MUSYAROKAH
MUSYAROKAH
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Drs.
Sahidin., M.si.
Disusun
oleh:
Nihayatul
Ifadhloh (122111103)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Musyarokah
I.
Pendahuluan
Persoalan
muamalah adalah persoalan yang sedikit dikaji secara serius, karena adanya
anggapan bahwa persoalan muamalah adalah persoalan duniawiyah yang sama sekali
tidak terkait dengan ketuhanan. Namun dengan perkembangan zaman dan peradaban
manusia dan juga adanya perkembangan teknologi, maka banyaklah bentuk-bentuk
transaksi islam yang harus mengikuti perkembangan zaman.[1]
Dalam
pembahasan muamalah terdapat beberapa akad kerjasama atau transaksi dengan
karakter yang berbeda-beda, seperti ijaroh, muzaro’ah, mukhobaroh,
mudlorobah, dan syirkah. Dalam berbagai transaksi jual beli, jasa, dan lain
sebagainya, seorang muslim harus melaksanakan sesuai dengan tuntunan yang telah
disyari’atkan Allah dan Rasul-NYA. dan dalam pembahasan tulisan kali ini
pemakalah akan menulis tentang akad musyarokah.
II.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
1.
Pengertian
Musyarokah !
2.
Dasar
Hukum Musyarokah !
3.
Syarat
dan Rukun Musyarokah !
4.
Macam-Macam
Musyarokah !
5.
Berakhirnya
Musyarokah !
III.
Pembahasan
A.
Pengertian
Musyarokah
Secara etimologi musyarokah berasal dari kata syaroka_yusyariku_
musyarokatan artinya bersekutu. Sedangkan secara terminologi syirkah
berarti percampuran , yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta
lainya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[2]
Ulama saling berbeda pendapat tentang arti dari musyarokah, diantaranya;
1.
Menurut
Syafi’iyah
Syirkah adalah ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang
atau lebih dengan cara yang diketahui.
2.
Menurut Hanabilah
Syirkah adalah bentuk perhimpunan hak atau kewenangan dan juga
pengelolaan harta.
3.
Menurut
Malikiyah
Syirkah adalah izin untuk mendayagunakan harta yang dimiliki oleh
dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan
kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun
masing-masing memiliki hak untuk mendayagunakan.
4.
Menurut
Hanafiyah
Syirkah adalah ungkapan adanya transaksi antara dua orang yang
bersukutu pada pokok harta dan keuntungan.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dinamakan syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang yang mengikatkan diri
untuk bekerjasama, dimana masing-masing pihak mempunyai hak untuk melakukan
tindakan hukum terhadap modal yang dikelola.[3]
B.
Dasar
Hukum Musyarokah
Akad syirkah menurut ulama diperbolahkan, berlandaskan ayat dalam
Al-Qur’an;
¨bÎ)ur.... #ZÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 .... ÇËÍÈ
"Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah
mereka ini". (Al-Shod :24).[4]
Dismaping ayat Al-Qur’an diatas juga terdapat hadits nabi yang
menjelaskant tentang akad syirkah;
عن ابي هريره
رفعه الى النبي ص.م. قال : انا ثالث الشريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه
خرجت من بينهما. (رواه ابو داود والحاكم عن ابي هريره).
“Dari Abu hurairoh yang dirafa’kan kepada nabi muhamad SAW,
bersabda; aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah
seorang dari keduanya tidak menghiantai temanya, dan aku akan
keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghiantinya.”[5]
Jadi dengan adanya dalil-dalil yang membahas tentang syirkah dan
diperbolehkan dalam dalil tersebut, maka ulama memperbolehkan adanya akad
musyarokah, selama tidak menimbulkan perselisihan dan juga penghianatan dari
para anggota yang berakad.
C.
Rukun
dan Syarat Musyarokah
1.
Rukun
musyarokah
a.
Aqidain (kedua belah pihak yang berserikat)
b.
Ma’qud
alaih (barang yang
menjadi objek dalam berserikat)
c.
Shiqot
ijab kabul (ucapan serah
trima).
Namun menurut ulama hanafiyah rukun syirkah hanya ada satu, yaitu shiqot
ijab qobul.
2.
Syarat
musyarokah
Syarat
musyarokah diperinci dengan berdasarkan rukunya;
a.
Syarat
aqidain
1). Akil dan baligh, syarat ini berlaku mutlak bagi semua
transaksi, dan hal ini disepakati hampir oleh semua ulama’. namun apabila
terdapat anak dibawah umur yang memang
mampu, maka harus ada bentuk perwalian, atau ada perizinan dari walinya, hal
ini merupakan pendapat dari imam abu hanifah.
2). Memiliki kemampuan dan kompetensi dalam memberikan atau
menerima kuasa perwakilan, jika objek musyarokah dikelola bersama-sama, maka
kemampuan dan kompetensi disyaratkan ada pada dua-duanya, dan jika yang
mengelola hanya salah satu pihak, maka yang harus memenuhi syarat ini adalah
yang mengelola saja.
b.
Syarat
yang terkait dengan ma’qud alaih
1.
Modal
berupa hartal mitsli (yang dapat ditemukan dalam pasaran).
2.
Sama
dalam jenis dan sifatnya. Sekiranya barang tersebut bercampur, maka tidak dapat
dibedakan.
3.
Modal
terkumpul terlebih dahulu sebelum akad. Sehingga masing-masing pihak mnegetahui
lebih dahulu porsi masing-masing.
c.
Syarat
yang terkait dengan sighot akad
Shighot dalam akad
musyarokah disyaratkan berupa ucapan yang lugas dan menunjukkan adanya izin dari
pengelolaan dana. Karena itu, jika dalam akad tidak disinggung/tidak
menunjukkan adanya izin dari kedua belah
pihak yang berserikat, maka akad ini dianggap tidak syah. Namun kembali lagi
bahwa sighot akad ini syah atau tidaknya ditentukan oleh bentuk urf
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.[6]
D.
Macam-Macam
Musyarokah
1.
Syirkah
al-amlak
Syirkah amlak adalah
dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa adanya bentuk akad. Dan
jenis-jenisa dari syirkah ini adalah;
a.
Syirkah
ihtiyar
(pilihan/sukarela)
Syirkah ini muncul karena adanya kontrak yang memang disepakati
atau di rencanakan oleh kedua belah pihak, untuk mengikatkan diri dalam sebuah
kepemilikan
Contoh; dua orang atau lebih
yang bersepakat untuk membeli, memberi atau berwasiat tentang sesuatu barang.
b.
Syirkah
ijbar (paksaan)
Syirkah yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih, tanpa adanya
kehendak mereka.
Contoh; harta warisan yang diberi kepada ahli waris.
Dalam
kedua bentuk syirkah al-imlak , menurut para ulama’ status harta
tersebut masing-masing berdiri sendiri secara hukum. Oleh karena itu, salah
seorang diantar mereka, tidak boleh mengolah harta syirkah tersebut tanpa izin
dari teman sekutunya.[7]
2.
Syirkah
uqud
Syirkah uqud
adalah syirkah yang disepakati oleh dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri
dalam perserikatan modal dan keuntungan. Dan syirkah ini ada beberapa jenis,
antar lain adalah;
a.
Syirkah
al-‘inan
Kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana masing-masing
pihak memberikan dana (meskipun dananya tidak sama yang diberikan, begitupun
hasil dan kerugiannya), terlibat dalam pegelolaan dan berbagi keuntungan juga
kerugian ditanggung bersama. Dalam hal ini ulama menempatkan kaidah;
الربح علي ما
شرطا والواضيعة علي قدر ما لين.
“Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, kerugian sesuai
dengan prosentase modal masing-masing”
karakteristik umum dalam syirkah al-‘inan adalah;
1)
perserikatan
dalam sebuah perdagangan
2)
modal
yang digabung tidak harus sama
3)
keuntungan
dibagi sesuai dengan kesepakatan
4)
kerugian
ditanggung sesuai dengan presentasi modal masing-masing.
b.
Syirkah
al-mufawadlah
Perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang
mereka lakukan baik kulaitas dan kuantitasnya harus sama, dan keuntungan dibagi
rata.
Salah satu dasar syirkah muwafadlah adalah didasarkan hadits
nabi SAW;
فأوضوا
فانه اعظم للبركة
“Samakanlah modal kalian, sebab hal itu lebih memperbesar
barokah”.
karakteristik
dalam syirkah mufawadlah adalah;
1)
Jumlah
modal dari masing-masing pihak harus sama
2)
Pihak-pihak
yang bersangkutan harus sama-sama kerja dan tidak ada yang lebih dominan, atau
hak dan kewajiban harus sama rata.
3)
Masing-masing
pihak boleh melakukan transaksi jiak mendaapat persetujuan dari yang lain
(menurut madzhab imam hanafi), namun imam maliki tidak sependapat dengan imam
hanafi, menurutnya kerjasama ini dapat dianggap syah apabila masing-masing yang
berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal,
kerja, tanpa minta izin kepada mitranya, dan pendapat ini juga sama dengan imam
syafi’i dan imam hambali.
c.
Syirkah
al-abdan
Kerjasama dalam bentuk kerja (tanpa modal) untuk menerima pekerjaan
secara bersama-sama, dan berbagi keuntungan.
اشتركت انا وعمر وسعد يوم بدر فاصاب سعد أسيرين ولم اصب انا وعمر شيأ فلم
ينكر النبي ص.م. علينا (رواه ابو داود والنساء وابن ماجه عن ابي عبيدة عن عبد
الله)
“saya (ibnu
mas’ud) telah bersekutu dengan umar dan sa’ad pada waktu perang badar, kemudian
sa’ad mendapatkan dua tawanan perang, sedangkan aku dan umar tidak
mendapatkanya, nabi SAW tidak mengingkari perbuatan kami.”
Dan karakteristik kerjasama ini adalah;
1)
Dilaksanakan
oleh kedua belah pihak atau lebih. Semisal dua orang yang bekerja membuat
gamelan pada suatu tempat produksi, dan hal itu dilakukan bersama-sama.
2)
Hasilnya
dibagi sesuai kesepakatan.
3)
Menurut
imam mailiki, syirkah ini syah dengan syarat pekerjaanya sejenis, satu tempat,
dan kerjanya sesuai dengan kuantitas kerja masing-masing.
4)
Menutu
imam syafi’i dan syi’ah imamiyah jenis syirkah ini tidak boleh, karna pada
dasarnya syirkah itu objek dasarnya adalah harta. Disamping itu, kerja yang
dilakukan dalam perseriaktan tersebut tidak dapat diukur, sehingga terjadi
kemungkinan perselisihan dan penipuan.[8]
d.
Syirkah
al-wujuh
Syirkah ini dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama-sama
tidak punya modal, dan mereka melalukan suatu pembelian dengan kredit, serta
menjualnya dengan harga tunai, kemudian membagi hasilnya bersama. Mungkin saat
ini lebih sering dikenal dengan bentuk makelar. Dalam perserikatan seperti ini,
pihak yang berserikat membeli barang secara kredit hanya atas dasar kepercayaan
semata, kemudian mereka menjualnya dengan harga tunai.
Salah satu dasar syirkah wujuh adalah didasarkan hadits nabi SAW;
المسلمون على شروطهم
“(bagian) orang-orang islam
bergantung pada syarat yang mereka sepakati”.
Hukum dari syirkah ini diperselisihkan oleh ulama’, ulama’
hanafiyah, hanabilah, dan zahidiyah membolehkan kerjasama ini, mereka beralasan
bahwa masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga
pihak lain pun terikat dengan transaksi yang dilakukan oleh mitranya. Namun
ulama’ syafiiyah, mailikyah, zahiriyah dan syi’ah imamiyah, perserikatan
semacam ini tidak diperbolehkan, mereka beralasan bahwa objek perserikatan
adalah modal dan kerja, sedangakan dalam perserikatan ini, modal dan kerjanya
tidak jelas. Modal orang-orang yang mengikatkan diri dalam syirkah tidak ada.
e.
Syirkah
al-mudlorobah
Kerjasama dengan perseutjuan dua orang, anatar pemilik modal denga
pekerja untuk meneglola modal dari pemilik modal (biasanya dalam bentuk
perdagangan), yang mana keuntunganya dibagi sesuai kesepakatan bersama, dan
kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut hanabilah mudlorobah masuk dalam musyarokah itu
harus memenuhi syarat;
1)
Pihak-pihak
yang bresikap cakap bertindak sebagai wakil
2)
Modalnya
berbentuk uang tunai
3)
Jumlah
modal jelas
4)
Diserahkan
langsung kepada pengelola modal (pekerja) setelah adanya akad
5)
Pembagain
atas keuntungan dinyatakan jelas pada saat akad dilangsungkan
6)
Pembagian
keuntungan diambilkan dari hasil modal tersebut.
Namun jumhur ulama’ tidak memasukkan transaksi mudlorobah dalam
bentuk musyarokah, karena modlorobah merupakan akad tersendiri, dan
tidak dinamakan dengan perserikatan.[9]
E.
Berakhirnya
Musyarokah
Ada beberapa hal yang menyebabkab berahinya suatu akad musyarokah.
Menurut para ulama’ fiqh hal-hal yang dapat membatalkan atau menyebabkan berahirnya
musyarokah ada yang bersifat umum dan juga khusus.
1.
Adapun
yang membatalkan secara umum adalah;
a.
Salah
satu pihak mengundurkan diri
b.
Salah
satu pihak yang berserikat meninggal
c.
Salah
satu pihak kehilangan kecakapanya dalam bertindak hukum, seperti gila.
d.
Salah
satu pihak murtad dan memerangi orang muslim (menurut pemakalah mungkin “karna
mungkin akad semacam ini dulunya hanya ada pada kelompok muslim, dan saat itu
masih adalam taraf perjuangan agama islam untuk mengajak orang masuk islam,
jadi tidak dialakukan dengan orang yang bukan beragama islam, namun saat ini
zaman telah berkembang, dan kita juga diajari, malah terkadang dituntut untuk
menghormati pemeluk agama lain, jadi transaksi ini mungkin boleh saja dilakukan
kepada non muslim, selama tidak menimbulkan perselisihan, apalagi sampai
ketaraf agama”).
2.
Yang
membatalkan secara khusus (jika dilihat dari macam musyarokah) adalah
a.
Syirkah
amwal, akad ini
dikatakan batal apabila semua, atau sebagian modal perserikatan hilang, karena
objek perserikatan dalam perserikatan ini adalah harta, dengan harta dalam
perserikatan hilang, maka akad bubar.
b.
Syirkah
mufawadlah, akad ini
dikatan batal jika modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karna
akad ini sendiri berarti persamaan, baik modal maupun kerja.[10]
IV.
Kesimpulan
syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang yang mengikatkan diri
untuk bekerjasama, dimana masing-masing pihak mempunyai hak untuk melakukan
tindakan hukum terhadap modal yang dikelola. Dasar hukum atas diperbolehkanya
syirkah adalah, “Dari Abu hurairoh yang dirafa’kan kepada nabi muhamad SAW,
bersabda; aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah
seorang dari keduanya tidak menghiantai temanya, dan aku akan
keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghiantinya.”. Adapun
syarata dan rukun syirkah dalah; Pertama, Aqidain (kedua belah pihak
yang berserikat) harus Akil dan baligh, dan juga Memiliki kemampuan dan
kompetensi dalam memberikan atau menerima kuasa perwakilan. Kedua, Ma’qud
alaih (barang yang menjadi objek dalam berserikat) yaitu, Modal berupa
hartal mitsli, Sama dalam jenis dan sifatnya, Modal terkumpul terlebih
dahulu sebelum akad. Ketiga, Shiqot ijab kabul (ucapan serah trima), Shighot
dalam akad musyarokah disyaratkan berupa ucapan yang lugas dan menunjukkan adanya
izin dari pengelolaan dana. Namun kembali lagi bahwa sighot akad ini
syah atau tidaknya ditentukan oleh bentuk urf yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat.
Adapun
macam-macam syirkah yaitu;
1. Syirkah al-amlak
a.
Syirkah
ihtiyar
(pilihan/sukarela)
b.
Syirkah
ijbar (paksaan).
2. Syirkah uqud
a.
Syirkah
al-‘inan
b.
Syirkah
al-mufawadlah
c.
Syirkah
al-abdan
d.
Syirkah
al-wujuh
e.
Syirkah
al-mudlorobah
Menurut hanabilah mudlorobah masuk dalam musyarokah itu
harus memenuhi syarat; Pihak-pihak yang bresikap cakap bertindak sebagai wakil,
Modalnya berbentuk uang tunai, Jumlah modal jelas, Pembagain atas keuntungan
dinyatakan jelas pada saat akad dilangsungkan, Pembagian keuntungan diambilkan
dari hasil modal tersebut. Namun jumhur ulama’ tidak memasukkan transaksi mudlorobah
dalam bentuk musyarokah, karena modlorobah merupakan akad
tersendiri. Adapun yang membatalkan syirkah itu ada dua, yaitu secara umum dan
khusus, secara umum adalah;
a.
Salah
satu pihak mengundurkan diri
b.
Salah
satu pihak yang berserikat meninggal
c.
Salah
satu pihak kehilangan kecakapanya dalam bertindak hukum,
d.
Salah
satu pihak murtad dan memerangi orang muslim.
Yang membatalkan secara khusus adalah; Syirkah amwal, akad
ini dikatakan batal apabila semua, atau sebagian modal perserikatan hilang. Dan
Syirkah mufawadlah, akad ini dikatakan batal jika modal masing-masing
pihak tidak sama kuantitasnya.
V.
Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak
langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah
sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan
segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para
pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun
bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah
kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin....
DAFTAR PUSTAKA
Afandi,
Yazid. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta; Logung Pustaka. Cet 1.
Haroen,
Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah.
Jakarta; Gaya Media Pratama. Cet II.
Syafe’i,
Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung; Cv Pustaka Setia.
[1] Nasrun Haroen.
Fiqh Muamalah. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2007. Cet II. Hlm V.
[2] Yazid Afandi. Fiqh
Muamalah. Yogyakarta; Logung Pustaka. 2009. Cet 1. Hlm 119.
[3] Rachmat
Syafe’i. Fiqh Muamalah. Bandung; Cv Pustaka Setia. 2001. Hlm 184.
[4] Nasrun Haroen.
Fiqh Muamalah. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2007. Cet II. Hlm 166.
[5] Rachmat
Syafe’i. Fiqh Muamalah. Bandung; Cv Pustaka Setia. 2001. Hlm 186.
[8] Yazid Afandi. Fiqh
Muamalah. Yogyakarta; Logung Pustaka. 2009. Cet 1. Hlm 126-129.
[9] Nasrun Haroen.
Fiqh Muamalah. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2007. Cet II. Hlm 172.
[10] Nasrun Haroen.
Fiqh Muamalah. Jakarta; Gaya Media Pratama. 2007. Cet II. Hlm 175.
Komentar
Posting Komentar