HUKUM WADH’I
HUKUM WADH’I
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah
Ushul Fiqh Perbandingan
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.
Abdul Hadi., MA.
Disusun oleh:
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
HUKUM
PERDATA ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Hukum Wadh’i
I.
Pendahuluan
Pada dasarnya hukum
syara’ ditetapkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat
Allah itu merata diberikan tanpa terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu
ditujukan kepada semua manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu hukum
Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, dan
larangan-larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf
untuk melaksanakanya, kareana Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam
batas kemampuanya.[1]
Hukum sayara’
itu khusus pada nash, karena nash itulah doktrin dari syar’i dan
hukum itu tidak mencakup dalil-dalil syara’ yang lain, seperti qiyas ijma’ dll.
Tetapi semua dalil-dalil syar’i selain nash, ketika diterapkan kepada nash-Nya
maka hakikatnya adalah doktrin dari syar’i. Dari hal tersebut hukum syara’
tidak hanya terdapat satu macam, karena hukum itu ada kalanya berhubungan
dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau berbentuk
ketetapan. Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan
atau pilihan disebut dengan hukum taklifi, dan hukum yang berbentuk dengan
ketetapan disebut dnegan hukum wadh’i, yang mana didalamya terdapat sebab, mani’
(pengahalang), syarat, shah, batal, dan rukhsoh atau azimah.[2]
Dalam tulisan
ini pemakalah akan mencoba untuk membahas tentang hukum wadh’i dan lingkup yang
ada dalam hukum wadh’i itu sendiri, seperti; sebab, mani’ (pengahalang),
syarat, shah, batal, dan rukhsoh atau azimah.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari
pembahasan makalah ini adalah :
A.
Definisi Hukum Wadh’i !
B.
Pembagian Hukum Wadh’i !
III.
Pembahasan
A.
Definisi Hukum Wadh’i
Hukum syar’i
atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata
“ syara’ ”. kata hukum berasal dari bahasa arab “hukmun” yang secara etimlogi
berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. Kata syara’ “ secara
etimologis berarti: “jalan yang bisa dilalui air”. Maksudnya adalah jalan yang
dilalui manusia menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhaa berarti
“ketentuan Allah” . Bila kata hukum di rangkaikan dengan kata syara’ yaitu “
hukum syara’ ” akan berarti; “ seperangkat peraturan berdaasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.
Pengetahuan
tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqh dan
ushul fiqh. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syara’
dalam hal menyangkut tingkah laku manusia mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini
memandang dari arah yang berbeda. Ilmu ushul fiqh memandang dari segi kearah
metode pengenalanya dan sumber yang digunakan untuk itu. Sedangkan ilmu fiqh
memandang dari segi merumuskanya dengan peerbuatan dalam lingkup yang
digariskan oleh ushul fiqh. Dari
definisi hukum syara’yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam
bentuk tuntutan, pilihan, dan ketentuan, maka hukum syara’ dibagi menjadi dua,
yaitu; hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Titah Allah
yang berbentuk hukum wadh’i merupakan ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak
langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dnegan perbuatan
mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menyebabkan masuknya waktu sholat
dzuhur. Kata waadha’ (ketentuan) artinya
adalah bahwa pembuat hukum (syar’i) mengaitkan dua hal yang menyangkut perbuatan
mukallaf dengan arti salah satu menjadi sebab, atau syarat, atau penghalang
bagi yang lainya. Umpamanya Allah dalm firman-Nya mengaitkan antara hak kewarisan
dengan kematian seseorang. Dengan demikian kematian menjadikan sebab adanya
peristiwa keawarisan. Atau perbuatan sholat dengan pelaksanaan wudlu, yang
berarti wudlu itu menjadi syarat bagi perbuatan sholat. Ataupun Nabi mengaitkan
pembunuhan dengan tidak berhak atas warisan yang berarti pembunuhan itu menjadi
penghalang untuk hak kewarisan.[3]
Hukum wadh’i
berbeda dengan hukum taklifi, diantara perbedaan tersbut adalah, jika hukum
taklifi adalah menuntut, mencegah, atau membolehkan perbuatan. maka hukum
wadh’i tidak bermaskud menuntut, melarang, atau membolehkan, tetapi hanya
menerangkan sebab, syarat, mani’ (penghalang), dan adakalanya tentang rukhshah,
azimah, shah dan batal.[4]
Hukum wadh’i
ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia, tetapi bisa berbentuk
ketentuan-ketentuan yang ada kaitanya dengan perbuatan mukallaf, yang dinamakan
hukum taklifi. Baik hubungan itu dalam bentuk sebab, atau syarat, atau
penghalang. Kelangsungan suatu hukum taklifi berkaitan dengan hal-hal yang ada
dalam hukum wadh’i, bila sudah memenuhi bagian-bagian dari hukum wadh’i, maka perbuatan
itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum, yang nantinya akan masuk pada
bagian hukum taklifi.[5]
B.
Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i
terbagi menjadi lima. Hukum wadh’i adakalamya menjadikan sesuati sebagai sebab,
syarat, penghalang, atau mnejadikan adanya keringanan sebagai ganti dari hukum
asal, dan sah atau tidak sah.
1.
Sebab
Sebab adalah sesuatu
yang oleh syar’i dijadikan sebagai tanda atau suatu akibat dan hubungan adanya
akibat dengan sebab, serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab. Oleh
karena itu ada sebab pasti ada akibat dan tidak ada sebab pasti tidak ada
akibat. Jadi, sebab ini adalah suatu yang nyata dan pasti yang dijadikan sebagi tanda atas hukum syara’ , yaitu akibat. Sehingga adanya akibat pasti ada sebab dan
tidak ada akibat pasti tidak ada sebab.[6]
Daalm arti
istilah definitif dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
الامر الظاهر المنضبط الذي جعله
الشارع أمارة لوجود الحكم يلزم من وجوده المسبب ويلزم من عدمه عدم السبب.
“sesuatu yang jelas, dapat diukur,
yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum; lazim dengan adanya
tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum”.
Masuknya bulan
ramadhan menjadi pertanda datangya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya bulan
ramadahan adalah sesuatu yang jeals dan dan dapat diukur apakah betul bulan
ramdahan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan disebut dengan
sebab, sedangkan datangya kewajiban puasa ramadhan disbut dengan musabbab atau
hukum. Ada atau tidak adanya kewjiban puasa ramadhan diketahui dengan telah ada
atau belumnya masuk waktu ramdahan. lazimnya dengan masuknya bulan ramadhan
berlaku wajibnya puasa dan lazim pula dengan belum masuknya bulan ramadhan
belum adanya kewajiban puasa ramadhan. Masuknya waktu itu menjadi pertanda
datangnya hukum wajib.[7]
Al Syathibi berpandangan
bahwa sebab adalah sesuatu yang ditetapkan secara syara’ bagi suatu hukum
karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh suatu hukum itu, dan dia menjadikan illat
sebagai kemaslahatan syari’at yang berkaitan dengan perintah, dan kerusakan
yang berkaitan dengan larangan. Menurut Al Syathibi sebab itu meliputi illlat
ketika sama-sama menjadi alasan, atau satu arti denganya. Barang siapa
melakukan akad nikah, akad jual beli, atau akad secara mutlak, kemudian
bermaskud agar tidak menimbulkan akibat dari akad itu, maka tujuanya itu
sia-sia. Demikian pula apabila seseorang melakukan talak atau pemerdekaan
budak, lalu bermaksud agar akibatnya tidak terjadi, maka hal itu adalah tujuan
yang batal. Dengan demikian, pengharaman-pengharaman perbuatan yang dihalalkan Allah
seperti makan, minum dan nikah adalah sia-sia (tidak sesuai dengan tujuan
syara’). Dia tidak dihukumi nikah saat itu, dan tidak bermaksud men ta’liq
nikahnya menurut kelompok hanafi secara mutlak, dan pendapat kelompok maliki
pada point ta’liq nikah.
Kesimpulanya
adalah bahwa kerusakan-kerusakan yang timbul dari sebab yang ditetapkan syara’
sebenarnya bukanlah timbul dari penetapan syara’ melainkan dari sebab lain yang
bersesuain denganya. Seperti pendapat ulama’ hanafi tentang ketetapan hak milik
sebab peramapasan dan hukum mushaharah sebab zina. Pemilikan dan
mushaharah sebenarnya tidak menimbulkan sebab perampasan dan zina, melainkan
karena sebab lain.[8]
Sebab juga dibagi kedalam beberapa
macam, diantaranya adalah:
a.
Sebab yang berada diluar batas
kemampuan mukallaf ialah sebab yang dijadikan Allah SWT, sebagai pertanda atas
adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan
pertanda untuk sebuah hukum oleh Allah
SWT. Seperti halnya; tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu
dzuhur. Sebagaimana firman Allah;
ÉOÏ%r&
no4qn=¢Á9$#
Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$#
4n<Î) È,|¡xî
È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$#
( ¨bÎ)
tb#uäöè%
Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB
ÇÐÑÈ
“Dirikanlah
shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) subuh (Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima.
tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk
waktu Magrib dan Isya.)Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” (Al-isra’; 78)
Tergelincirnya
matahari yang menjadi sebab masuknya waktu dzuhur itu, disamping kita tidak
mengetaui hubunganya, kita juga tidak mungkin berbuat untuk menggelincirkan
matahari agar segera datangnya kewajiban tersebut.
b.
Sebab yang berada dalam batas kemampuan
mukallaf, yang ditetapkan oleh pembuat hukum tentang akibat hukumnya. Artinya
perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum. Umpamanya
keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya menqhosor sholat (dengan
memenuhi syarat yang telah ditentukan, seprti jarak). Perjalanan itu disebut
sebab, hal itu merupakan suatu bentuk perbuatan mukallaf yang dilakukan dengan
sadar dalam kemampuanya. Akibat adanya sebab ini, maka Allah memberikan rukhsoh.
c.
Sebab yang menjadikan hal untuk menetapkan
kepemilikan , kehalalan atau menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk
mnetapkan kepemilikan dan menghilangkan kepemilikan. Akad perkaiwnan untuk
menetapkan kehalalan.
Ketika syara’ membuat akad atau
pengelolaan sebagai sebab hukum, maka hukum itu terjadi atas akad itu menurut
syara’, dan adanya hukum itu tidak tergantung pada maksud mukallaf, artimya
mukallaf tidak berhak melepaskan sesuatu yang telah diikat oleh syara’, yaitu
akibat dengan sebabnya.[9]
2.
Syarat
Syarat adalah
sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesuatu itu, dan tidak
adanya menjadikan tidak adanya hukum. Yang dimaksud adalah keberadaanya menurut
syara’ yang dapat menimbulkan suatu pengaruh. Syarat adalah sesuatu yang dapat menyempurnakan sebab, dan
pengaruhnya dapat menghasilkan akibat. Pembunuhan adalah sebab kewajiban
qishas, tetapi dengan syarat pembunuhan secara sengaja.[10]
Al Syathibi mendefinisikan
syarat sebagai sesuatu yang menjadi sifat yang menyempurnakan sesuatu yang
disyaratkan dalam hal yang menjadi implikasinya, atau yang menjadi implikasi
hukumnya. Mislanya kita katakan bahwa haul (satu tahun) atau kemungkinan
perkembangan harta adalah menyempurnakan implikasi kepemilikan atau hikmanhya
kaya. Syarat itu berbeda dengan yang disyaratkan, artinya yang disyaratkan
dirasionalkan seraya melupakan syarat meskipun tidak boleh dibalik. Seperti kebanyakan
sifat dan yang disifati, baik secara hakiki maupun tampakan saja.
Misalnya, jika
ahli waris memberi izin saat pewaris sakit yang menghawatirkan (dapat mengantarkan
kepada kematian) untuk menggunakan harta lebih dari sepertiganya, maka
diperbolehkan. padahal kepemilikan mereka (terhadap harta yang akan diwariskan)
belum pasti kecuali setelah kematian pewaris. Maka, sakit merupakan sebab
kepemilikan mereka, sementara kematian menjadi syaratnya. Izin mereka sebelum
terjadinya syarat yang dimaksud berlaku menurut imam malik yang mana imam malik
berpendapat lebih memperhatikan sebab dan tidak peduli dengan ketergantungnya
kepada syarat, Namun berbeda dengan imam syafi’i dan abu hanifah yang
berpendapat untuk lebih memperhatikan syarat. Yang menetapkan bahwa
ketergantungan suatu sebab adalah penghalang terjadinya akibat, dan tidak perlu
diperhatikan adanya suatu sebab saja. [11]
Syarat yang kembali kepada hukum
wadh’i itu dibagi menjadi dua macam, yaitu;
a.
Syarat syar’iyah
Yaitu syarat-syarat yang ditetapkan
oleh Allah untuk terjadinya sebab atau terjadinya hukum. Seperti dalam ibadah
shalat, diantara syaratnya dalah dengan
wudlu.
b.
Syarat ja’liyah
Yaitu syarat yang diperbolehkan
oleh syar’i di lakukan oleh pihak yang melakukan akad pada saat melangsungkan
akad untuk berlakunya hukum, yang diterapkan untuk terlaksananya hukum yang
dikaitkan dengan akad. contohnya semisal, syarat yang ditetapkan oleh suami
untuk menjatuhkan talak atas istrinya. Karena menggantungkan jatuhnya talak pada
adanya syarat yang ditetapkan. Artinya jatuhnya talak tergantung dengan adanya
syarat. tidak ada syarat pasti tidak ada talak. Bentuk kalimat talak adalah
sebab timbulnya talak, tetapi jika telah memenuhi syarat.[12]
3.
Mani’ (Penghalang)
Mani’ adalah
sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu
masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya.
Tetapi ditemukan adanya mani’ yang menghalangi konsekuensi hukum atas
maslah tersebut. Seperti pada perkawinan yang sah, tetapi salah satunya
terhalang mendapatkan hak waris, karena adanya perbedaan agama. Atau dalam
bentuk pembunuhan yang mana dapat menghalangi seseorang mendapatakan warisan.
Juga seperti adanya pembunuan yang disengaja, tetapi terhalang untuk
dilakukanya qishas, karena pembunuh adalah ayah korban.
Mani’ menurut ulama’
ushul fiqh adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi
syratnya tetapi dapat mengahalangi hubungan sebab dan akibat.[13]
Ulama’
hanafiyah membagi mani’ kedalam lima bagian:
1.
Suatu penghalang yang mencegah
terjadinya sebab.
2.
Halangan yang mencegah kesempurnaan
sebab pada hak selain orang yang melakukan akad.
3.
Halangan yang mencegah permulaan
hukum.
4.
Halangan yang mencegah kesempurnaan
hukum.
5.
Halangan yang mencegah terjadinya
hukum.[14]
Mani’ dari segi
tidak adanya kesengajaan syara’ untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf
terbagi menjadi dua:
a.
Mani’ yang termasuk lingkup tuntutan taklifi,
baik dalam bentuk perintah, atau larangan atau keizinan. Seperti “berhutang”
(yang telah memenuhi syarat tertentu) yang mengahalangi berlakunya sebab wajib
yang berpengaruh terhadap wajibnya mengeluarkan zakat, meskipun sudah terdapat
batas ukuran nisab. Hukum ini akan tergantung kepada tidak adanya mani’.
b.
Mani’ yang termasuk dalam lingkup wadh’i.
dalam hal ini tidak ada kesengajaan bagi syara’ untuk menghasilkanya dari segi
ia adalah mani’. Umpamanya orang berhutang tidaklah dituntut untuk
membuang hutangnya bila ia memiliki kekayaan satu nisab, supaya ada kewajiban
untuk zakat; sebagaiaman pemilik harta yang sampai senisab tidaklah dituntut
untuk berhutang supaya bebas dari kewajiban zakat. Yang dimaskud oleh syar’i
dengan adanya mani’ disini ialah bila tedapat mani’ maka terangkatlah sebab, yaitu
hukum.[15]
4.
Rukhsoh Dan ‘Azimah
Rukhsoh adalah keringanan
hukum yang telah di syariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu
yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang di syariatkan karena
ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Atau diperbolehkanya sesuatu
yang dilarang dengan suatu alasan. Meskipun larangan itu tetap berlaku.
Sedangkan azimah adalah hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah
secara umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu dan pada perorangan
mukallaf tertentu. Menurut jumhur ulama’Macam-macam rukhasah antara lain
adalah sebagai berikut:
a.
Diperbolehkanya suatu larangan ketika
kedaan darurat atau menurut kebutuhan. Seperti firman Allah;
ôs%ur
@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym
öNä3øn=tæ wÎ)
$tB
óOè?öÌäÜôÊ$# Ïmøs9Î)
3 ¨bÎ)ur
#ZÏWx. tbq=ÅÒã©9 OÎgͬ!#uq÷dr'Î/ ÎötóÎ/
AOù=Ïæ 3 ¨bÎ)
/u uqèd
ÞOn=÷ær& tûïÏtG÷èßJø9$$Î/ ÇÊÊÒÈ
Padahal Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar
benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang
yang melampaui batas.(Al an’am; 119).
b.
Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan
kewajiban ketika terdapat uzur kesulitan menunaikanya. Barang siapa yang sakit
di siang hari bulan ramadhan maka ia boleh berbuka. Allah SWT berfirman:
`yJsù c%x. Nä3ZÏB
$³ÒÍ£D ÷rr&
4n?tã 9xÿy
×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé&
4 ÇÊÑÍÈ
Maka Barangsiapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah;
184).
c.
Rukshah dalam meninggalkan
hukum-hukum yang berlaku terhdap umat sebelum islam datang, yang dinilai
terlalu berat untuk dilakukan umat nabi muhammad. Sebagimana firman Allah;
$oY/u wur
ö@ÏJóss? !$uZøn=tã
#\ô¹Î)
$yJx.
¼çmtFù=yJym
n?tã
úïÏ%©!$#
`ÏB
$uZÎ=ö6s%
4 ÇËÑÏÈ
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada Kami beban berat sebagaimana yang engkau pikulkan kepada umat
sebelum kami. (Al Baqarah; 286).
Umpamanya
adalah bunuh diri sebagai cara untuk bertaubat, memotong pakaian yang terkena
najis, untuk membersihkanya. Bila diperhatikan keringanan hukum ini lebih tepat
disebut dnegan nasakh, meskipun demikian dalam arti luas disebut dengan rukhsoh.
d.
Sahnya sebagian akad yang tidak
memenuhi syarat umum sebagai sahnya akad tersebut. Namun dalam hal itu berlaku muamalah
umat manusia dan menjadi kebutuhan. Seperti akad salam (pesaanan) adalah
jual beli yang pada saat akadnya
barangya tidak ada, tetapi berlaku dikalangan umat manusia, dan menjadi
kebutuhan.[16]
Ulama’ kelompok hanafi membagi rukhshah
menjadi dua, yaitu rukhshah tarfiih dan rukhshah isaqaath.
a.
Ruhkhshah tarfiih
Rukhshah yang meringankan dari
pelaksanaan hukum azimah, namun hukum azimah tersebut tetap
berlaku dalilnya. Hanya saja pada waktu tertentu diperbolehkan meninggalkan
sebagai bentuk keringanan baginya. seperti seseornag yang dipaksa untuk
mengucapkan kata-kata kufur. Sepertii firman Allah:
`tB txÿ2
«!$$Î/ .`ÏB
Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJÎ)
wÎ) ô`tB
onÌò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB
Ç`»yJM}$$Î/ `Å3»s9ur
`¨B
yyu° Ìøÿä3ø9$$Î/
#Yô|¹
óOÎgøn=yèsù Ò=Òxî
ÆÏiB
«!$# óOßgs9ur
ëU#xtã
ÒOÏàtã
ÇÊÉÏÈ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar. (An nahl;
106).
b.
Rukhshah isaqath
Rukhshah yang menggugurkan hukum azimah
terhadap pelakunya saat keadaan rukhsahah itu berlangsung. Dalam keadaan
rukhshah itu maka hukum yang berlaku bagi yang sedang terpaksa adalah
hukum rukhshah, bukan hukum azimah karen apada waktu itu hukum azimah
tidak berlaku atasnya. Umpamnaya menqashar shalat dalam perjalanan.
Firman Allah:
#sÎ)ur
÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$#
}§øn=sù ö/ä3øn=tæ
îy$uZã_
br&
(#rçÝÇø)s?
z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÇÊÉÊÈ
Dan apabila kamu bepergian di muka
bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar (Menurut Pendapat jumhur arti
qashar di sini Ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat.
Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi
2, Yaitu di waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan
meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan
dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat
dalam Keadaan khauf di waktu hadhar) sholatmu. (An nisa’:
101).
Namun terdapat
perbedaan dari kalangan ulama’, Jika ulama’ hanafiyah mengangap bahwa hukum azimah
gugur dengan adanya perjalanan (yang telah memenuhi syarat) untuk menqashar,
maka pendapat selain ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa orang dalan perjalanan
itu dapat memilih anatar qashar atau tidak.
Jumhur ulama’
berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung kepada
bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah tersebut, dengan demikian
menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib, seperti memakan
bangkai ketika tidak dapat menemukan makanan (yang halal) sedangkan ia khawatir
ketika tidak memakan bangkai tersebut akan memebahayakan dirinya. Hukum rukhsah
ada pula yang sunah seperti berbuka puasa pada siang hari bulan
ramadhan, bagi orang yang sakit. Dan ada juga yang mubah seperti jual
beli salam.
Imam Syathibi berpendapat
bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau mubah, secara mutlak. Rukhshah
hanyalah keringanan atau mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai
kelapangan atau pilihan antara menggunakan hukum azimah atau nmengambil rukhsah.
Hal ini menurut beliau berarti mubah, Menurutnya ketentuan ini sesuai
dengan dalil juz’i (rinci) seperti diperbolehknya memakan bangkai. Namun
argumen ini disanggah oleh jumhur ulama’ yang mengatekan bahwa tidaklah mesti
dari firman Allah “tidak berdosa (memakan bangkai)” berarti perbuatan
itu hukumnya mubah. Karena di dalam Al qur’an juga terdapat kata seperti itu
hukumnya wajib. Seperti firman Allah:
¨bÎ)
$xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur
`ÏB
Ìͬ!$yèx© «!$#
( ô`yJsù
¢kym |Møt7ø9$#
Írr& tyJtFôã$#
xsù yy$oYã_ Ïmøn=tã
br&
§q©Üt $yJÎgÎ/ 4
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar
Allah, Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya”.(Al Baqarah:
158)
Dalam ayat ini
untuk thowaf pada haji dan umrah disebut dengan ucapan “tidak ada halangan”
padahal thawaf itu adalah hukumnya wajib. Namun Al Syathibi menyanggah bahwa
kata “tidak ada halangan” dalam peggunaan kaidah bahasa arab bila tidak
ditemukan keterangan yang memberi petunjuk bahwa artinya bukan untuk itu, hanya
berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Alasan yang dikemukakan Al
Syathibi ini kemudian disanggah lagi oleh jumhur ulama’ yang mengatakan bhawa ulama’
telah mewajibakan memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatira ia
akan celaka bila tidak memakanya.
Perbedaan
pendapat antara jumhur ulama dengan Al Syathibi dalam menetapkan hukum rukhshah
itu kelihatan pengaruhnya dalam contoh kasus seseorang yang tidak menemukan
makanan halal, ia lebih mementingkan mati kelaparan daripada memakan makanan
yang haram. Menurut jumhur ulama’ yang membagi rukhshah kedalan wajib,
sunah dan mubah, menurut mereka orang yang kelaparan itu seharusnya memakan
bangkai untuk memelihara jiwanya. Bila ia tidak memaknnya lantas ia mati, maka
ia fasik atau berdosa karena meninggalkan kewajbanya untuk menjaga dirinya.
Sedangkan Al Syathibi yang membagi rukhshah hanya dalam bentuk ibahah
mengatakan bahwa maslah ini harus dilihat secar rinci karean perintah unuk
memelihara jiwa itu bersifat umum. Tidak ada nash yang secara pasti
mengahruskan memakan bangkai hanya karna fasik ata berdosa jika meninggalkanya.
Oleh karean itu bila ia tidak snggup untuk bersabar maka ia bisa memakanya.
Tapi bila ia sanggup sabar dengan pertimbangan tidak akan mati, maka ia tidak
akan fasik atau berdosa, karena ia telah berbuat sesuatu dengan ketentuan
pertimbangan rukhsah.[17]
Batasan rukhshah
adalah bahwa dalilnya hanya menunjukkan kemurahan saja. Dengan batasan ini,
maka tidaklah azimah itu dituntut mengerjakanya, dan tidak pula dituntut
meninggalkanya, sebagaimana rukhshah dari sisi kedudukanya sebagai rukhshah
tidak dituntut mengerjakanya dan tidak pula meninggalkanya. Azimah adalah
hukum asal yang tetap, disepakati dan bersifat pasti. Kedatangan rukhshah
meskipun dianggap pasti, tetapi sebab keringananya tidak terbukti secara pasti,
juga tidak ada batasan mengenai tingkat kesulitan yang diperbolehkan
menggunakan rukhshah.[18]
Dari apa yang
telah dijelaskan tentang rukhsah dan macamnya maka jelaslah bahwa hukum
itu termasuk bagian hukum wadh’i , karena hukum yang disyariatkan adalah
menjadikan darurat sebagai sebab dalam diperbolehkanya melakukan larangan. Semua
itu pada dasarnya adalah meletakkan sebab untuk akibat.[19]
5.
Shah Dan Batal
Semua
perbuatan mukallaf yang dituntut oleh syar’i dan semua hukum sebab akibat yang
ditetapkanya, bila telah ditetapkan oleh mukallaf maka syar’i akan
menganggapnya sah ataupun juga batal. Jika
perbuatan itu sudah dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syar’i dan apa yang
disyariatkanya, artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka syar’i menghukumi
sah, namun jika perbuatan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan tuntutan dan
syariatnya, artinya ada cacat dalm rukun atau syartnya, maka syar’i menghukumi
tidak sah.[20]
Kemudian dalam hukum muamalah, dikatakan shah bila secara hukum ia telah menghsilkan
peralihan milik dan menghalalkan, atau bolehnya mengambil manfaat dari sesuatu
yang dilakukan.
Dari keterangan
diatas, yang di maksud dengan shah dalm bidang ibadah maupun muamalah adalah
mencapai tujuan. Artinya tuntutan berbuat untuk mengikuti tujuan hukum itu
dibenarkan syari’at. Dalam hukum wadh’i suatu sebab dikatakan shah bila
sebab itu dapat menghasilkan hukum (sesuai dengan syari’at). Syarat juga diberi
sifat dengan shah, bila syarat itu dapt melengkapi sebab.[21]
Adapun
pengertian tidak shah atau batal atau juga disebut fasad, yaitu tidak adanya pengaruh suatu syara’. Jika yang
dilakukan adalah kewajiban, maka kewajiban itu tidak gugur. Jika berupa sebab
syara’ maka tidak punya pengaruh hukum. Sesuatu tidak shah mungkin karena cacat
dalam rukunya, atau karena tidak memenuhi syaratnya, baik berupa ibadah, pengelolaan
ataupun akad. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara istilah batal dan fasid
(menurut jumhur ulama’). Dalam hal ibadah atau muamalah. Menurut jumhur ulama’
(termasuk imam syafi’i juga berpendapat ) bahwa akad yang tidak shah itu hanya ada
satu macam, tidak ada perbedaan antara bathal dan fasid dalam ibadah
maupun muamalah. Namun Ulama’ kelompok hanafi berpendapat bahwa pembagian
istilah hukum dibagi menjadi dua dalam hal ibadah, yaitu shah dan tidak shah. Tidak
ada perbedaan antara rusaknya puasa (umpamanya) dengan batalnya puasa. Namun
dalam hal muamalah hukum itu terbagi menjadi tiga; karena akad yang tidak sah
terbagi menjadi dua, batal dan rusak. Jika cacat itu terdapat pada pokok akad,
artinya dalam rukun-rukunya; seperti bentuk ucapan akad dua orang yang berakad,
atau barang yang di akadi, maka akad itu batal. Jika cacat itu terdapat pada
sifat-sifat akad, seperti terdapat pada syarat yang diluar materi dan rukun
akad, maka akad itu fasid. Sedangkan batal tidak mempengaruhi apapun,
sedangkan rusak masih dapat memberi sebagian pengaruh.[22]
Dasar
perbedaan antara ulama’ hanfiyah dan jumhur ulama’ adalah:
1.
Larangan menurut jumhur ulma’
mengahalangi pengaruh dari suatu akad.
2.
Tidak terdapat syarat yang
ditetapkan syar’i untuk mengakibatkan suatu hukum, mencegah adanya akibat itu.
Adapun menurut pandangan hanafiyah, larangan dalan muamalah tidak menyebabkan
rusaknya yang dilarang itu, kecuali bila larangan itu mengenai hakikat pokok
pada perbuatan yang dilarang sedangkan ketiadaan syarat yang menghalang-halangi
akibat hukum adalah syarat yang melengkapi sebab, bukan untuk semua syarat.[23]
IV.
Kesimpulan
Hukum wadh’i
berbeda dengan hukum taklifi, diantara perbedaan tersbut adalah, jika hukum
taklifi adalah menuntut, mencegah, atau membolehkan perbuatan. maka hukum
wadh’i tidak bermaskud menuntut, melarang, atau membolehkan, tetapi hanya
menerangkan sebab, syarat, mani’ (penghalang), dan adakalanya tentang rukhshah,
azimah, shah dan batal. Hukum
wadh’i terbagi menjadi lima. Hukum wadh’i adakalamya menjadikan sesuati sebagai
sebab, syarat, penghalang, atau mnejadikan adanya keringanan sebagai ganti dari
hukum asal, dan sah atau tidak sah. Pertama sebab, Sebab adalah sesuatu yang
oleh syar’i dijadikan sebagai tanda atau suatu akibat dan hubungan adanya
akibat dengan sebab, serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab. Syarat
adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesuatu itu, dan
tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Mani’ adalah sesuatu yang
adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab.. Rukhsoh adalah keringanan
hukum yang telah di syariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu
yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang di syariatkan karena
ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Sedangkan azimah
adalah hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula
yang tidak terbatas pada keadaan tertentu dan pada perorangan mukallaf
tertentu. Kemudian sah adalah Semua perbuatan mukallaf yang dituntut oleh
syar’i dan semua hukum sebab akibat yang ditetapkanya, bila telah ditetapkan
oleh mukallaf maka syar’i akan menganggapnya sah ataupun juga
batal, artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka syar’i
menghukumi sah, namun jika perbuatan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan
tuntutan dan syariatnya, maka tidak sah menurut syar’i.
V.
Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang
pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan
selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Khudhairi
Biek, Syaikh Muhammad. 2007. Ushul Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani.
Hanafie, Ma. 1957. Ushul Fiqh.
Jakarta; Widjaya. Cet 1.
Khallaf, Abdul
Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh ; Kaidah Hukum Islam.
Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani.
Syarifudin, Amir.
1997. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. Cet 1.
[1] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 320.
[2] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 138.
[3] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu.1997.Cet 1. Hlm 281-283.
[4] Hanafie. Ma. Ushul Fiqh. Jakarta;
Widjaya. 1957. Cet 1. Hlm 20.
[5] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 332.
[6] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 161.
[7] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 333.
[8] Syaikh Muhammad Al Khudhairi Biek. Ushul
Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh.
Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2007. Hlm 111-115.
[9] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 163.
[10] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 164.
[11] Syaikh
Muhammad Al Khudhairi Biek. Ushul Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta;
Pustaka Amani. 2007. Hlm 119-121.
[12] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 338.
[13] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 166.
[14] Syaikh
Muhammad Al Khudhairi Biek. Ushul Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta;
Pustaka Amani. 2007. Hlm 128.
[15] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1.
Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 342.
[16] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 167-169.
[17] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet 1. Hlm 327-332.
[18] Syaikh Muhammad Al Khudhairi Biek. Ushul
Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh.
Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2007. Hlm 140.
[19] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 174
[20] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 175.
[22] Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh ;
Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani. 2003.
Hlm 176.
Komentar
Posting Komentar