KONFIGURASI POLITIK PERIODE LIBERAL; dan UMAT ISLAM
KONFIGURASI POLITIK PERIODE LIBERAL; dan UMAT ISLAM
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Politik hukum Islam di
Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr.
Ahmad rofiq, MA.
Disusun
oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Konfigurasi Politik Periode Liberal; dan Umat Islam
I.
Pendahuluan
Didalam
sebuah negara, politik adalah hal yang sangat sering menjadi sorotan dan
dihubungkan dengan hal-hal yang ada dalam susunan pemerintahan negara. Dan
pemeluk agama (mayoritas) yang ada didalam sebuah negara akan mempengaruhi
sistem-sistem politik dalam susunan pemerintahanya. Seperti Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama islam, secara tidak langsung peraturan (hukum)
islam telah mempengaruhi aspek-aspek politik di dalam tatanan negara. Politik
periode liberal yang pernah berlangsung di Indosenia telah memberikan gambaran
sejarah yang nyata tentang bagaimana Indonesia mulai bangkit dari penjajahan
dan menuju era liberal.
Hubungan
politik antara islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan
sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan
yang tidak harmonis ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan pada
pendiri republik negri ini yang sebagian besarnya adalah masyarakat muslim.
Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat diatas addalah apakah
negara ini bercorak “islam” atau “nasionalis”.[1]
Dalam
tulisan kali ini pemakalah akan mencoba untuk memaparkan konfigurasi politik
pada masa periode liberal, dan bagaimana pengaruh (pemeluk agama) islam yang
merupakan agama mayoritas di dalam negeri turut andil dalam kancah politik yang
akan mempengaruhi keputusan-keputusan tentang nasib negara.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.
Konfigurasi politik
periode liberal !
B.
Peranan umat islam
dalam memengaruhi politik pada periode liberal !
III.
Pembahasan
A.
Konfigurasi politik
periode liberal
Setelah
jepang dikalahkan oleh tentara sekutu dalam perang pasifik, indonesia
memproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu,
tepatnya bulan April 1945, pemerintah pendudukan jepang telah membentuk suatu
panitia yang diberi nama dokuritzu zunbi tjoosakai (badan penyekidik
usaha-usaha persiapan kemerdekaan indonesia/BPUPKI), dengan tugas menyiapkan
rancangan UUD. Kemudian setelah badan tersebut menyelesaikan tugasnya ,
pemerintah segera membentuk panitia baru, yaitu dokiritzu zunbai inkai
(badan persiapan kemerdekaan indonesia/PPKI).[2] Sehari
setelah mengumunkan kemerdekaan, PPKI menetapkan UUD dan mengangkat soekarno
dan hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Pada era kepemimpinan Soekarno
dan Hatta ini terdapat berbagi konfigurasi politik yang secara tidak langsung
telah ikut andil dalam pengukuhan terbukanya gerbang kemerdekaan yang
sesungguhnya.
Masa-masa
pasca kemerdekaan merupakan masa-masa yang paling indah bagi demokrasi
indonesia. Karena pada masa itu semua institusi demokrasi dapat memainkan
fungsinya secara maksimal.[3]
Hal ini di tindak lanjuti dengan adanya konsep-konsep politik menuju era
kebebasan bangsa indonesia. Seperti halnya;
1.
Panitia undang-undang
dasar
Pada
tanggal 7 september 1944 pemerintah (jepang) mengumumkan janji untuk memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian dibentuklah panitia persiapan
kemerdekaan (BPUPKI). Pada sidang pertamanya hal yang dibahas adalah tentang
dasar negara, dan didalamnya terpecah menjadi dua forum, yaitu; ‘golongan
nasionalis sekuler’ dan ‘golongan nasionalis islam’. Dalam
perdebatan tersebut, kedua belah pihak tidak dapat mencapai kata sepakat,
masing-masing berusaha mempertahankan pendirianya, Dan karena perdebatan yang
tak kunjung usai, maka sidang ini diahiri dengan pembentukan panitia sembilan
yang tugasnya mencari kesepakatan tengang dasar negara. Panitia sembilan ini
berhasil mencapai kompromi tanggal 22
juni 1945 dengan menyetujui sebuah naskah mukaddimah UUD yang dikenal
sebagai ‘piagam jakarta’.
2.
Pengesahan pembukaan
dan batang tubuh UUD
Ketika
jepang terpaksa mneyerah kepada sekutu pada tanggal 15 agustus 1945, maka
jepang tidak dapat meneruskan usahanya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia,
dan kejadian itu memberikan konsekuensi kepada Indonesia untuk menyiapkan
segala sesuatu tersendiri menuju kemerdekaan. Kemudian tanggal 17 Agustus 1945 indonesia menyatakan kemerdekaanya atas nama Soekarno
Hatta.
Untuk
melengkapi kemerdekaan kemudian disahkanlah ‘pembukaan dan dan batang tubuh
UUD’ dan sejak saat itulah ditetapkan berlakunya UUD 1945 untuk negara
Republik Indonesia.[4]
3.
Sistem pemerintahan
Sistem
pemerintahan yang dianut negara indonesia kemudian menjadi perdebatan, apakah
presidentil atau parlementer, hal ini terjadi karena muatan UUD memuat unsur
parlementer maupun presidentil. Jikia dilihat ketentuan pasal 4 ayat 1 dan
pasal 17, maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil[5].
Namun jika dilihat dari ketentuan pasal 6, bahwa presiden dipilih oleh majlis
permusyawaratan rakyat (MPR), dan penjelasan UUD 45 tentang sistem pemerintahan
negara, bahwa presiden bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib
menjalankan putusan-putusan MPR, Maka, dapat dikatakan bahwa UUD menganut
sistem pemerintahan parlementer. Sebab MPR merupakan penjelamaan seluruh rakyat
secara tidak langsung. Kulaifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan
ini, adalagh sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidensil. Artinya
sistem presiden tidak murni atau parlementer semu.
Terlepas
dari hal tersebut, jika dilihat dari sudut pandang konstitusional, konfigurasi
yang ada di Indonesia adalah demokratis. Apapun kualifikasi sistem pemerintahan
yang akan diberikan, (apakah presidensil maupun parlementer) asas yang
dijadikan tetaplah demokrasi.
Ternyata,
konfigurasi demokratis yang dianut UUD 45 tidak bisa dipenuhi pada awal-awal
proklamasi kemerdekaan, karena pada waktu itu belum dibentuk lembaga-lembag
negara. Oleh karena itu semua kekuasaan dilimpahkan kepada presiden. Kemudian
terdapat anggapan-anggapan dari masyarakat bahwa hal itu menimbulkan kesan
bahwa presiden dianggap diktator. Dan untuk melawan anggapan-anggapan tersebut,
maka pilihanya adalah dengan menggunakan sistem pemerintahan yang memang
benar-benar parlementer.
Perubahan
sistem pemerintahan yang sangat fundamental ini tidak dilakukan dengan
perubahan UUD, melainkan dengan maklumat pemerintah, artinya terjadi lagi
praktek ketatanegaraan. Jika menurut UUD 45 presiden bertanggung jawab kepada
MPR dan berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus,
maka dengan dikeluarkanya maklumat ini, presiden kehilangan kedudukanya sebagai
kepala pemerintahan. Sebab dalam parlementer, pemerintahan dilakukan dengan
sistem kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana mentri yang bertanggung jawab
kepada parlemen. Presiden hanya sebagai kepala negara atau presiden
konstitusional.
Perubahan
dari sistem presidensil (tidak murni) ke
parlementer ini diikuti dengan semakin bergesernya konfigurasi politik kearah yang
lebih pluralistik atau liberal. Tidaklah mengherankan jika keberhasilan
memperjuangkan sistem parlementer (sesungguhnya) diikuti dengan munculnya
partai-partai yang beroprasi dibawah konsep “liberalisme”.
4.
Republik indonesia
serikat
Belum
berumur setahun setelah kemerdekaan indonesia, belanda datang kembali ke
indonesia untuk melanjutkan kolonialismenya, maka dipilihlah taktik pecah belah
yaitu usaha menjadikan indonesia sebagai negara republik indonesia serikat.
Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan
republik indonesia tanggal 27 desember 1949 itu menganut bentuk republik
federasi, dengan sistem pemerintahanya parlementer. Konstitusi RIS yang
diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan republik indonesia
tanggal 27 Desember 1949 itu menganut bentuk republik federasi.[6]
5.
Di bawah UUDS 1950
Bentuk negara
serikat ternyata tidak berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat indonesia yang menginginkan adanya kesatuan negara.
Menindaklanjuti hal tersebut dibentuklah panitia yang bertugas membuat
rancangan UUDS, yang mana menganut sistem pemerintahan parlementer, dan
dianggap bahwa sejak pemberlakuanya, dimulailah era demokrasi liberal. Pada
masa ini bangsa indonesia kembali ke negara persatuan republik indonesia, dan
dengan demikian pula, tersusunlah kabinet pemerintahan negara kesatuan, dengan
tetap menjalankan sistem parlementernya dengan bentuk demokrasi liberal, dan juga
partai politik semakin berperan dalam menciptakan tatanan demokrasi yang
liberal ini.[7]
Kabinet pertama
yang dibentuk adalah kabinet Moh, Natsir. Yang mulai berdiri tanggal 6
september 1950, yang berkoalisi dengan berbagai partai, seperti; Masyumi, PSI, PIR,
PSII, Parindra, Parkindo, Partai Katholik, Partai Demokrat. Namun kabinet ini hanya berumur 7 bulan.
Kemudian tersusunlah kabinet baru yaitu kabinet Sukiman, yang mulai
mengajak koalisi PNI, dan juga partai
lainya yang masih sama dengan kabinet sebelumnya. Kabinet berikutnya adalah kabinet
Wilopo dari PNI, yang berkoalisi dengan Masyumi, dan kabinet ini juga
berahir. Kemudian digantikan oleh kabinet Ali Satroamidjojo, kabinet ini
bertahan 2 tahun, kemudian digantikan oleh kabinet Baharudin Harahap,
kabinet ini dikenal dengan penyelenggara pemilihan umum pertama yang dikenal
sangat demokratis dan bersih untuk memilih anggota DPR dan konstituante. Dan
lagi-lagi kabinet ini juga runtuh, kemudian digantikan oleh kabinet Ali
Sastroamidjojo Kedua, kabinet ini dibentuk dengan koalisi antara
partai-partai PNI, Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, Parkindo, Perti dan
Ipki. indonesia mengalami gonta-ganti kabinet, dengan salah satu alasanya
adalah adanya mosi tidak percaya. Kabinet ini merupakan kabinet terahir yang
diramaikan oleh koalisi partai-partai politik. Kabinet ini berahir karena
dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang berarti kembali ketatanan
sistem pemerintahan presidensil. dan berahir pula kabinet parlementer liberal.[8]
Dari
tujuh kabinet yang berjalan dibawah sistem demokrasi konstiusional, tiga
kabinet diercayakan kepemimpinanya kepada Masyumi. kemudian dalam pemilihan
umum pertama menunjukkan kelompok islam (terdiri dari masyumi, NU, PSII, dan
Perti) menguasai 114 dari 257 (43,5%) kursi dalam parlemen, dan hal itu
memberikan pengaruh kepada jumlah wakil kelompok islam dalam parlemen.[9]
karena memang sifatnya
yang sementara, maka kemudian konstituante ini dibubarkan dengan dikeluarkanya
dekrit presiden 5 juli 1959. Demokrasi liberal telah menyebabkan tidak
stabilnya politik dan pemerintahan di Indonesia pada kurun waktu 1945-1959, dan
gagalnya sistem demokrasi liberal ini disebabkan karena di Indonesia tidak ada
faktor-faktor esensial yang dibubuhkan dalam kehidupan politik yang
memungkinkan bekerjanya suatu sistem parlementer.[10]
Sejarah mencatat
bahwa soekarno sangat kecewa denga perilaku partai-partai politik pada masa
pasca kemrdekaan. Pada oktober 1956 misalnya, soekarno mendesak partai-partai
politik untuk menguburkan demokrasi liberalnya. Kemudian untuk keluar dari
kemelut ketidakstabilan politik, pada pertengahan 1950-an soekarno kemudian
muncul dengan konsepsi yang dikemukakan pada Februari 1957 yang mengajukan usul
agar kabinet melibatkan semua partai besar, termasuk PKI, namun hal itu
ditentang keras oleh kalangan Masyumi, partai sosialis indonesia (PSI), DAN NU,
tapi mendapat dukungan kuat dari PNI dan PKI. dan soekarno juga mengusulkan
agar dibentuk dewan nasional, semacam dewan penasehat, yang terdiri dari
seluruh lapisan masyarakat.[11]
Dalam majelis
konstituante, sejak berahirnya pemilu 1955, kalangan islamis melahirkan
tantangan lain, bagi negara bermodel pancasila ini, karena tidak ada satu pihak
pun yang mendapatkan 2/3 suara untuk pengesahan, soekarno ahirnya membubarkan
konstituante dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959. Terdapat pihak
yang berpendapat bahwa soekarno memiliki motif pribadi, apalagi posisinya
sebagai presiden, dengan jaminan UUD untuk melakukan apa saja, karena dalam UUD
45 menyiratkan akan ketidakterbatasan kekuasaan presiden.[12]
Masa demokrasi
parlementer dipandang sebagai masa kejayaan indonesia. Dalam masa-masa ini
bangsa Indonesia dapat mengatur dirinya,
kesempatan dan suasana dialog semakin terbuka dalam kehidupan politik.
Partai politik berkesempatan luas dan berpeluang besar untuk berkembang, dan
pemilihan umum yang dilaksanakan pada 1955 benar-benar sesuai dengan prinsip
demokrasi. Namun terlepas dari hal tersebut, demokrasi parlementer juga
memiliki beberapa kegagalan, yaitu; politik aliran yang turut dipengaruhi
berbagai sisi, diantranya terdiri dari agama, etnisitas, kedaerahan, dan
lainya, mendominasi percaturan perpolitikan indonesia, sehingga membawa
konsekuensi logis terhadap pengelolaan konflik. Kemudian basis sosial ekonomi
masyarakat yang sangat lemah, dan adanya persamaan antara presiden soekarno
dengan kalangan militer, khusunya angkatan darat yang tidak senang dengan
politik yang sedang berjalan, dan hal itu dianggap telah terjadi kongkalikong
tersendiri dibelakang rakyat.[13]
B.
Peranan umat islam
dalam mempengaruhi politik pada periode
liberal
Sejak
masa kemerdekaan, islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas rakyat indonesia,
seringkali bersentuhan dengan wilayah politik, kekuasaan, pemerintahan, dan
negara. Islam sebagai “rumah nilai” yang dikerumuni basis massa yang
sangat besar, tentu saja punya kekuatan yang amat berpengaruh dalam sejarah
indonesia. Yang mana hal ini dapat dilihat pada saat masa penjajahan, Islam
pernah menjadi kekuatan (politik) yang radikal dalam rangka mengusir penjajah
dari tanah air. Dan juga pada masa pemerintahan soekarno, islam menjadi
kekuatan ideologis yang patut diperhitungkan, disamping nasionalisme,
sosiolisme, dan komunisme.[14]
Dalam
realitas politik, indonesia secara konstitusional adalah bukan negara islam,
melainkan negara pancasila. Sehingga secara formal kelembagaan tidak
memungkinkan bagi umat islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip islam
tentang hukum, terutama dalam bentuknya yang resmi pula. Negara pancasila
adalah negara “Religious Nation State” yakni negara kebangsaan yang
bukan negara agama (berdaasarkan agama tertentu), dan juga bukan negara sekuler
(negara yang tidak mengurusi agama sama sekali). Negara pancasila membina dan
mengakui agama-agama yang dianut oleh rakyatnya sepanjang berkeadaban dan adil.
Sebagian
dari pemimpin (umat islam) pada tahun 1945 dan tahun 1950-an, di BPUPKI, PPKI,
dan konstituante telah mencoba untuk memperjuangkan melalui jalan resmi untuk
menjadikan islam sebagai dasar negara yang ketika itu diharapkan dapat menuntun
pembuatan dan pemberlakuan hukum-hukum islam bagi umat islam. Tetapi, keputusan
final tentang dasar dan konstitusi negara yang ditetapkan ternyata tidak dapat
menerima gagasan tentang negara islam, atau kewajiban secara total hukum islam
bagi orang-orang islam. Para pendiri dan pembuat keputusan tentang dasar
negara, telah menetapkan negri ini sebagai negara kesatuan dan kebangsaan
dengan pancasila sebagai dasarnya.[15]
Pertempuran
ideologis antara kelompok islam dan kelompok nasionalis baru berlangsung secara
penuh dalam pertemuan-pertemuan sidang BPUPKI. Kedua kelompok tersebut sangat
kuat dengan ideologi masing-masing tentang dasar negara. Kemudian soekarno
mnegusulkan lima prinsip pokok, yang belakangan dikenal dengan nama pancasila,
untuk diterima sebagai ‘Philosophische Grondslag (landasan filosofis)
negara. Dalam pemahaman soekarno, pandagan dunia ideologis itu mencakup
prinsi-prinsip seperti; ketuhanan, kesejahteraan sosial, demokrasi, keadilan
dan kebangsaan. Kemudian untuk menjembatani berbagai perbedaan diantara
kelompok islam, dan kelompok nasionalis, sebuah panitia kecil kemudian
dibentuk, yang tugasnya adalah menyusun kesepakatan bersama, yang di kenal
dengan piagam jakarta.
Perdebatan-perdebatan
diatas baru mereda, ketika soekarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia
berkorban demi kesatuan bangsa. BPUPKI bersepakat bahwa masa depan Indonesia
didasarkan pada sila “percaya kepada tuhan dengan kewajiban menjalankan
syari’at islam bagi pemeluknya”. Namun kemudian beredar kabar bahwa
orang-orang non muslim (yang sebagian besarnya berdomisili dibagian timur)
tidak akan bergabung dengan republik indonesia kecuali jika beberapa unsur dari
piagam jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya,
islam sebagai agama negara, dan seorang presiden haruslah seorang yang beragam
islam) dihapuskan. Karena mereka berganggapan bahwa hal-hal tersebut akan
menimbulkan bentuk diskriminatif. Dan kemudian kelompok islam bersepakat agar
hal-hal tersebut dihapuskan. Sementara itu sebagai gantinya, unsur teologi
monoteistik dimasukkan kedalam sila pertama, yaitu “ketuhanan yang maha Esa”.[16]
Pancasila
sendiri jika di ibaratkan adalah bagaikan cek kosong yang bisa diisi dan
ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan pandangan dan kepentinganya.
Tergantung dari pihak mana yang menafsirkanya. Soekarno misalnya, menyatakan
bahwa, ‘memeras pancasila (menafsirkanya/menjabarkanya denga bentuk UUD, atau
pearturan lainya) akan menjadi Ekasila (ketentuan pengikat). Karena, Sebuah
hasil penelitian tentang politik hukum menemukan kesimpulan bahwa produk hukum
itu sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada dibelakangnya. Jadi,
konfigurasi politik adalah hal yang sangat menentukan bagaimana suatu aturan
diberlakukan dalam sebuah negara.[17]
Seperti
pemikiran Natsir[18]
salah seorang pemimpin kabinet pada pemberlakuan UUDS yang menafsirkan bahwa
pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita
laknsanakan dalam negara. Hal ini dapat dilihat pada sila pertama, yaitu
kletuhanan yang maha Esa, yang menegaskan bahwa seorang manusia tidak akan
dapat memulai kehidupanya menuju kebajikan dan keutamaan, sebelum dia dapat
menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada tuuhan yang maha Esa.[19]
Meskipun
tidak tanpa benturan di berbagai hal, kedua kelompok nasionalis dan islamis,
mampu mengembangkan hubungan politik yang harmonis diantara mereka. Seperti
yang dapat kita lihat pada tahun 1950-an, Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan
jumlah keseluruhan naggota 236 orang, Masyumi[20] merupakan
salah satu partai yang di minta untuk membentuk dan memimpin kabinet pada masa
pemberlakuan UUDS. Dalam anggaran dasar masyumi dinyatakan bahwa partai ini
bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat indonesia dan agama islam, dan
melaksanakan cita-cita islam dalam urusan kenegaraan, serta memperkuat dan
menyempurnakan UUD RI. Meskipun demikian apa yang dicita-citakan partai islam
tersebut, namun dalam kenyataanya negara kita bukan negara islam, tapi negara
dengan mayoritas penduduk islam.[21]
IV.
Kesimpulan
Masa-masa
pasca kemerdekaan merupakan masa-masa yang paling indah bagi demokrasi indonesia,
namun belum ada struktur negara,. Hal ini di tindak lanjuti dengan adanya
konsep-konsep politik menuju era kebebasan bangsa indonesia. Seperti halnya;
(1) Panitia undang-undang dasar, dibentuklah panitia persiapan kemerdekaan
(BPUPKI). Pada sidang pertamanya hal yang dibahas adalah tentang dasar Negara,
(2) Pengesahan pembukaan dan batang tubuh UUD, Untuk melengkapi kemerdekaan
kemudian disahkanlah ‘pembukaan dan dan batang tubuh, (3) Sistem
pemerintahan, Sistem pemerintahan yang dianut negara indonesia kemudian menjadi
perdebatan, apakah presidentil atau parlementer, hal ini terjadi karena muatan
UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. (4). Republik indonesia
serikat. Belum berumur setahun setelah kemerdekaan indonesia, maka dipilihlah
taktik pecah belah yaitu usaha menjadikan indonesia sebagai negara republik
indonesia serikat. (5) Di bawah UUDS 1950 Bentuk negara serikat ternyata tidak
berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat
indonesia yang menginginkan adanya kesatuan negara. Menindaklanjuti hal
tersebut dibentuklah panitia yang bertugas membuat rancangan UUDS, yang mana
menganut sistem pemerintahan parlementer, kemudian tersusunlah kabinet
pemerintahan negara kesatuan. Kabinet
pertama yang dibentuk adalah kabinet Moh, Natsir. kabinet Sukiman,
kabinet Wilopo kabinet Ali Satroamidjojo, kabinet Baharudin
Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, Kabinet ini merupakan
kabinet terahir yang diramaikan oleh koalisi partai-partai politik. Kabinet ini
berahir karena dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang berarti kembali
ketatanan sistem pemerintahan presidensil. dan berahir pula kabinet parlementer
liberal.
Sejak
masa kemerdekaan, islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas rakyat indonesia,
seringkali bersentuhan dengan wilayah politik, kekuasaan, pemerintahan, dan negara.
Islam sebagai “rumah nilai” yang dikerumuni basis massa yang sangat
besar, tentu saja punya kekuatan yang amat berpengaruh
dalam sejarah indonesia. Dan juga pada masa pemerintahan
soekarno, islam menjadi kekuatan ideologis yang patut diperhitungkan, disamping
nasionalisme, sosiolisme, dan komunisme . Sebagian
dari pemimpin (umat islam) pada tahun 1945 dan tahun 1950-an, di BPUPKI, PPKI,
dan konstituante telah mencoba untuk memperjuangkan melalui jalan resmi untuk
menjadikan islam sebagai dasar negara yang ketika itu diharapkan dapat menuntun
pembuatan dan pemberlakuan hukum-hukum islam bagi umat islam. Tetapi, keputusan
final tentang dasar dan konstitusi negara yang ditetapkan ternyata tidak dapat
menerima gagasan tentang negara islam, Meskipun demikian apa yang
dicita-citakan partai islam tersebut, namun dalam kenyataanya negara kita bukan
negara islam, tapi negara dengan mayoritas penduduk islam.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
An Na’im,
Abdullahi Ahmed. 2007. Islam Dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa Depan
Syari’ah. Penj; Sri Murniati. Bandung; Mizan Pustaka. Cet 1.
Aziziy, A Qodri A. Dkk. 2004. Jejak-Jekaj Islam Politik; Sinopsis
Sejumlah Studi Islam Di Indonesia. Ed: Marzuki Wahid. Jakarta; Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjenkelembagaan Agama Islam, Departemen Agama
RI.
Effendy,
Bahtiar. 1998. Islam Dan Negara (Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik
Islam Di Indonesia). Jakarta; Paramadina. Cet 1.
Gaffar, Afan 1999. Politik Indonesia
(Transisi Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Cet 1.
Iqbal, Muhamad
Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik
Hinggga Indonesia Kontemporer. Jakarta; Kencana. Ed 1. Cet 1.
Mahfud, Moh
Md. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; Lp3es. Cet 1.
Mahfud, Moh Md. 2012. Membangun Politik
Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta; Rajawali Pers. Ed 1-3.
Syadzali, Munawir. 1990. Islam Dan Tata
Negara. Jakrta; UI Press. Cet 2.
Thoha, Miftah.
2003. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo
Persada. Cet 2.
Thaha, Idris.
2005. Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholis Madjid Dan M Amien
Rais. Jakarta; Teraju. Cet 1.
[1] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara
(Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia). Jakarta;
Paramadina. 1998. Cet 1. Hlm 60.
[2] Moh mahfud md. Politik hukum di indonesia.
Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1. hlm 28.
[3] Afan Gaffar. Politik Indonesia (Transisi
Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1999. Cet 1. Hlm 60.
[4] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia.
Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1. Hlm 30-37.
[5] Hal ini dapat dilihat bahwa presiden menjadi
kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kemudian, mentri
diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan DPR.
[6] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia.
Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1. Hlm 40.
[8] Miftah Thoha. Birokrasi Dan Politik Di
Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2003. Cet 2. Hlm 124-130.
[9] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara
(Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia). Jakarta;
Paramadina. 1998. Cet 1. Hlm 86-94.
[10] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia.
Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1. Hlm 44.
[11] Afan Gaffar. Politik Indonesia (Transisi
Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1999. Cet 1. Hlm 62.
[12] Abdullahi Ahmed An Na’im. Islam Dan Negara
Sekuler; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah. Penj; Sri Murniati. Bandung;
Mizan Pustaka. 2007. Cet 1. Hlm 397.
[13] Idris Thaha. Demokrasi Religius; Pemikiran
Politik Nurcholis Madjid Dan M Amien Rais. Jakarta; Teraju. 2005. Cet 1.
Hlm 168.
[14] A Qodri A. Aziziy. Dkk. Jejak-Jekaj Islam
Politik; Sinopsis Sejumlah Studi Islam Di Indonesia. Ed: Marzuki Wahid. Jakarta;
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjenkelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama RI. 2004. Hlm 247.
[15] Moh Mahfud Md. Membangun Politik Hukum,
Mnegakan Konstitusi. Jakarta; Rajawali Pers. 2012. Ed 1-3. Hlm 281-283.
[17] Muhamad Iqbal, Amin Husein Nasution. Pemikiran
Politik Islam; Dari Masa Klasik Hinggga Indonesia Kontemporer. Jakarta; Kencana.
2010. Ed 1. Cet 1. Hlm 263-264
[18] Salah satu dari orang dengan ideologinya yang islamis, yang turut
memperjuangkan islam sebagai bagian dari negara, dan turut dalam perpolitikan
negara.
[19] Munawir Syadzali. Islam Dan Tata Negara.
Jakrta; UI Press. 1990. Cet 2. Hlm 191.
[20] Masyumi merupakan wakil politik satu-satunya
kelompok islam, baik dari kelompok islam modernis (muhamadiyah) atau ortodoks
(NU) pada masa itu, yang dibentuk pada november 1945.
[21] Munawir Syadzali. Islam Dan Tata Negara.
Jakrta; UI Press. 1990. Cet 2. Hlm 190.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusiki leh cah AS A6 :D
BalasHapus