KONFIGURASI POLITIK PERIODE LIBERAL; dan UMAT ISLAM



KONFIGURASI POLITIK PERIODE LIBERAL; dan UMAT ISLAM

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Politik hukum Islam di Indonesia

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ahmad rofiq, MA.





http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
  

Disusun oleh:
 Nihayatul  Ifadhloh               (122111103)


HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Konfigurasi Politik Periode Liberal; dan Umat Islam

I.                   Pendahuluan
Didalam sebuah negara, politik adalah hal yang sangat sering menjadi sorotan dan dihubungkan dengan hal-hal yang ada dalam susunan pemerintahan negara. Dan pemeluk agama (mayoritas) yang ada didalam sebuah negara akan mempengaruhi sistem-sistem politik dalam susunan pemerintahanya. Seperti Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama islam, secara tidak langsung peraturan (hukum) islam telah mempengaruhi aspek-aspek politik di dalam tatanan negara. Politik periode liberal yang pernah berlangsung di Indosenia telah memberikan gambaran sejarah yang nyata tentang bagaimana Indonesia mulai bangkit dari penjajahan dan menuju era liberal.
Hubungan politik antara islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang tidak harmonis ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik negri ini yang sebagian besarnya adalah masyarakat muslim. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat diatas addalah apakah negara ini bercorak “islam” atau “nasionalis”.[1]
Dalam tulisan kali ini pemakalah akan mencoba untuk memaparkan konfigurasi politik pada masa periode liberal, dan bagaimana pengaruh (pemeluk agama) islam yang merupakan agama mayoritas di dalam negeri turut andil dalam kancah politik yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan tentang nasib negara.

II.                 Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.      Konfigurasi politik periode liberal !
B.       Peranan umat islam dalam memengaruhi politik pada periode liberal !

III.             Pembahasan

A.                Konfigurasi politik periode liberal
Setelah jepang dikalahkan oleh tentara sekutu dalam perang pasifik, indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu, tepatnya bulan April 1945, pemerintah pendudukan jepang telah membentuk suatu panitia yang diberi nama dokuritzu zunbi tjoosakai (badan penyekidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan indonesia/BPUPKI), dengan tugas menyiapkan rancangan UUD. Kemudian setelah badan tersebut menyelesaikan tugasnya , pemerintah segera membentuk panitia baru, yaitu dokiritzu zunbai inkai (badan persiapan kemerdekaan indonesia/PPKI).[2] Sehari setelah mengumunkan kemerdekaan, PPKI menetapkan UUD dan mengangkat soekarno dan hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Pada era kepemimpinan Soekarno dan Hatta ini terdapat berbagi konfigurasi politik yang secara tidak langsung telah ikut andil dalam pengukuhan terbukanya gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya.
Masa-masa pasca kemerdekaan merupakan masa-masa yang paling indah bagi demokrasi indonesia. Karena pada masa itu semua institusi demokrasi dapat memainkan fungsinya secara maksimal.[3] Hal ini di tindak lanjuti dengan adanya konsep-konsep politik menuju era kebebasan bangsa indonesia. Seperti halnya;
1.      Panitia undang-undang dasar
Pada tanggal 7 september 1944 pemerintah (jepang) mengumumkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian dibentuklah panitia persiapan kemerdekaan (BPUPKI). Pada sidang pertamanya hal yang dibahas adalah tentang dasar negara, dan didalamnya terpecah menjadi dua forum, yaitu; ‘golongan nasionalis sekuler’ dan ‘golongan nasionalis islam’. Dalam perdebatan tersebut, kedua belah pihak tidak dapat mencapai kata sepakat, masing-masing berusaha mempertahankan pendirianya, Dan karena perdebatan yang tak kunjung usai, maka sidang ini diahiri dengan pembentukan panitia sembilan yang tugasnya mencari kesepakatan tengang dasar negara. Panitia sembilan ini berhasil mencapai kompromi tanggal  22 juni 1945 dengan menyetujui sebuah naskah mukaddimah UUD yang dikenal sebagai ‘piagam jakarta’.
2.      Pengesahan pembukaan dan batang tubuh UUD
Ketika jepang terpaksa mneyerah kepada sekutu pada tanggal 15 agustus 1945, maka jepang tidak dapat meneruskan usahanya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, dan kejadian itu memberikan konsekuensi kepada Indonesia untuk menyiapkan segala sesuatu tersendiri menuju kemerdekaan. Kemudian tanggal 17 Agustus 1945  indonesia menyatakan kemerdekaanya atas nama Soekarno Hatta.
Untuk melengkapi kemerdekaan kemudian disahkanlah ‘pembukaan dan dan batang tubuh UUD’ dan sejak saat itulah ditetapkan berlakunya UUD 1945 untuk negara Republik Indonesia.[4]
3.      Sistem pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut negara indonesia kemudian menjadi perdebatan, apakah presidentil atau parlementer, hal ini terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. Jikia dilihat ketentuan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17, maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil[5]. Namun jika dilihat dari ketentuan pasal 6, bahwa presiden dipilih oleh majlis permusyawaratan rakyat (MPR), dan penjelasan UUD 45 tentang sistem pemerintahan negara, bahwa presiden bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan  MPR,  Maka, dapat dikatakan bahwa UUD menganut sistem pemerintahan parlementer. Sebab MPR merupakan penjelamaan seluruh rakyat secara tidak langsung. Kulaifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan ini, adalagh sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidensil. Artinya sistem presiden tidak murni atau parlementer semu.
Terlepas dari hal tersebut, jika dilihat dari sudut pandang konstitusional, konfigurasi yang ada di Indonesia adalah demokratis. Apapun kualifikasi sistem pemerintahan yang akan diberikan, (apakah presidensil maupun parlementer) asas yang dijadikan tetaplah demokrasi.
Ternyata, konfigurasi demokratis yang dianut UUD 45 tidak bisa dipenuhi pada awal-awal proklamasi kemerdekaan, karena pada waktu itu belum dibentuk lembaga-lembag negara. Oleh karena itu semua kekuasaan dilimpahkan kepada presiden. Kemudian terdapat anggapan-anggapan dari masyarakat bahwa hal itu menimbulkan kesan bahwa presiden dianggap diktator. Dan untuk melawan anggapan-anggapan tersebut, maka pilihanya adalah dengan menggunakan sistem pemerintahan yang memang benar-benar parlementer.
Perubahan sistem pemerintahan yang sangat fundamental ini tidak dilakukan dengan perubahan UUD, melainkan dengan maklumat pemerintah, artinya terjadi lagi praktek ketatanegaraan. Jika menurut UUD 45 presiden bertanggung jawab kepada MPR dan berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus, maka dengan dikeluarkanya maklumat ini, presiden kehilangan kedudukanya sebagai kepala pemerintahan. Sebab dalam parlementer, pemerintahan dilakukan dengan sistem kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana mentri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya sebagai kepala negara atau presiden konstitusional.
Perubahan dari sistem  presidensil (tidak murni) ke parlementer ini diikuti dengan semakin bergesernya konfigurasi politik kearah yang lebih pluralistik atau liberal. Tidaklah mengherankan jika keberhasilan memperjuangkan sistem parlementer (sesungguhnya) diikuti dengan munculnya partai-partai yang beroprasi dibawah konsep “liberalisme”.
4.      Republik indonesia serikat
Belum berumur setahun setelah kemerdekaan indonesia, belanda datang kembali ke indonesia untuk melanjutkan kolonialismenya, maka dipilihlah taktik pecah belah yaitu usaha menjadikan indonesia sebagai negara republik indonesia serikat. Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan republik indonesia tanggal 27 desember 1949 itu menganut bentuk republik federasi, dengan sistem pemerintahanya parlementer. Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan republik indonesia tanggal 27 Desember 1949 itu menganut bentuk republik federasi.[6]
5.      Di bawah UUDS 1950
Bentuk negara serikat ternyata tidak berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat indonesia yang menginginkan adanya kesatuan negara. Menindaklanjuti hal tersebut dibentuklah panitia yang bertugas membuat rancangan UUDS, yang mana menganut sistem pemerintahan parlementer, dan dianggap bahwa sejak pemberlakuanya, dimulailah era demokrasi liberal. Pada masa ini bangsa indonesia kembali ke negara persatuan republik indonesia, dan dengan demikian pula, tersusunlah kabinet pemerintahan negara kesatuan, dengan tetap menjalankan sistem parlementernya dengan bentuk demokrasi liberal, dan juga partai politik semakin berperan dalam menciptakan tatanan demokrasi yang liberal ini.[7]
Kabinet pertama yang dibentuk adalah kabinet Moh, Natsir. Yang mulai berdiri tanggal 6 september 1950, yang berkoalisi dengan berbagai partai, seperti; Masyumi, PSI, PIR, PSII, Parindra, Parkindo, Partai Katholik, Partai Demokrat.  Namun kabinet ini hanya berumur 7 bulan. Kemudian tersusunlah kabinet baru yaitu kabinet Sukiman, yang mulai mengajak koalisi PNI, dan  juga partai lainya yang masih sama dengan kabinet sebelumnya. Kabinet berikutnya adalah kabinet Wilopo dari PNI, yang berkoalisi dengan Masyumi, dan kabinet ini juga berahir. Kemudian digantikan oleh kabinet Ali Satroamidjojo, kabinet ini bertahan 2 tahun, kemudian digantikan oleh kabinet Baharudin Harahap, kabinet ini dikenal dengan penyelenggara pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis dan bersih untuk memilih anggota DPR dan konstituante. Dan lagi-lagi kabinet ini juga runtuh, kemudian digantikan oleh kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, kabinet ini dibentuk dengan koalisi antara partai-partai PNI, Masyumi, NU, PSII, Partai Katholik, Parkindo, Perti dan Ipki. indonesia mengalami gonta-ganti kabinet, dengan salah satu alasanya adalah adanya mosi tidak percaya. Kabinet ini merupakan kabinet terahir yang diramaikan oleh koalisi partai-partai politik. Kabinet ini berahir karena dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang berarti kembali ketatanan sistem pemerintahan presidensil. dan berahir pula kabinet parlementer liberal.[8]
Dari tujuh kabinet yang berjalan dibawah sistem demokrasi konstiusional, tiga kabinet diercayakan kepemimpinanya kepada Masyumi. kemudian dalam pemilihan umum pertama menunjukkan kelompok islam (terdiri dari masyumi, NU, PSII, dan Perti) menguasai 114 dari 257 (43,5%) kursi dalam parlemen, dan hal itu memberikan pengaruh kepada jumlah wakil kelompok islam dalam parlemen.[9]
karena memang sifatnya yang sementara, maka kemudian konstituante ini dibubarkan dengan dikeluarkanya dekrit presiden 5 juli 1959. Demokrasi liberal telah menyebabkan tidak stabilnya politik dan pemerintahan di Indonesia pada kurun waktu 1945-1959, dan gagalnya sistem demokrasi liberal ini disebabkan karena di Indonesia tidak ada faktor-faktor esensial yang dibubuhkan dalam kehidupan politik yang memungkinkan bekerjanya suatu sistem parlementer.[10]
Sejarah mencatat bahwa soekarno sangat kecewa denga perilaku partai-partai politik pada masa pasca kemrdekaan. Pada oktober 1956 misalnya, soekarno mendesak partai-partai politik untuk menguburkan demokrasi liberalnya. Kemudian untuk keluar dari kemelut ketidakstabilan politik, pada pertengahan 1950-an soekarno kemudian muncul dengan konsepsi yang dikemukakan pada Februari 1957 yang mengajukan usul agar kabinet melibatkan semua partai besar, termasuk PKI, namun hal itu ditentang keras oleh kalangan Masyumi, partai sosialis indonesia (PSI), DAN NU, tapi mendapat dukungan kuat dari PNI dan PKI. dan soekarno juga mengusulkan agar dibentuk dewan nasional, semacam dewan penasehat, yang terdiri dari seluruh lapisan masyarakat.[11]
Dalam majelis konstituante, sejak berahirnya pemilu 1955, kalangan islamis melahirkan tantangan lain, bagi negara bermodel pancasila ini, karena tidak ada satu pihak pun yang mendapatkan 2/3 suara untuk pengesahan, soekarno ahirnya membubarkan konstituante dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959. Terdapat pihak yang berpendapat bahwa soekarno memiliki motif pribadi, apalagi posisinya sebagai presiden, dengan jaminan UUD untuk melakukan apa saja, karena dalam UUD 45 menyiratkan akan ketidakterbatasan kekuasaan presiden.[12]
Masa demokrasi parlementer dipandang sebagai masa kejayaan indonesia. Dalam masa-masa ini bangsa Indonesia dapat mengatur dirinya,  kesempatan dan suasana dialog semakin terbuka dalam kehidupan politik. Partai politik berkesempatan luas dan berpeluang besar untuk berkembang, dan pemilihan umum yang dilaksanakan pada 1955 benar-benar sesuai dengan prinsip demokrasi. Namun terlepas dari hal tersebut, demokrasi parlementer juga memiliki beberapa kegagalan, yaitu; politik aliran yang turut dipengaruhi berbagai sisi, diantranya terdiri dari agama, etnisitas, kedaerahan, dan lainya, mendominasi percaturan perpolitikan indonesia, sehingga membawa konsekuensi logis terhadap pengelolaan konflik. Kemudian basis sosial ekonomi masyarakat yang sangat lemah, dan adanya persamaan antara presiden soekarno dengan kalangan militer, khusunya angkatan darat yang tidak senang dengan politik yang sedang berjalan, dan hal itu dianggap telah terjadi kongkalikong tersendiri dibelakang rakyat.[13]

B.                 Peranan umat islam dalam mempengaruhi politik pada  periode liberal
Sejak masa kemerdekaan, islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas rakyat indonesia, seringkali bersentuhan dengan wilayah politik, kekuasaan, pemerintahan, dan negara. Islam sebagai “rumah nilai” yang dikerumuni basis massa yang sangat besar, tentu saja punya kekuatan yang amat berpengaruh dalam sejarah indonesia. Yang mana hal ini dapat dilihat pada saat masa penjajahan, Islam pernah menjadi kekuatan (politik) yang radikal dalam rangka mengusir penjajah dari tanah air. Dan juga pada masa pemerintahan soekarno, islam menjadi kekuatan ideologis yang patut diperhitungkan, disamping nasionalisme, sosiolisme, dan komunisme.[14]
Dalam realitas politik, indonesia secara konstitusional adalah bukan negara islam, melainkan negara pancasila. Sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan bagi umat islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip islam tentang hukum, terutama dalam bentuknya yang resmi pula. Negara pancasila adalah negara “Religious Nation State” yakni negara kebangsaan yang bukan negara agama (berdaasarkan agama tertentu), dan juga bukan negara sekuler (negara yang tidak mengurusi agama sama sekali). Negara pancasila membina dan mengakui agama-agama yang dianut oleh rakyatnya sepanjang berkeadaban dan adil.
Sebagian dari pemimpin (umat islam) pada tahun 1945 dan tahun 1950-an, di BPUPKI, PPKI, dan konstituante telah mencoba untuk memperjuangkan melalui jalan resmi untuk menjadikan islam sebagai dasar negara yang ketika itu diharapkan dapat menuntun pembuatan dan pemberlakuan hukum-hukum islam bagi umat islam. Tetapi, keputusan final tentang dasar dan konstitusi negara yang ditetapkan ternyata tidak dapat menerima gagasan tentang negara islam, atau kewajiban secara total hukum islam bagi orang-orang islam. Para pendiri dan pembuat keputusan tentang dasar negara, telah menetapkan negri ini sebagai negara kesatuan dan kebangsaan dengan pancasila sebagai dasarnya.[15]
Pertempuran ideologis antara kelompok islam dan kelompok nasionalis baru berlangsung secara penuh dalam pertemuan-pertemuan sidang BPUPKI. Kedua kelompok tersebut sangat kuat dengan ideologi masing-masing tentang dasar negara. Kemudian soekarno mnegusulkan lima prinsip pokok, yang belakangan dikenal dengan nama pancasila, untuk diterima sebagai ‘Philosophische Grondslag (landasan filosofis) negara. Dalam pemahaman soekarno, pandagan dunia ideologis itu mencakup prinsi-prinsip seperti; ketuhanan, kesejahteraan sosial, demokrasi, keadilan dan kebangsaan. Kemudian untuk menjembatani berbagai perbedaan diantara kelompok islam, dan kelompok nasionalis, sebuah panitia kecil kemudian dibentuk, yang tugasnya adalah menyusun kesepakatan bersama, yang di kenal dengan piagam jakarta.
Perdebatan-perdebatan diatas baru mereda, ketika soekarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban demi kesatuan bangsa. BPUPKI bersepakat bahwa masa depan Indonesia didasarkan pada sila “percaya kepada tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya”. Namun kemudian beredar kabar bahwa orang-orang non muslim (yang sebagian besarnya berdomisili dibagian timur) tidak akan bergabung dengan republik indonesia kecuali jika beberapa unsur dari piagam jakarta (yakni kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluknya, islam sebagai agama negara, dan seorang presiden haruslah seorang yang beragam islam) dihapuskan. Karena mereka berganggapan bahwa hal-hal tersebut akan menimbulkan bentuk diskriminatif. Dan kemudian kelompok islam bersepakat agar hal-hal tersebut dihapuskan. Sementara itu sebagai gantinya, unsur teologi monoteistik dimasukkan kedalam sila pertama, yaitu “ketuhanan yang maha Esa”.[16]
Pancasila sendiri jika di ibaratkan adalah bagaikan cek kosong yang bisa diisi dan ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan pandangan dan kepentinganya. Tergantung dari pihak mana yang menafsirkanya. Soekarno misalnya, menyatakan bahwa, ‘memeras pancasila (menafsirkanya/menjabarkanya denga bentuk UUD, atau pearturan lainya) akan menjadi Ekasila (ketentuan pengikat). Karena, Sebuah hasil penelitian tentang politik hukum menemukan kesimpulan bahwa produk hukum itu sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada dibelakangnya. Jadi, konfigurasi politik adalah hal yang sangat menentukan bagaimana suatu aturan diberlakukan dalam sebuah negara.[17]
Seperti pemikiran Natsir[18] salah seorang pemimpin kabinet pada pemberlakuan UUDS yang menafsirkan bahwa pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laknsanakan dalam negara. Hal ini dapat dilihat pada sila pertama, yaitu kletuhanan yang maha Esa, yang menegaskan bahwa seorang manusia tidak akan dapat memulai kehidupanya menuju kebajikan dan keutamaan, sebelum dia dapat menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada tuuhan yang maha Esa.[19]
Meskipun tidak tanpa benturan di berbagai hal, kedua kelompok nasionalis dan islamis, mampu mengembangkan hubungan politik yang harmonis diantara mereka. Seperti yang dapat kita lihat pada tahun 1950-an, Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan naggota 236 orang, Masyumi[20] merupakan salah satu partai yang di minta untuk membentuk dan memimpin kabinet pada masa pemberlakuan UUDS. Dalam anggaran dasar masyumi dinyatakan bahwa partai ini bertujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat indonesia dan agama islam, dan melaksanakan cita-cita islam dalam urusan kenegaraan, serta memperkuat dan menyempurnakan UUD RI. Meskipun demikian apa yang dicita-citakan partai islam tersebut, namun dalam kenyataanya negara kita bukan negara islam, tapi negara dengan mayoritas penduduk islam.[21]








IV.             Kesimpulan
Masa-masa pasca kemerdekaan merupakan masa-masa yang paling indah bagi demokrasi indonesia, namun belum ada struktur negara,. Hal ini di tindak lanjuti dengan adanya konsep-konsep politik menuju era kebebasan bangsa indonesia. Seperti halnya; (1) Panitia undang-undang dasar, dibentuklah panitia persiapan kemerdekaan (BPUPKI). Pada sidang pertamanya hal yang dibahas adalah tentang dasar Negara, (2) Pengesahan pembukaan dan batang tubuh UUD, Untuk melengkapi kemerdekaan kemudian disahkanlah ‘pembukaan dan dan batang tubuh, (3) Sistem pemerintahan, Sistem pemerintahan yang dianut negara indonesia kemudian menjadi perdebatan, apakah presidentil atau parlementer, hal ini terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. (4). Republik indonesia serikat. Belum berumur setahun setelah kemerdekaan indonesia, maka dipilihlah taktik pecah belah yaitu usaha menjadikan indonesia sebagai negara republik indonesia serikat. (5) Di bawah UUDS 1950 Bentuk negara serikat ternyata tidak berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat indonesia yang menginginkan adanya kesatuan negara. Menindaklanjuti hal tersebut dibentuklah panitia yang bertugas membuat rancangan UUDS, yang mana menganut sistem pemerintahan parlementer, kemudian tersusunlah kabinet pemerintahan negara kesatuan. Kabinet pertama yang dibentuk adalah kabinet Moh, Natsir. kabinet Sukiman, kabinet Wilopo kabinet Ali Satroamidjojo, kabinet Baharudin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, Kabinet ini merupakan kabinet terahir yang diramaikan oleh koalisi partai-partai politik. Kabinet ini berahir karena dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang berarti kembali ketatanan sistem pemerintahan presidensil. dan berahir pula kabinet parlementer liberal.
Sejak masa kemerdekaan, islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas rakyat indonesia, seringkali bersentuhan dengan wilayah politik, kekuasaan, pemerintahan, dan negara. Islam sebagai “rumah nilai” yang dikerumuni basis massa yang sangat besar, tentu saja punya kekuatan yang amat berpengaruh dalam sejarah indonesia. Dan juga pada masa pemerintahan soekarno, islam menjadi kekuatan ideologis yang patut diperhitungkan, disamping nasionalisme, sosiolisme, dan komunisme . Sebagian dari pemimpin (umat islam) pada tahun 1945 dan tahun 1950-an, di BPUPKI, PPKI, dan konstituante telah mencoba untuk memperjuangkan melalui jalan resmi untuk menjadikan islam sebagai dasar negara yang ketika itu diharapkan dapat menuntun pembuatan dan pemberlakuan hukum-hukum islam bagi umat islam. Tetapi, keputusan final tentang dasar dan konstitusi negara yang ditetapkan ternyata tidak dapat menerima gagasan tentang negara islam, Meskipun demikian apa yang dicita-citakan partai islam tersebut, namun dalam kenyataanya negara kita bukan negara islam, tapi negara dengan mayoritas penduduk islam.

V.                Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.











 DAFTAR PUSTAKA
An Na’im, Abdullahi Ahmed. 2007. Islam Dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah. Penj; Sri Murniati. Bandung; Mizan Pustaka. Cet 1.
Aziziy, A Qodri A. Dkk. 2004.  Jejak-Jekaj Islam Politik; Sinopsis Sejumlah Studi Islam Di Indonesia. Ed: Marzuki Wahid. Jakarta; Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjenkelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam Dan Negara (Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia). Jakarta; Paramadina. Cet 1.
Gaffar, Afan 1999. Politik Indonesia (Transisi Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Cet 1.
Iqbal, Muhamad Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hinggga Indonesia Kontemporer. Jakarta; Kencana. Ed 1. Cet 1.
Mahfud, Moh Md. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; Lp3es. Cet 1. 
Mahfud, Moh Md. 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta; Rajawali Pers. Ed 1-3.
Syadzali, Munawir. 1990. Islam Dan Tata Negara. Jakrta; UI Press. Cet 2.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo Persada. Cet 2.
Thaha, Idris. 2005. Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholis Madjid Dan M Amien Rais. Jakarta; Teraju. Cet 1.


[1] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara (Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia). Jakarta; Paramadina. 1998. Cet 1. Hlm 60.
[2] Moh mahfud md. Politik hukum di indonesia. Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1.  hlm 28.
[3] Afan Gaffar. Politik Indonesia (Transisi Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1999. Cet 1. Hlm 60.
[4] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1.  Hlm 30-37.
[5] Hal ini dapat dilihat bahwa presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kemudian, mentri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan DPR.
[6] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1.  Hlm 40.
[7] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1.  Hlm 42.
[8] Miftah Thoha. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2003. Cet 2. Hlm 124-130.
[9] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara (Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia). Jakarta; Paramadina. 1998. Cet 1. Hlm 86-94.
[10] Moh Mahfud Md. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta; LP3ES. 1998. Cet 1.  Hlm 44.
[11] Afan Gaffar. Politik Indonesia (Transisi Menuju Demokrasi). Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 1999. Cet 1. Hlm 62.
[12] Abdullahi Ahmed An Na’im. Islam Dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah. Penj; Sri Murniati. Bandung; Mizan Pustaka. 2007. Cet 1. Hlm 397.
[13] Idris Thaha. Demokrasi Religius; Pemikiran Politik Nurcholis Madjid Dan M Amien Rais. Jakarta; Teraju. 2005. Cet 1. Hlm 168.
[14] A Qodri A. Aziziy. Dkk. Jejak-Jekaj Islam Politik; Sinopsis Sejumlah Studi Islam Di Indonesia. Ed: Marzuki Wahid. Jakarta; Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Ditjenkelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI. 2004. Hlm 247.
[15] Moh Mahfud Md. Membangun Politik Hukum, Mnegakan Konstitusi. Jakarta; Rajawali Pers. 2012. Ed 1-3. Hlm 281-283.
[16] Munawir Syadzali. Islam Dan Tata Negara. Jakrta; UI Press. 1990. Cet 2. Hlm 189-190
[17] Muhamad Iqbal, Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hinggga Indonesia Kontemporer. Jakarta; Kencana. 2010. Ed 1. Cet 1. Hlm 263-264
[18] Salah satu dari orang  dengan ideologinya yang islamis, yang turut memperjuangkan islam sebagai bagian dari negara, dan turut dalam perpolitikan negara.
[19] Munawir Syadzali. Islam Dan Tata Negara. Jakrta; UI Press. 1990. Cet 2. Hlm 191.
[20] Masyumi merupakan wakil politik satu-satunya kelompok islam, baik dari kelompok islam modernis (muhamadiyah) atau ortodoks (NU) pada masa itu, yang dibentuk pada november 1945. 
[21] Munawir Syadzali. Islam Dan Tata Negara. Jakrta; UI Press. 1990. Cet 2. Hlm 190.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE