NIKAH MUT’AH dalam PANDANGAN HUKUM ISLAM
NIKAH MUT’AH dalam PANDANGAN
HUKUM ISLAM
(REVISI)
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Anthin
Latifah, M.ag.
Disusun oleh:
Beni Suryanto (122111023)
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
Zakiyah Salsabila (122111132)
Zuhrul Anam (122111136)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2012
NIKAH MUT’AH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
I.
Pendahuluan
Nikah adalah salah satu
azas
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna.
Pernikahan merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan. Faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk
menjaga dan memelihara perempuan dari kebinasaan. Nikah
juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena jika tidak ada manusia akan
menurun sifat kebinatangan, dan karna sifat itu akan muncul perselisihan,
bencana, dan permusuhan antar sesamanya.[1]
Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini,
tidak ada yang keluar dari garisnya manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS
adz-Dzariyat ayat 49-. Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam
dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan tugas
dan posisi masing-masing. Oleh karenanya, salah-satu maqashid syari’ah
(pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam menganjurkan umat Islam
untuk menikah dan diharamkan membujang. Islam melarang mendekati zina dan
menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia
seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya,
atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan.
Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan
oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2] Namun dalam
kenyataanya terdapat praktek pernikahan diluar garis syarat ketetapan islam,
salah satunya adalah nikah mut’ah (nikah kontrak), yang menjadi topik
pembahasan kami kali ini.
II.
Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Nikah Mut’ah ?
2. Bagaimana
Hukum Nikah Mut’ah ?
3. Apa
Akibat Hukum Nikah Mut’ah dalam Perspektif
Kesetaraan gender ?
III.
Pembahasan
A. Pengertian
Nikah Mut’ah
Asal kata mut’ah ialah sesuatu yang dinikmati
atau diberikan untuk dinikmati,demikian pula kata kerja tamatta’a dan istamta’a,
berasal dari akar kata yang sama, yang berarti ‘’menikmati atau bernikmat-nikmat
degan sesuatu’’, haji tamattu’ disebut demikian karna memberikan
kemudahan bagi yang mengerjakanya.[3]
Dalam versi lain kata mut’ah adalah term bahasa
Arab yang berasal dari kata ma-ta-‘a yang secara etimologi mengandung beberapa
arti, diantaranya;
kesenangan, seperti firman Allah
QS. 3:14 ( متاع الحياة
الدنيا)
Alat
perlengkapan, seperti firman Allah
QS. 5:96 (متاع
لكم وللسيارة)
Pemberian,
seperti firman Allah
QS. 2:236 ( وعلى المقتر قدرة متاع باالمعروف)
Sedangkan
nikah mut'ah menurut istilah hukum biasa diartikan perkawinan antara seorang
lelaki dan wanita dengan mas kawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang
berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban
memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan
pewarisan antara keduanya. Nikah
mut’ah untuk saat ini masih dijalankan oleh penganut mazhab Syi’ah Imamiyah
yang tersebar di seluruh Iran dan sebagian Irak. [4]
Niakh mut’ah
itu juga mempunyai rukun dan syarat yang tidak jauh berbeda dengan nikah biasa,
namun syarat dan rukun ini merupakan pendapat dari segolongan syi’ah yang
menghukumi atas kebolehan dari nikah mut’ah. Ada beberapa hal yang membedakan
diantara keduanya.
Seperti halnya
yang membedakan Nikah mut’ah dengan nikah biasa diantaranya adalah :
1. Dalam nikah
biasa tidak sah menggunakan kata mut’ah
2. Dalam
nikah biasa tidak sah adanya syarat
pembatasan waktu, tapi kalau dalam nikah mut’ah malah di syaratkan adanya
pembatasan waktu, karena jika tidak menyebutkan pembatasan waktu sama saja
nikahnya adalah nikah biasa.
3. Dalam nikah biasa
otomatis suami-istri saling
mewarisi, tapi dalam nikah mut’ah suami istri tidak bisa saling mewarisi.
4. Dalam
nikah biasa lafadz talak memutuskan
akad, namun dalam nikah mut’ah tidak ada talak
sebelum masa berakhir,
5. Dalam
nikah biasa ‘iddah wanita tiga kali
sucian, tapi kalau dalam nikah mut’ah dua kali sucian.
6. Dalam nikah
biasa suami memberikan nafkah kepada
istri jika dalam masa ‘iddah, tapi dalam nikah mut’ah tidak ada
nafkah ‘iddah.[5]
B. Hukum
Nikah Mut’ah
Sebelum
datang agama islam, di tanah Arab lazim dilakukan perkawinan sementara waktu,
perkawinan semacam itu pada saat ini terkenal dengan nikah kontrak, sebagaimana
terdapat dalam hadist nabi dari salamah bin akhwa’ menurut riwayat muslim yang
mengatakan:
رخص
رسول الله ص.م عام او طاس في المتعمة ثلاثة أيام نهي عنها
‘’Rasul
Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang khaibar,
umrah qadha, tahun memasuki makkah, perang tabuk, dan waktu haji wada’)untuk
melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian nabi melarangnya’’.
Berdasarkan
hadist diatas ulama’ sepakat bahwa memang telah diperbolehkan oleh nabi dan
telah terjadi secara kenyataan perkawinan mut’ah pada waktu lampau, namun dalam
kebolehannya waktu ini terdapat perbedaan pendapat antar ulama’ Ahlu sunnah
dengan syi’ah Imamiyah. Jika ahlu sunnah telah melarang pelaksanaan nikah
mut’ah, meskipun sebelumnya di perbolehkan, maka golongan syi’ah dengan
pendapatnya memperbolehkan. Alasan mereka karna nikah mut’ah dahulunya sudah
merupakan ijma’ para ulama’.[6]
Ide tentang mut'ah ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh
hal-hal yang insidentil (keadaan pada waktu tertentu saja), yang terjadi pada
suatu ketika saja, seperti perjalanan jauh. Di wilayah Arab, jarak antara satu
dan lain tempat berjauhan, terhalang sahara yang panas dan garang, dan bila
ditempuh melaluli perjalanan darat dengan berjalan kaki atau naik unta, membutuhkan
waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, belum lagi kalau terjadi
halangan.
Berdasarkan pertimbangan keadaan, pada awalnya Rasulullah SAW.
memberikan kelonggaran dengan memberikan dispensasi melakukan mut'ah kepada
pemuda Islam yang pergi ke medan perang untuk membela agama, di tempat itu
mereka jauh dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan dan kendala
transportasi menyebabkan perjalanan memakan waktu lama. Oleh karena itu, mereka
diberi dispensasi untuk melakukan nikah sesaat. Setelah selesai tugas negara,
mereka tidak lagi diperbolehkan melakukan nikah mut’ah.[7]
Masalah nikah kontarak ini (mut’ah)
menimbulkan berbagai spesifikai-spesifikasi yang berbeda tentang kapan waktu
pengharamannya, masalah ini kemudian terkesan simpang-siur, disebabkan tempat
dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara
ringkas waktu pengharaman mut’ah, sesuai dengan urutan waktunya.[8]
1. Ada riwayat yang mengatakan,
bahwa larangan mut’ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan
pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada
riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada
perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5.
Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada
Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan,
bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu
‘anhu.
Berikut
ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
Riwayat yang menyatakan, bahwa
larangan mut’ah dimulai pada umrah qadha[9],
perang Tabuk[10] dan
Haji Wada’[11] tidak
lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang
shahih, yang menerangkan pengharaman mut’ah. Yaitu saat perang Khaibar,
Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut
:
Riwayat pengharaman nikah mut’ah
pada masa perang Khaibar :
إِنَّالنَِّيصلىاللهعليهوسلمنَهَىعَنِالْمُتْعَةِوَعِنْلُحُوْمِالْأَهْليِةِزَمَنَخَيْبَرَ
عَنْمُحّمَّدبنِعَليأََ نَّعَليِاًّرضىاللهعنهقاَلَلِابْنِعَبَّاسٍرضىاللهعنه
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal
dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib)
berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.
Riwayat pengharaman nikah mut’ah
pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu
‘anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut’ah.Akupun
keluar bersama seseorang dari kabilahku.(Kebetulan) aku mempunyai sedikit
ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek.Setiap kami
membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan
mengkilap.Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu
dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah
engkau mau bermut’ah dengan salah seorang dari kami?” Dia berkata,”Dengan
apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu
melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya
sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap”. Dia berucap,”Salnya tidak
apa-apa,” dua kali atau tiga.Lalu aku melakukan mut’ah dengannya. Belum usai
aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengharamkannya.[12] Sedangkan riwayat yang
mengharamkan nikah mut’ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al
Akwa`.
• Mengkombinasikan antara
riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih
(mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan bahwa
lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang
didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu ‘Abbas jauh
setelah kejadian Seharusnya ucapan beliau, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut’ah”.Dengan
demikian, larangan mut’ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu
Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Para ulama berselisih, apakah mut’ah dilarang pada masa Khaibar?,Ada dua
pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah,
sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali
berkata kepada Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang mut’ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk
memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu ‘Abbas.
Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu,
lalu mereka meriwayatkan dengan makna”.
Sedangkan riwayat pengharaman
mut’ah pada perang Authas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`.
Berhubung perang Authas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka
sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak
(menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang
shahih tentang pengharaman nikah mut’ah, bahwa telah berlaku pembolehan
kemudian pelarangan beberapa kali.Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu
diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian
diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Tidak
ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama
berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dinasahkan (dihapus), lalu dihalalkan
kemudian dinasahkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan
pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.”
Al Qurthubi berkata, “Telah berkata
Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun mut’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah;
karena mut’ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang
Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah
itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut’ah -dalam hal ini- tidak ada yang
menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan)
terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.”Bahkan sebagian ulama yang
belum menyaring semua riwayat tentang mut’ah, mereka mengatakan telah terjadi
tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[13]
Sesungguhnya,
para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang hukum nikah kontrak.
Lalu bagaimanakah hukum kawin kontrak dalam pandangan Islam? Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada
25 Oktober 1997.
Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram. Fatwa nikah kontrak yang ditandatangani Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ibrahim Hosen itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut’ah. ''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,'' begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.''
Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram. Fatwa nikah kontrak yang ditandatangani Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri dan Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ibrahim Hosen itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut’ah. ''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,'' begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.''
Berdasarkan
ayat itu, MUI menyatakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita
yang berfungsi sebagai istri atau jariah.
Sedangkan, papar MUI, wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tak berfungsi sebagai sitri, karena ia bukan jariah. MUI berpendapat akad mut'ah bukan akan nikah, alasannya: Pertama, tak saling mewarisi. Sedangkan nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Kedua, iddah mut'ah tak seperti iddah nikah biasa. Nikah mut'ah dinilai MUI pertentangan dengan persyarikatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.MUI pun menganggap nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan bahwa nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fuqaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait kawin kontrak atau nikah mut'ah. Para ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa nikah mut'ah hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ath-Thabraniy dari al-Harits bin Ghaziyyah: ''Dari al-Harits bin Ghaziyyah, ia berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), ''Nikah mut'ah dengan wanita itu haram.’’ Majelis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya menegaskan, keharaman nikah mut'ah tak hanya sebatas kepada pihak laki-laki dan wanita yang mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah mut'ah. Tetapi juga berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya maupun tidak mengetahuinya. ''Orang-orang yang melakukan nikah mut'ah sekarang ini, menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang diharamkan,'' tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Sedangkan untuk nikah siri, MUI telah mengeluarkan fatwa dalam forum Ijtima' Ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. Dalam fatwanya, MUI menetapkan, nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. [14]
Sedangkan, papar MUI, wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tak berfungsi sebagai sitri, karena ia bukan jariah. MUI berpendapat akad mut'ah bukan akan nikah, alasannya: Pertama, tak saling mewarisi. Sedangkan nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Kedua, iddah mut'ah tak seperti iddah nikah biasa. Nikah mut'ah dinilai MUI pertentangan dengan persyarikatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.MUI pun menganggap nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan bahwa nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fuqaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait kawin kontrak atau nikah mut'ah. Para ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa nikah mut'ah hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ath-Thabraniy dari al-Harits bin Ghaziyyah: ''Dari al-Harits bin Ghaziyyah, ia berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), ''Nikah mut'ah dengan wanita itu haram.’’ Majelis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya menegaskan, keharaman nikah mut'ah tak hanya sebatas kepada pihak laki-laki dan wanita yang mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah mut'ah. Tetapi juga berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya maupun tidak mengetahuinya. ''Orang-orang yang melakukan nikah mut'ah sekarang ini, menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang diharamkan,'' tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Sedangkan untuk nikah siri, MUI telah mengeluarkan fatwa dalam forum Ijtima' Ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. Dalam fatwanya, MUI menetapkan, nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. [14]
Haramnya
nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama
dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad
Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu
perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan
bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut,
sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu.
Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya
aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke
Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato
diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian
manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah.
Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia
menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya,
janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan
nikah mut'ah sampai Hari Kiamat.’’[15]
Pendapat
Para Ulama
Berdasarkan
hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
v
Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin
Al-Sarkhasi dalam kitabnya Al-Mabsuth mengatakan: "Nikah mut'ah ini
bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani dalam
kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i mengatakan, "Tidak
boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
v
Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd
dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid mengatakan,
"hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat
mutawatir." Sementara itu Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al-Mudawanah
Al-Kubra mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan
dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
v
Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i
dalam kitabnya Al-Umm mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu
adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku
nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' mengatakan, "Nikah mut'ah
tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang
bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
v
Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu
Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, "Nikah Mut'ah ini
adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad
bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.[16]
Kemudian
tedapat beberapa hadist yang mendukung di haramkanya nikah mut’ah, seperti yang
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a, ia berkata: ketika Umar r.a menjadi khalifah,
beliau berpidato di depan khalayak, “Demi Allah, kalau ada seseorang
melakukan kawin mut’ah (kontrak), sedangkan ia telah beristri (muhshan), pasti
akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali kalau ia bisa mendatangkan empat
orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah
menghalalkannya lagi setelah beliau mengharamkannya.”
Diriwayatkan
oleh Imam Malik, Al-baihaqi dan Abdurrazaq bahwa, : Engkaulah binti hakim
yang pernah masuk kerumah Umar, kemudian ia berkata,“Sesungguhnya Rabi’ah bin
Umayyah kawin mut’ah dengan seseorang perempuam sampai ia mengandung.” Umar
lalu keluar dengan menarik selendangnya dan berkata, “Sesungguhnya mut’ah ini,
kalau seandainya ini terjadi sesudah aku umumkan keharamannya dihadapan umat,
pasti aku akan merajam orang yang melakukannya.”[17]
Nikah
mut’ah tidak sah dan tidak boleh dilakukan. Praktek nikah mut’ah adalah sebagai
berikut : seorang pria berkata, “Aku mengawinkan putriku denganmu untuk satu
hari atau satu bulan.” Artinya nikah mut’ah adalah menikahi wanita dengan
batas waktu tertentu. Pernikahan merupakan akad yang memperbolehkan (jima’)
secara mutlaq, tidak bisa dibatasi dengan waktu tertentu. Disamping itu, nikah
mut’ah juga tidak sama sekali berkaitan dengan ihwal talak, zhihar, waris dan
iddah meninggal dunia.nikah mut’ah hukumnya bathil, seperti akad nikah bathil
lainnya.
Ibnu
Abbas menuturkan, “Nikah mut’ah mulanya dipraktekkan pada masa awal Islam.
Saat itu ada seseorang yang datang ke suatu negeri dan belum mengenal daerah
tersebut. Lalu ia menikahi seorang wanita menurut perkiraan lamanya ia bermukim
disana. Si wanita melindungi harta si pria dan mempergaulinya dengan baik’’, hingga
akhirnya ayat ini turun.
wÎ)
#n?tã öNÎgÅ_ºurør&
÷rr&
$tB ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷r&
öNåk¨XÎ*sù
çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
Kecuali
kepada istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela. (QS.
Al-mu’minin : 6)
Subra
al-Juhai meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bersama Rasulullah saw beliau
bersabda, “Wahai segenap manusia, sungguh aku telah mengizinkan kalian untuk
bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah). Sungguh Allah telah mengharamkan
hal itu hingga hari kiamat. Barang siapa masih menjalin hubungan dengan mereka
lepaskanlah jalannya. Dan janganlah kalian mangambil sesuatu yang telah kalian
berikan padanya.’’ (HR. Ahmad)
Maksudnya
adalah izin diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah pada hari Fathu Makkah
telah dihapus oleh larangan yang berlaku selamanya. Al-Baihaqi menukil
dari Jafar bin Muhammad, bahwa ia pernah ditanya tentang mut’ah. Dia menjawab,
“itu sebenarnya zina.”[18]
Jadi
jelas bahwa nikah mut’ah hukumnya diharamkan, meskipun dahulu pernah di
pebolehkan, kecuali bagi penganut mazhab syi’ah, yang tetap memperbolehkan
dilaksanakanya nikah mut’ah.
C. Akibat Hukum Nikah Mut’ah dalam Perspektif
Kesetaraan Gender
Nikah mut’ah mungkin merupakan hal
yang tidak asing bagi realita kehidupan saat ini maupun masa lampau, dalam
prakteknya nikah mut’ah memang telah diharamkan, karena disisi lain telah
memberikan efek ketidakadilan bagi pihak perempuan (umumnya) karna bisa juga
terdapat nikah dari pihak wanita terhadap seorang laki-laki. Nikah semacam ini
sering kali dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering
kali menimbulkan dampak negatif terhadap orang
yang di nikah mut’ah dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak
mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Di Indonesia sendiri perkawinan yang
sah yaitu secara administratif telah dicatatkan, dan pencatatan perkawinan pun
dilangsungkan dihadapan PPN (pegawai pencatat nikah) baru dikatakan perkawinan
yang sah kalau di negara kita. Maka
dari itu, guna
kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.
Kaitannya dengan nikah mut’ah dalam
prespektif gender dapat memberikan dampak dari hukum nikah tersebut. Jika
pernikahan semacam ini terus-menerus dibiarkan, maka yang menjadi korban dari
dampak nikah tersebut adalah pihak yang di nikah mut’ah, diantaranya adalah,
tidak akan ada sebab hukum, karna tidak ada kekuatan hukum dari nikah yang
dilakukan dibawah tangan, tidak akan ada hal saling waris-mewarisi, kemudian
jika sampai mempunyai anak dari pernikahan tersebut, maka anak dari nikah
tersebut hanya bernasab pada sang ibu, lebih parahnya lagi anak tersebut akan
merasa malu (secara psikologis), dan akan sulit untuk mengurus surat-surat
kependudukan, karena ketidakjelasan data tentang dirinya.
Dalam nikah mut’ah ini jika terjadi sesuatu hal yang
merugikan dari pihak yang merasa dirugikan maka sulit untuk
meminta pertanggungjawaban dan juga sulit
untuk menimbulkan akibat hukumnya, karena tidak ada bukti dari pencatat
pernikahan, sehingga sulit untuk menuntut pihak terkait. Jadi, jika kita
mengetahui dari akibat hukum nikah mut’ah ini, seharusnya kita bisa mengubah
atau sedikit memberikan faham-faham pada orang
yang akan mengambil keputuan untuk melakukan nikah semacam ini. Karana
akan memberikan dampak tersendiri bagi pelaku dari nikah mut’ah. Selain itu,
dalam hal kesehatan akibat dari nikah ini adalah penyakit gonorhe (kencing nanah),
yaitu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim,
rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva). Gonorhe bisa menyebar melalui
aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada
wanita, gonorhe
bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul
sehingga timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.[19]
IV.
Kesimpulan
Nikah mut'ah menurut istilah hukum biasa diartikan
perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan mas kawin tertentu untuk
jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami
tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta
tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.Hukum dari pernikahan ini memang
dahulunya di perbolehkan oleh nabi kepada para sahabat di medan pertempuran
saat perang, karna mereka harus berjuang dan dalam waktu yang sangat lama,
sehingga mereka tidak dapat pulang kerumah untuk menjumpai istri mereka,itu
saja nabi hanya memberikan wkatu tiga hari untuk memut’ah para wanita yang akan
di mut’ah. Namun kemudian nabi mengumumkan pengharaman dati nikah mut’ah, tidak
ada yang tahu pasti, kapan pengharaman dari nikah mut’ah itu sendiri, karna
banyak perbedaan pendapat diantar hal ini, namun yang jelas mut’ah telah
diharamkan oleh nabi hingga hari kiamat. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh
adanya nikah mut’ah dengan prespektif gender diantaranya adalah tidak adda
kepastian hukum yang kuat, anak hasil nikah mut’ah bisa saja tidak dapat
pengakuan dari pihak ayah, karna tidak adanya bukti sebagai penguat dari
pernikahan itu sendiri, kemudian dalam hal nafkah dan warisan juga tidak akan
ada, jadi nikah mut’ah banyak memberikan efek negatif bagi pihak yang di mut’ah
dari pada efek positifnya, jadi tidak akan ada pertanggungjawaban dari nikah
mut’ah ini.
V.
Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan makalah
ini. pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik
dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada
koridor membangun bagi kami, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap
langkah kami, dan selalu membimbing kami ke arah jalan yang benar, Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
§ Anggota
Ikapi kerja sama dengan LSIK, 1994, Problematika
Islam Kontemporer I,
Jakarta; Pustaka Firdaus, cet 1
§ Anggota
Ikapi kerja sama dengan LSIK, 1994, Problematika Islam Kontemporer I, Jakarta;
Pustaka Firdaus, cet 1.di kutip dari Al-musawi, A, syarafudin, Al-fusul
al- muhimmah fi ta’lifi al-ummah, trj, Mukhlis B,A 1989.Isu-Isu Penting Ikhtilaf,
Bandung; Mizan.
§ Aziz,
Abdul. 2003, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab.. Surabaya. Risalah
Gusri.
§ http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/dikutip
dari Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Maktabah Ubaikan , tt, cet ke-2, di akses
pada tanggal 10 Desember 2012
§ http://alphacyber.wordpress.com/2008/07/03/penyakit-kelamin-mematikan/
§ http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/01/22/ly5scp-kawin-kontrak-apa-hukumnya.
diakses pada tanggal 20 Desember 2012
§ Prof.
DR. Amir Syarifuddin. 2006, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta; kencana, Cetakan ke-3.
§ Sulaiman
Rasjid, 1994, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, Cet 27.
§ Wahbah,
Zuhaili. 2010, Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta. Almahira, Juz 2.
§ wirajiwa.bumicyber.com/index.php?option=com_content&view=article&id=421:apa-itu-nikah-mutah-dan-hukumnya&catid=24:feqah&Itemid=45.
Diaksese pada tanggal 20 Desember 2012
[2]
http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/dikutip
dari Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Maktabah
Ubaikan ,
tt, cet ke-2, hlm 104. Di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[8]http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[9] Haditsnya diriwayatkan
oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal. http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[10]
Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat
rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan,
Jami’ Ahkam Nisaa’ (3/193). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[11]
Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan
Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini
dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[12]
HR Muslim, 9/158, (1406). http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[13] http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-islam/
di akses pada tanggal 10 Desember 2012.
[14]
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/01/22/ly5scp-kawin-kontrak-apa-hukumnya,
di akses pada tanggal 20 desember 2012
nice share om , lengkap banget penjelasannya, kerennnn
BalasHapusSouvenir Pernikahan Kediri