH dalam PANDANGAN HUKUM ISLAM



NIKAH MUT’AH dalam PANDANGAN HUKUM ISLAM
(REVISI)

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu : Anthin Latifah, M.ag.


  
Disusun oleh:

Beni Suryanto               (122111023)
Nihayatul Ifadhloh       (122111103)
         Zakiyah Salsabila (122111132)
Zuhrul Anam               (122111136)


AHWAL AL-SAKHSIYYAH  FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2012


NIKAH MUT’AH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

I.                   Pendahuluan
Nikah adalah salah satu azas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan. Faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan dari kebinasaan. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena jika tidak ada manusia akan menurun sifat kebinatangan, dan karna sifat itu akan muncul perselisihan, bencana, dan permusuhan antar sesamanya.[1]
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS adz-Dzariyat ayat 49-. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas dan posisi masing-masing. Oleh karenanya, salah-satu maqashid syari’ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2] Namun dalam kenyataanya terdapat praktek pernikahan diluar garis syarat ketetapan islam, salah satunya adalah nikah mut’ah (nikah kontrak), yang menjadi topik pembahasan kami kali ini.
II.                Rumusan Masalah
1.       Apa Pengertian Nikah Mut’ah ?
2.       Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah ?
3.       Apa Akibat Hukum Nikah Mut’ah dalam Perspektif  Kesetaraan gender ?
III.             Pembahasan
A.       Pengertian Nikah Mut’ah
Asal kata mut’ah ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati,demikian pula kata kerja tamatta’a dan istamta’a, berasal dari akar kata yang sama, yang berarti ‘’menikmati atau bernikmat-nikmat degan sesuatu’’, haji tamattu’ disebut demikian karna memberikan kemudahan bagi yang mengerjakanya.[3]
Dalam versi lain kata mut’ah adalah term bahasa Arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang secara etimologi mengandung beberapa arti, diantaranya;
 kesenangan, seperti firman Allah
QS. 3:14 ( متاع الحياة الدنيا)
Alat perlengkapan, seperti firman Allah
QS. 5:96 (متاع لكم  وللسيارة)
Pemberian, seperti firman Allah
QS. 2:236  ( وعلى المقتر قدرة متاع باالمعروف)
Sedangkan nikah mut'ah menurut istilah hukum biasa diartikan perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan mas kawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Nikah mut’ah untuk saat ini masih dijalankan oleh penganut mazhab Syi’ah Imamiyah yang tersebar di seluruh Iran dan sebagian Irak. [4]
Niakh mut’ah itu juga mempunyai rukun dan syarat yang tidak jauh berbeda dengan nikah biasa, namun syarat dan rukun ini merupakan pendapat dari segolongan syi’ah yang menghukumi atas kebolehan dari nikah mut’ah. Ada beberapa hal yang membedakan diantara keduanya.
Seperti halnya yang membedakan Nikah mut’ah dengan nikah biasa diantaranya adalah :
1.      Dalam nikah biasa tidak sah menggunakan kata mut’ah
2.      Dalam nikah  biasa tidak sah adanya syarat pembatasan waktu, tapi kalau dalam nikah mut’ah malah di syaratkan adanya pembatasan waktu, karena jika tidak menyebutkan pembatasan waktu sama saja nikahnya adalah nikah biasa.
3.      Dalam nikah biasa otomatis suami-istri saling mewarisi, tapi dalam nikah mut’ah suami istri tidak bisa saling mewarisi.
4.      Dalam nikah  biasa lafadz talak memutuskan akad, namun dalam nikah mut’ah tidak ada talak sebelum masa berakhir,
5.      Dalam nikah  biasa ‘iddah wanita tiga kali sucian, tapi kalau dalam nikah mut’ah dua kali sucian.
6.      Dalam nikah biasa suami memberikan nafkah kepada  istri jika dalam masa ‘iddah, tapi dalam nikah mut’ah tidak ada nafkah ‘iddah.[5]
B.       Hukum Nikah Mut’ah
Sebelum datang agama islam, di tanah Arab lazim dilakukan perkawinan sementara waktu, perkawinan semacam itu pada saat ini terkenal dengan nikah kontrak, sebagaimana terdapat dalam hadist nabi dari salamah bin akhwa’ menurut riwayat muslim yang mengatakan:
رخص رسول الله ص.م عام او طاس في المتعمة ثلاثة أيام  نهي عنها
‘’Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang khaibar, umrah qadha, tahun memasuki makkah, perang tabuk, dan waktu haji wada’)untuk melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian nabi melarangnya’’.
Berdasarkan hadist diatas ulama’ sepakat bahwa memang telah diperbolehkan oleh nabi dan telah terjadi secara kenyataan perkawinan mut’ah pada waktu lampau, namun dalam kebolehannya waktu ini terdapat perbedaan pendapat antar ulama’ Ahlu sunnah dengan syi’ah Imamiyah. Jika ahlu sunnah telah melarang pelaksanaan nikah mut’ah, meskipun sebelumnya di perbolehkan, maka golongan syi’ah dengan pendapatnya memperbolehkan. Alasan mereka karna nikah mut’ah dahulunya sudah merupakan ijma’ para ulama’.[6]
Ide tentang mut'ah ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh hal-hal yang insidentil (keadaan pada waktu tertentu saja), yang terjadi pada suatu ketika saja, seperti perjalanan jauh. Di wilayah Arab, jarak antara satu dan lain tempat berjauhan, terhalang sahara yang panas dan garang, dan bila ditempuh melaluli perjalanan darat dengan berjalan kaki atau naik unta, membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, belum lagi kalau terjadi halangan.
Berdasarkan pertimbangan keadaan, pada awalnya Rasulullah SAW. memberikan kelonggaran dengan memberikan dispensasi melakukan mut'ah kepada pemuda Islam yang pergi ke medan perang untuk membela agama, di tempat itu mereka jauh dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan dan kendala transportasi menyebabkan perjalanan memakan waktu lama. Oleh karena itu, mereka diberi dispensasi untuk melakukan nikah sesaat. Setelah selesai tugas negara, mereka tidak lagi diperbolehkan melakukan nikah mut’ah.[7]
Masalah nikah kontarak ini (mut’ah) menimbulkan berbagai spesifikai-spesifikasi yang berbeda tentang kapan waktu pengharamannya, masalah ini kemudian terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut’ah, sesuai dengan urutan waktunya.[8]
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai pada umrah qadha[9], perang Tabuk[10] dan Haji Wada’[11] tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada masa perang Khaibar :
إِنَّالنَِّيصلىاللهعليهوسلمنَهَىعَنِالْمُتْعَةِوَعِنْلُحُوْمِالْأَهْليِةِزَمَنَخَيْبَرَ عَنْمُحّمَّدبنِعَليأََ نَّعَليِاًّرضىاللهعنهقاَلَلِابْنِعَبَّاسٍرضىاللهعنه
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.
Riwayat pengharaman nikah mut’ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah.Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku.(Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek.Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap.Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga.Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[12] Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh setelah kejadian Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.Dengan demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar?,Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna”.
Sedangkan riwayat pengharaman mut’ah pada perang Authas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Authas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali.Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dinasahkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dinasahkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.”
Al Qurthubi berkata, “Telah berkata Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[13]
Sesungguhnya, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang hukum nikah kontrak. Lalu bagaimanakah hukum kawin kontrak dalam pandangan Islam? Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997.
Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram.  Fatwa  nikah kontrak yang ditandatangani  Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ibrahim Hosen itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut’ah. ''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,''  begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.''
Berdasarkan ayat itu, MUI menyatakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah.
Sedangkan, papar MUI, wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tak berfungsi sebagai sitri, karena ia bukan jariah. MUI berpendapat akad mut'ah bukan akan nikah, alasannya: Pertama, tak saling mewarisi. Sedangkan nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Kedua, iddah mut'ah tak seperti iddah nikah biasa. Nikah mut'ah  dinilai MUI pertentangan dengan persyarikatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.MUI pun menganggap nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan bahwa nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama  Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fuqaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah).
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait kawin kontrak atau nikah mut'ah. Para ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa nikah mut'ah hukumnya haram.  Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ath-Thabraniy dari al-Harits bin Ghaziyyah: ''Dari al-Harits bin Ghaziyyah, ia berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), ''Nikah mut'ah dengan wanita  itu haram.’’ Majelis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya menegaskan, keharaman nikah mut'ah tak hanya sebatas kepada pihak laki-laki dan wanita yang mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah mut'ah. Tetapi juga berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya maupun tidak mengetahuinya. ''Orang-orang yang melakukan nikah mut'ah sekarang ini, menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang diharamkan,''  tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP  Muhammadiyah. 
Sedangkan untuk nikah siri,  MUI telah mengeluarkan fatwa dalam forum  Ijtima' Ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. Dalam fatwanya, MUI menetapkan, nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. [14]
Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat.’’[15]
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
v    Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
v    Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir." Sementara itu Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
v    Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Umm mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
v    Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.[16]
Kemudian tedapat beberapa hadist yang mendukung di haramkanya nikah mut’ah, seperti yang Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a, ia berkata: ketika Umar r.a menjadi khalifah, beliau berpidato di depan khalayak, “Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan kawin mut’ah (kontrak), sedangkan ia telah beristri (muhshan), pasti akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali kalau ia bisa mendatangkan empat orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menghalalkannya lagi setelah beliau mengharamkannya.”
Diriwayatkan oleh Imam Malik, Al-baihaqi dan Abdurrazaq bahwa, : Engkaulah binti hakim yang pernah masuk kerumah Umar, kemudian ia berkata,“Sesungguhnya Rabi’ah bin Umayyah kawin mut’ah dengan seseorang perempuam sampai ia mengandung.” Umar lalu keluar dengan menarik selendangnya dan berkata, “Sesungguhnya mut’ah ini, kalau seandainya ini terjadi sesudah aku umumkan keharamannya dihadapan umat, pasti aku akan merajam orang yang melakukannya.”[17]
Nikah mut’ah tidak sah dan tidak boleh dilakukan. Praktek nikah mut’ah adalah sebagai berikut : seorang pria berkata, “Aku mengawinkan putriku denganmu untuk satu hari atau satu bulan.” Artinya nikah mut’ah adalah menikahi wanita dengan batas waktu tertentu. Pernikahan merupakan akad yang memperbolehkan (jima’) secara mutlaq, tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu. Disamping itu, nikah mut’ah juga tidak sama sekali berkaitan dengan ihwal talak, zhihar, waris dan iddah meninggal dunia.nikah mut’ah hukumnya bathil, seperti akad nikah bathil lainnya.
Ibnu Abbas menuturkan, “Nikah mut’ah mulanya dipraktekkan pada masa awal Islam. Saat itu ada seseorang yang datang ke suatu negeri dan belum mengenal daerah tersebut. Lalu ia menikahi seorang wanita menurut perkiraan lamanya ia bermukim disana. Si wanita melindungi harta si pria dan mempergaulinya dengan baik’’, hingga akhirnya ayat ini turun.
žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ
Kecuali kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (QS. Al-mu’minin : 6)
Subra al-Juhai meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bersama Rasulullah saw beliau bersabda, “Wahai segenap manusia, sungguh aku telah mengizinkan kalian untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah). Sungguh Allah telah mengharamkan hal itu hingga hari kiamat. Barang siapa masih menjalin hubungan dengan mereka lepaskanlah jalannya. Dan janganlah kalian mangambil sesuatu yang telah kalian berikan padanya.’’ (HR. Ahmad)
Maksudnya adalah izin diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah pada hari Fathu Makkah telah dihapus oleh larangan yang berlaku selamanya. Al-Baihaqi menukil dari Jafar bin Muhammad, bahwa ia pernah ditanya tentang mut’ah. Dia menjawab, “itu sebenarnya zina.[18]
Jadi jelas bahwa nikah mut’ah hukumnya diharamkan, meskipun dahulu pernah di pebolehkan, kecuali bagi penganut mazhab syi’ah, yang tetap memperbolehkan dilaksanakanya nikah mut’ah.

C.         Akibat Hukum Nikah Mut’ah dalam Perspektif Kesetaraan Gender
Nikah mut’ah mungkin merupakan hal yang tidak asing bagi realita kehidupan saat ini maupun masa lampau, dalam prakteknya nikah mut’ah memang telah diharamkan, karena disisi lain telah memberikan efek ketidakadilan bagi pihak perempuan (umumnya) karna bisa juga terdapat nikah dari pihak wanita terhadap seorang laki-laki. Nikah semacam ini sering kali dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap orang  yang di nikah mut’ah dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Di Indonesia sendiri perkawinan yang sah yaitu secara administratif telah dicatatkan, dan pencatatan perkawinan pun dilangsungkan dihadapan PPN (pegawai pencatat nikah) baru dikatakan perkawinan yang sah kalau di negara kita. Maka dari itu, guna kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.
Kaitannya dengan nikah mut’ah dalam prespektif gender dapat memberikan dampak dari hukum nikah tersebut. Jika pernikahan semacam ini terus-menerus dibiarkan, maka yang menjadi korban dari dampak nikah tersebut adalah pihak yang di nikah mut’ah, diantaranya adalah, tidak akan ada sebab hukum, karna tidak ada kekuatan hukum dari nikah yang dilakukan dibawah tangan, tidak akan ada hal saling waris-mewarisi, kemudian jika sampai mempunyai anak dari pernikahan tersebut, maka anak dari nikah tersebut hanya bernasab pada sang ibu, lebih parahnya lagi anak tersebut akan merasa malu (secara psikologis), dan akan sulit untuk mengurus surat-surat kependudukan, karena ketidakjelasan data tentang dirinya.
Dalam nikah mut’ah ini jika terjadi sesuatu hal yang merugikan dari pihak yang merasa dirugikan maka sulit untuk meminta pertanggungjawaban dan juga sulit  untuk menimbulkan akibat hukumnya, karena tidak ada bukti dari pencatat pernikahan, sehingga sulit untuk menuntut pihak terkait. Jadi, jika kita mengetahui dari akibat hukum nikah mut’ah ini, seharusnya kita bisa mengubah atau sedikit memberikan faham-faham pada orang  yang akan mengambil keputuan untuk melakukan nikah semacam ini. Karana akan memberikan dampak tersendiri bagi pelaku dari nikah mut’ah. Selain itu, dalam hal kesehatan akibat dari nikah ini adalah penyakit gonorhe (kencing nanah), yaitu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva). Gonorhe bisa menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonorhe bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.[19]
IV.             Kesimpulan
Nikah mut'ah menurut istilah hukum biasa diartikan perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan mas kawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.Hukum dari pernikahan ini memang dahulunya di perbolehkan oleh nabi kepada para sahabat di medan pertempuran saat perang, karna mereka harus berjuang dan dalam waktu yang sangat lama, sehingga mereka tidak dapat pulang kerumah untuk menjumpai istri mereka,itu saja nabi hanya memberikan wkatu tiga hari untuk memut’ah para wanita yang akan di mut’ah. Namun kemudian nabi mengumumkan pengharaman dati nikah mut’ah, tidak ada yang tahu pasti, kapan pengharaman dari nikah mut’ah itu sendiri, karna banyak perbedaan pendapat diantar hal ini, namun yang jelas mut’ah telah diharamkan oleh nabi hingga hari kiamat. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya nikah mut’ah dengan prespektif gender diantaranya adalah tidak adda kepastian hukum yang kuat, anak hasil nikah mut’ah bisa saja tidak dapat pengakuan dari pihak ayah, karna tidak adanya bukti sebagai penguat dari pernikahan itu sendiri, kemudian dalam hal nafkah dan warisan juga tidak akan ada, jadi nikah mut’ah banyak memberikan efek negatif bagi pihak yang di mut’ah dari pada efek positifnya, jadi tidak akan ada pertanggungjawaban dari nikah mut’ah ini.
V.                Penutup
 Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi kami, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kami, dan selalu membimbing kami ke arah jalan yang benar, Amin..
DAFTAR PUSTAKA

§  Anggota Ikapi kerja sama dengan LSIK, 1994, Problematika Islam Kontemporer I, Jakarta; Pustaka Firdaus, cet 1
§  Anggota Ikapi kerja sama dengan LSIK, 1994, Problematika Islam Kontemporer I, Jakarta; Pustaka Firdaus, cet 1.di kutip dari Al-musawi, A, syarafudin, Al-fusul al- muhimmah fi ta’lifi al-ummah, trj, Mukhlis B,A 1989.Isu-Isu Penting Ikhtilaf, Bandung; Mizan.
§  Aziz, Abdul. 2003, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab.. Surabaya. Risalah Gusri.
§  http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Maktabah Ubaikan , tt, cet ke-2, di akses pada tanggal 10 Desember 2012
§  http://alphacyber.wordpress.com/2008/07/03/penyakit-kelamin-mematikan/
§  Prof. DR. Amir Syarifuddin. 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta; kencana, Cetakan ke-3.
§  Sulaiman Rasjid, 1994, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, Cet 27.
§  Wahbah, Zuhaili. 2010, Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta. Almahira, Juz 2.
§  wirajiwa.bumicyber.com/index.php?option=com_content&view=article&id=421:apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=24:feqah&Itemid=45. Diaksese pada tanggal 20 Desember 2012



           [1]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, 1994, Cet 27 ,hlm 374-375.
            [2] http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/dikutip dari Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Maktabah Ubaikan , tt, cet ke-2, hlm 104. Di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
              [3] Anggota Ikapi kerja sama dengan LSIK, problematika islam kontemporer I, jakarta; pustaka firdaus, 1994, cet 1, hlm, 77.di kutip dari Al-musawi, A, syarafudin, Al-fusul al- muhimmah fi ta’lifi al-ummah, trj, Mukhlis B,A .isu-isu penting ikhtilaf, bandung’ mizan. 1989, hlm 87.
             [4] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta; kencana, Cetakan ke-3.2006. Hal 100.
             [5] Anggota Ikapi kerja sama dengan LSIK, problematika islam kontemporer I, jakarta; pustaka firdaus, 1994, cet 1, hlm, 80-81
             [6] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta; kencana, Cetakan ke-3.2006. Hal 100-102.
              [7] Skripsi Hikmatul Ulya (NIM 2104115) Tahun 2010, Di Kutip Dari; Rahmat Hakim, Hukum Nikah Islam,Bandung; Pustaka Setia,2000. Hlm 32
             [8]http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
         [9] Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal. http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
         [10] Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami’ Ahkam Nisaa’ (3/193). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
        [11] Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.

          [12] HR Muslim, 9/158, (1406). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
         [13] http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/ di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
          [14] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/01/22/ly5scp-kawin-kontrak-apa-hukumnya, di akses pada tanggal 20 desember 2012
           [15] wirajiwa.bumicyber.com/index.php?option=com_content&view=article&id=421:apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=24:feqah&Itemid=45 , diakses pada tanggal 20 Desember 2012
               [16] wirajiwa.bumicyber.com/index.php?option=com_content&view=article&id=421:apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=24:feqah&Itemid=45 , diakses pada tanggal 20 Desember 2012
           [17]Aziz, Abdul. Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab. Surabaya. Risalah Gusri.2003. hlm 173
            [18]  Wahbah, Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta. Almahira. 2010. Juz 2 hlm 409-510

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE