METODE TAFSIR MUQARAN



METODE TAFSIR MUQARAN

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an 2

Dosen Pengampu : Dra, Hj, Noor Rosyidah, M.SI



Disusun oleh:

              Mustolih                           (122111101)
              Nely Sama Kamalia        (122111102)
              Nihayatul Ifadhloh         (122111103)
              Nur Halimah                   (122111106)


AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Metode Tafsir Muqaran
I.                        Pendahuluan
Al-Qur’an itu laksana samudra yang keajaiban dan keunikanya tidak akan pernah sirna ditelan masa, hingga nanti masanya tiada atas kehendak yang kuasa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang aneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang ada merupakan bukti dari tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama’ untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab suci Al-Qur’an.[1]
Ada beberapa metode penafsiran Al-qur’an yang umum digunakan oleh para ulama’ tafsir, penafsiran yang lazim digunakan mereka ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global, tetapi ada juga yang menafsirkanya dengan cara melakukan study perbandingan (muqoron). Secara umum terdapat empat bentuk metode dalam penafsiran Al-qur’an, yaitu metode tahlily, metode ijmaly, metode muqoron, dan metode maudhu’iy. Namun dalam kesempatan kali ini, pemakalah akan membahas tentang metode muqoron (perbandingan/komparasi).[2]

II.          Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.    pengertian Tafsir Metode Muqoron!
B.     Ciri-ciri metode muqoron !
C.     Bentuk Penafsiran Metode Muqoron!
D.    Kelemahan dan Kelebihan Metode Tafsir Muqoron!

III.                  Pembahasan
A.                     pengertian Tafsir Metode Muqoron
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda padahal isi kandunganya sama, atau bisa diartikan perbandingan antar ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip, padahal isi kandunganya berlainan. Dalam pengertian lain tafsir metode muqoron juga dapat diartikan dengan cara membandingkan antara aliran-aliran tafsir dan antara mufasir satu dengan mufasir yang lainya, ataupun juga perbandingan itu didasarkan pada perbedaan metode.[3]
Dalam hal ini, seorang peneliti juga berusaha memperbandingkan arah dan kecenderungan  masing-masing penafsir, dan menganalisis apa gerangan yang melatarbelakangi seorang penafsir menuju arah dan memilih kecenderungan tertentu, corak tafsir muqoron dapat dilakukan dengan cara memperbandingkan sejumlah ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara suatu topik masalah, atau memperbandingkan ayta-ayat Alqur’an dengan hadits-hadits nabi yang secara lahiriyah tampak berbeda, namun memiliki kesamaan makna.[4]
Jadi pada intinya pengertian metode muqoron memiliki dua pengertian yaitu dari sisi membandingankan ayatnya, dan kedua yaitu membandingkan penafsiran mufassir satu dengan penafsiran mufassir lainya.
B.                     Ciri-ciri metode muqoron
1. Dilihat dari kaidah utama dalam penerapan metode ini,maka metode ini memiliki ciri “perbandingan”. Perbandingan adalah ciri utama bagi metode ini. Maka dari itu dalam menerapkan metode ini,mufasir harus meninjau  berbagai pendapat dari para ulama tafsir. Disinilah terletak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode metode lainnya. Dalam konteks ini, Al Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al tafsir al muqaran(tafsir komparatif) ialah: ”Menjelaskan ayat ayat Al quran berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.”[5]
2. Metode tafsir muqaran mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, diantaranya yaitu membandingkan antara ayat-ayat al-quran yang membicarakan tentang satu masalah atau membandingkan berbagai redaksi yang bermiripan dari ayat-ayat Al qur’an, atau membandingkan antara ayat ayat al quran dengan hadis- hadis Nabi yang secara lahirnya tampak berbeda (namun sebenarnya memiliki arti dan tujuan yang sama) dan juga dapat diartikan memperbandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan satu ayat.[6]
C.                     Bentuk Penafsiran Metode Muqoron
Bentuk-bentuk dari metode penafsiran muqoron antara lain adalah:
1.              Membandingkann. ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki redaksi berbeda tapi maksudnya sama. Contoh firman Allah;

ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6š/u öNà6øŠn=tæ ( žwr& (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ( Ÿwur (#þqè=çFø)s? Nà2y»s9÷rr& ïÆÏiB 9,»n=øBÎ) ( ß`ós¯R öNà6è%ãötR öNèd$­ƒÎ)ur ( Ÿwur (#qç/tø)s? |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur šÆsÜt/ ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 t.bqè=É)÷ès?   

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik  yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar(Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.)",demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Al-an’am ; 151).
Ÿw (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$­ƒÎ)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%Ÿ2 $\«ôÜÅz #ZŽÎ6x. ÇÌÊÈ  
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”  (Al-isra’; 31).
Dua ayat diatas mengguanakan redaksi yang berbeda padahal maksudnya sama, yakni Sama-sama melarang (mengahramkan) membunuh anak, hanya saja sasaranya berbeda, pada yata pertama lebih ditujukan kepada orang-orang miskin atau fuqoro, sedangkan ayat kedua lebih ditujukan kepada orang-orang kaya.
Pemahaman tentang perbedaan sasaran yang dituju dapat difahami dari perbedaan redaksi pada kedua ayat diatas, dalam ayat pertama menggunakann redaksi  من املاق(takut kelaparan) yang belum tentu terjadi, sedangkan pada ayat kedua menggunakan redaksi (نحن نرزقكم وإياكم) yang berarti kelaparan sudah terjadi.
Menurut sebagian mufassir kata من املاق dan نحن نرزقكم وإياكم mengisyaratkan bahwa orang miskin yang tengah mengalami kelaparan (kekurangan ekonomi) sekalipun tidak boleh membunuh anak-anaknya dengan alasan apapun termasuk kelaparan yang tengah dialaminya. Sebab, Allah lah yang menjamin akan memberi rizqi kepada nak-anakmu. Sedangakan pada ayat kedua  mengisyarakatkan kelaparanya itu sendiri belum terjadi, hanya saja mereka khawatir akan hartanya yang akan semakin berkurang dengan kehadiran akanknya.
Mungkin selintas tidak ada perbedaan dari redaksi kedua ayat diatas, karna memang pada intinya sama-sama mengingatkan akan larangan membunuh anak, karna Allah lah yang akan mengatur rizqi mereka. Namun sebagian mufassir dengan berdasarkan kaidah زيادة البناء تدل علي زيادة المعني  (penambahan bentuk menunjukkan perbedaan makna), karna itu redaksi yang sedikit saja berbeda akan menarik perhatian untuk diteliti, Ahmad Mustafa Al-Maraghi mengemukakan demikian; rahasia dari perbedaan redaksi pada kedua ayat diatas yakni mendahulukan (penyebutan) rizqi anak-anak dari pada orang tua pada surat al-isra’ yang berarti kebalikan dari surat al-an’am.
2.         Membandingkan ayat yang memiliki kemiripan redaski padahal isinya (kasus dan tujuan) berbeda.
Dalam menerapkan metode muqoron untuk membandingkan ayat dengan ayat yang beredaksi mirip ada 4 langkah yang harus diterapkan oleh mufasir. Pertama, mengidentifikasi dan menghimpun redaksi yang mirip. Kedua, membandingkan redaksi yang mirip. ketiga, menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam redaksi yang mirip. keempat, membandingkan pendapat mufasir tentang ayat yang beredaksi mirip itu.
a)                  mengidentifikasi  ayat ayat yang mirip
Untuk melakukan kategorisasi terhadap redaksi redaksi yang mirip itu didasarkan pada kriteria kriteria berikut:
1.                  Suatu redaksi baru dapat dianggap mirip dengan redaksi  lain jika keduanya membicarakan  satu kasus yang sama dengan memakai susunann kata ,kalimat,dan tata bahasa yang hampir sama.
2.                  Atau dua redaksi yang sama membicarakan dua kasus yang berlainan.
3.                  Atau redaksi yang persis sama diulang satu kali atau lebih, namun pengulangan itu mengandung maksud tertentu yang ada pada redaksi serupa yang terletak sebelumnya.
Dengan menggunakan kriteria dasar yang disebutkan itu, maka ditemukan redaksi yang mirip di dalam Al Quran  terdiri atas tak kurang dari 12 model sebagai berikut:
1)             Penggantian (ibdal)
2)             Berlebih dan berkurang (ziyadat wa nuqshan)
3)             Pengulangan Redaksi (takrar)  .
4)             Perbedaan bentuk Morferm(Ikhtilaf shiyagh al kalimat)
5)             Terdahulu dan terkemudian (Taqdim wa ta’khir)
6)             Perbedaan Ungkapan (khitab)
7)             Perbedaan Ma’rifat dan Nakirat(definite and  indefinite)
8)             Perbedaan idafat dan tidak idhafat
9)             Perbedaan  mudzakar  dan muanats
10)         Perbedaan jabatan kata
11)         Perbedaan Idhghom dan tidak idgham
12)         Perbedaan bertanwin dan tidak bertanwin.
b)                 perbandingan redaksi yang mirip
Langkah kedua dalam metode menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip ialah melakukan perbandingan di antara redaksi-redaksi yang mirip tersebut, dalam langkah kedua ini ,paling tidak ada dua pendekatan yang perlu diakukan oleh mufassir,yaitu pendekatan linguistik (Mufasir harus menggunakan pendekatan linguistik ini karena Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab.) dan pendekatan ilmu qiraat (membahas  tentang perbedaan lafal-lafal wahyu dan penulisan huruf atau cara pengucapannya). Dengan  demikian dapat diketahui  identitas masing-masing redaksi.
c)                  analisis redaksi yang mirip
perbandingan yang telah dilakukan sebelumnya,disini dianalisis dengan lebih mendalam dan detail, pendekatan yang digunakan pada tahap kedua di atas juga dipakai disini dan ditambah aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan redaksi yang dikaji seperti latar belakang turunnya ayat, biograi Rasulullah, kondiis umat ketika ayat turun, dll.
d)                 perbandingan pendapat para  mufasir
Dalam langkah ini yang dilakukan mufasir adalah meninjau berbagai pendapat mufasir berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tersebut. dengan cara mufasir perlu menelaah berbagai kitab tafsir berkenaan dengan penafsiran ayat yang sedang dibahasnya. Dalam menelaah kitab-kitab tafsir itu yang menjadi perhatian adalah pola penafsiran yang diterapakan oleh pengarangnya. Sehingga mufasir muqarin akan memperoleh gambaran yang luas sekali mengenai penafsiran satu ayat.Dengan demikian dia tidak apriori(beranggapan sebelum mengetahui) menerima atau menolak suatu tafsir.[7]
Seperti halnya ketika mufasir menafsirkan ayat-ayat ini:
ö@è% $pkšr'¯»tƒ šcrãÏÿ»x6ø9$# ÇÊÈ   Iw ßç6ôãr& $tB tbrßç7÷ès? ÇËÈ Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ   Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ $¨B ÷Lnt6tã ÇÍÈ   Iwur óOçFRr& tbrßÎ7»tã !$tB ßç6ôãr& ÇÎÈ  
Jika diperbandingkan redaksi ayat ayat Al kafirun itu tampak jelas,ayat ke-2 dan ke-4 ungkapanya berbeda meskipun maksudnya sama ,yakni nabi Muhamad tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang musyrik makkah.kemudian ayat ke-3 dan ke-5 yang membawa redaksi persis sama,tapi jika dibandingkan dengan redaksi  pada ayat 2 dan 4 jelas terlihat perbedaan,baik dari segi pengungkapan maupun kata yang digunakannya. Di penutup ayat ke-4 Allah menggunakan kata kerja lampau ( fi’il Madhi) ”عبد تم” sementara pada kahir ayat 3 dan 5 digunakan kata kerja masa sekarang (fi il Mudhari)”اعبد “.
Sepintas ayat 2 dan 4 tampak berkonotasi, tapi sebenarnya mempunyai konotasi berbeda yang tidak ada pada yang lain. Redaksi لا اعبد ما تعبدون  , yang bermakana:”saya tidak menyembah apa yang sedang kalian sembah”. Pengertian ini diambil dari kata kerja yang dipakai dalam ayat itu , yaitu Fi’il Mudhari’ yang didahului oleh” لا“ yang berarati ‘tidak’(nafy). Sedangakaan  redaksi “ ولا أنا عابد ما عبدتم mengandung makana,”saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah" . Pengertian ini dipahami dari konotasi kata sifat (isim fa’il)” yang berarti “penyembah”. Sebagaimana dikutip dalam Al Karmani,”isim fa’il  menunjukkan pada ketiga masa itu:lampau,sekarang,dan akan datang.” Dengan demikian redaksi ayat 4 itu mempertegas apa yang telah dinyatakan didalam ayat 2 sebelumnya,sehingga dapat dipahami bahwa Nabi Muhamad tidak menjadi penyembah apa yang disembah oleh orang kafir Makkah, baik dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Dengan uaraian itu jelaslah bahwa masing-masing redaksi membawa pesan yang berlainan,dan bahkan redaksi  yang keempat mengandung makna yang lebih luas dari yang dikandung oleh redaksi yang ke-2.
Yang menjadi permasalahan bagi Mufassir  dalam redaksi Al Kafirun adalah perbedaan pemakaian kata kerja. Pada Akhir ayat ke 4 dugunakan kata kerja masa lampau (fi’il Madhi), sementara pada ayat 2,3,dan 5 digunakan kata kerja masa kini (fi’il mudhari),  maka terlihat ada hubungannya dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu ayat itu diturunkan, baik  menyangkut  diri Nabi maupun keadaan orang orang Quraisy yang selalu merongrong dakwah beliau  dan memusuhinya. Kaum Quraisy yang diseru Nabi untuk masuk islam setelah menjadi penyembah berhala jauh sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul. Oleh karena itu, supaya cocok dengan latar belakang yang telah mewarnai masa lampau mereka yang demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali mengguanakn kata kerja masa lalu (Fi’il Madhi):ما عبدتم  . Apabila hal itu diungkapkan dengan menggunakan kata kerja masa sekarang (fi’il Mudhori’) ”ما تعبدون”, maka akan tidak sesuai dengan pengalaman yang mereka alami secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Dalam kaitan ini timbul perbedaan pendapat Al Zamakhsyari, misalnya, menyatakan لا اعبد dalam ayat 2 menunjukkan kepada masa depan karena لا  hanya bisa masuk pada fi’i’ mudhori yang mempunyai makna Istiqbal (akan datang). Sedangkan ما hanya masuk pada fi’il mudhori yang mempunyai makna hal (sekarang). Jadi لا اعبد  menurut pendapat ini berarti ”Saya tidak akan menyembah”,dan ما اعبد Apa yang sedang saya sembah”. Jumhur ulama atau paling tidak para mufasir tidak setuju pendapat ini. Diantara yang paling keras menolak pendapat ini Adalah Abu Hayyan,sebagaiman dikatakannya”Pendapat itu tidak benar ,kecuali dilihat dari sudut kebiasaannya karena ada yang masuk kepada fi’il mudhori’ yang mengandung makna hal حال)) dan ما ada pula yang masuk pada fi’il mudhori yang mengandung makna istiqbal”. Abu Al Su’ud juga berpendapat seperti ini. Disamping itu ada pendapat lain dari Ibn Taymiyat yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir,katanya:”Maksud firmanNya لا اعبد ما تعبدون ialah menafikan perbuatan karena diungkapkan dalam kalimat ولااناعابد ما عبدتم ialah menafikan penerimaan terhadap perbuatan itu secara total , Maka seolah-olah ia menafikan perbuatan itu dan sekaligus tidak menerimanya.
Jika diperbandingkan pendapat para mufasir itu dapat disimpulkan ke dalam dua hal. Mereka yang mengatakan bahwa Nabi telah beribadah sebelum menjadi Rasul adalah dalam pengertian beliau  telah  mempercayai ke Esaan Allah  dan tidak menyekutukanNya. Sebaliknya mereka yang berpendapat bahwa Nabi tidak beribadah kepada Allah sebelum menjadi Rasul adalah dalam pengertian ibadah sebagaimana diajarkannya setelah turunnya wahyu.[8]
3.              Membandingkan ayat Al-qur’an dengan matan hadits yang terkesan bertentangan, namun sebenarya tidak. Seperti:
$pkšr'¯»tƒ ãAqß§9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ  
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia(Maksudnya: tak seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad s.a.w.) Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-maidah; 67)
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى مَنْ قَتَلَهُ نَبِيٌّ وَاشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى مَنْ دَمَّى وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Allah sangat murka terhadap orang yg telah dibunuh Nabi, & Allah sangat murka kepada seseorang yg membuat wajah Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam terluka. (HR. Bukhari)[9]
 Cuplikan ayat والله يعصمك من الناس  mengisyarakatkan bahwa Allah SWT akan selalu melindungi atau memelihara keselamatan diri dan jiwa nabi Muhammad SAW. Namun dalam suatu matan hadits disebutkan bahwa nabi pernah dilukai (kena luka) saat perang uhud, dan disini timbulah kejanggalan tersebut. Dalam masalah kontroversi ini , al-zarkasyi menawarkan dua macam alternativ. pertama, peristiwa perang uhud terjadi ketika ayat ini belum diturunkan, karna ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriah, padahal ayat ini dikenal dengan kelompok surah madaniyah yang mana diturunkan pada saat ahir-ahir nabi menerima wahyu. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa jaminan Allah atas nabi berlaku setelah turunya ayat ini. Kedua, menurut al-zarkasyi yang dimaksud dengan ishmat disini adalah terjaminya keselamatan jiwa nabi Muhammad SAW dari kemungkinan pembunuhan yang dilakukan oleh musuh-musuh nabi, bukan keselamatan jasmani (pelukaan, karna kenyataanya nabi tidak wafat pada perang uhud).
Jika mufassir hendak menggunakan metode muqoron seperti ketentuan diatas, maka mula-mula ia harus mengumpulkan ayta al-qur’an dan matan hadits (shohih) yang kelihatanya mempunyai perbedaan makna, kemudian adakan perbandingan, dan kesimpulan.
4.              Membandingkan antara penafsiran ulama’ /aliran tafsir yang satu dengan yang lainya.
Sebagai ilustrasi dalam masalah ini seperti halnya tentang syafa’at nabi Muhamad yang menjadi perdebatan, pada golongan ahli sunnah dan mu’tazilah. Menurut penjelasan yang diberikan thantawi jawhari, dalam kitab tafsirnya al-jawahir fi al-tafsir al-qur’an al-karim, semua umat islam (ahli sunnah dan mu’tazilah) telah sepakat bahwa kelak diahirat akan ada yang namanya syafa’at untuk orang islam, bukan orang kafir. Namun dibalik itu mereka berselisih tentang tujuan diberikanya syafaat itu jika dihubungkan dengan orang islam yang mempunyai dosa besar.
Menurut penafsiran kaum ahli sunnah sayafa’at itu bisa diberikan meskipun kepada orang islam yang banyak dosanya, karna dengan diberi syafa’at maka dosanya akan tertutup. Berbeda dengan kaum mu’tazilah yang menganggap bahwa orang islam yang banyak dosanya tidak berhak  mendapatkan syafa’at.
Dalam kedua pernyataan diatas jawhari mengemukakan pendapatnya setelah mendapatkan bentuk muqoronah (perbandingan) pada keduanya, menurutnya hubungan antar nabi Muhammad dengan syafa’at sendiri adalah sebagaimana hubungan matahari dengan sinarnya. Sebgaimana matahari memencarkan sinarnya keseluruh penjuru dunia, nabi Muhamad pun akan memberikan syafaatnya kepada seluruh umatnya, namun kita bisa pahami bahwa sinar  matahari tidak semuanya sama di setiap belahan bumi, hal itu tergatung dengan posis tempat pada bumi, begitupun dengan manusia yang tidak akan sama menerima syafatnya, tergantung  amal ibadahnya. 
Jika mufassir hendak menggunakan metode muqoron seperti ketentuan diatas, maka mula-mula ia harus menrauh perhatian kepada ayat-ayat Al-qur’an yang ada hubunganya, kemudian lilahtlah bagaiama pendapat beberapa ulama tafsir tentang permasalahan teresebut, kemudian lihat persamaan, perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari tafsir-tafsir tersebut, dengan begitu akan mengkompromikan berbagai penafsiran yang ada, atau memperkokoh satu tafsiran saja, atau bahkan menolak, dan memberikan argumen pendapatnya sendiri.[10]
D.                     Kelebihan dan Kelemahan Metode Tafsir Muqoron
Diantara kelebihan metode tafsir muqaran dari metode lainnya adalah:
1.      Memberikan wawasan relatif lebih luas.
2.      Membuka pintu untuk bersikap toleransi.
3.      Mengungkapkan ke-i’jaz-an dan keotentikan Al-Quran.
4.      Membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Quran sebenarnya tidak ada kontradiktif. demikian juga antara Al-Quran dan hadis Nabi.
5.      Dapat mengungkapkan orisinalitas dan objektifitas mufassir.
6.      Dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan di kalangan mufassir atau perbedaan pendapat di antara kelompok umat Islam, yang di dalamnya termasuk masing-masing mufassir.
7.      Dapat menjadi sarana pendekatan (taqrib)  di antara berbagai aliran tafsir dan dapat juga mengungkapkan kekeliruan mufassir sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati kebenaran.[11]
Diantara kelemahan metode  tafsir muqaran adalah :
1.      Tidak bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat Al-qur’an, karena metode ini khusus membahas (membandingkan) ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai tafsiran berbeda (dari mufassir).[12]
2.      Penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak dapat diberikan kepada pemula, seperti mereka yang belajar tingkat menengah ke bawah. Hal ini disebabkan pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang terlalu ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bias merusak pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.
3.      Metode tafsir muqaran tidak dapat diandalkan untuk menjawab problem-problem sosial yang sedang tumbuh di tengah massyarakat. Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
4.      Metode tafsir muqaran terkesan lebih banyak menelusuri tafsiran-tafsiran baru. Sebetulnya kesan serupa tidak akan timbul jika mufassir kreatif, artinya penafsiran tidak hanya sekadar mengutip tetapi juga dapat mengaitkan dengan kondisi yang dihadapinya, sehingga menghasilkan sintesis baru yang belum ada sebelumnya.[13]
5.      ruang gerak mufasir dalam menggunakn ra’yinya  untuk menafsirkan ayat Al quran dengan metode ini  terbatas, Karena  sebagian besar kegiatan penafsirannya dipengaruhi  oleh produk penafsiran dari ulama’- ulama’ tafsir yang lain. [14]













IV.       Kesimpulan
Metode muqoron adalah  salah sati bentuk tafsir Al-Qur’an yang mana memiliki pengertian bahwa membandingkan ayat yang mempunyai makna yang sama namun dengan redaksi berbeda, atau membandingkan ayat yang berbeda namub redaksi hampir sama (mirip).  Dan salah sati ciri dari metode ini adalah adanya sebuah bentuk pemaparan tentang pendapat-pendapat mufasir mengenai suatu ayat dan maknanya. Bentuk penafsiran dari metode muqoron (sejauh yang diketahui pemakalah dari buku-buku bacaan) itu ada empat macam, pertama, Membandingkann ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki redaksi berbeda tapi maksudnya sama, atau ayat-ayat yang menggunakan redaksi mirip padahal maksudnya berlainan. kedua, Membandingkan ayat yang memiliki kemiripan redaski padahal isinya (kasus dan tujuan) berbeda. ketiga, Membandingkan ayat Al-qur’an dengan matan hadits yang terkesan bertentangan, namun sebenarya tidak. keempat Membandingkan antara penafsiran ulama’ /aliran tafsir yang satu dengan yang lainya. Dan terahir diantara kelebihan dan kelemahan dari metode muqoron salah satunya adalah, kelebihanya; dapat memberi wawasan yang luas, karena dengan menguak pendapat-pendapat mufassir akan memberikan pelajaran juga wawasan tentang sebuah ayat dengan beragam argumen didalamnya. Dan diantara kelemahanya adalah;metode ini tidak dapat digunakan untuk menafsirkan seluruh ayat Alqur’an, karena tidak semua ayat Alqur’an memiliki kriteria untuk di tafsirkan dengan metode muqoron.

V.                     Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamiin.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, Abd, Al-Hayy. 1996. Metode Tafsir Maudhu’iy (Suatu Pengantar). Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. Cet 2.
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Suma, Muhamad Amin. 2001. Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus. Cet 1.
www.mutiarahadits.com. Di akses pada tanggal 19 oktober 2013, pukul 11:14 wib.
www.gudangmakalah.com. Di akses pada tanggal 19 oktober 2013, pukul 11:18 wib.



[1] Abd, Al-Hayy Al-Farmawi. Metode Tafsir Maudhu’iy (Suatu Pengantar). Jakarta; PT Raja Grafindo Persada; 1996. Cet 2. Hlm 11.
[2] Muhamad Amin Suma. Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Cet 1. Hlm 109
[3] Muhamad Amin Suma. Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Cet 1. Hlm 116.
[4] Abd, Al-Hayy Al-Farmawi. Metode Tafsir Maudhu’iy (Suatu Pengantar). Jakarta; PT Raja Grafindo Persada; 1996. Cet 2. Hlm 30.
[5] Nashruddin Baidan. metode penafsiran al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar. 2002. Hlm 63.
[6] Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar. 2002. Hlm 60 .
[7] Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar. 2002.  Hlm 76.
 [8] Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar. 2002.  Hlm 219.
[9] www.mutiarahadits.com. Di akses pada tanggal 19 oktober 2013, pukul 11:14 wib.
[10] Muhamad Amin Suma. Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Cet 1. Hlm 115-126.
[11] www.gudangmakalah.com. Di akses pada tanggal 19 oktober 2013, pukul 11:18 wib
[12] Muhamad Amin Suma. Study Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta; Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Cet 1. Hlm 127.
 [13]  www.gudangmakalah.com. Di akses pada tanggal 19 oktober 2013, pukul 11:18 wib
[14] Nashruddin Baidan. Metode penafsiran Al quran. Yogyakarta:pustaka pelajar. 2002. Hlm 66

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE