AL-FANA’, AL-BAQA’, AL-ITTIHAD, AL-HULUL

Makalah
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Akhlak tasawuf
Dosen Pengampu :
Drs. Miftah Ahmad Fatoni, M.Ag
Disusun
oleh:
M ridlwan (122111095)
Mustolih (122111101)
Nely Sama Kamalia (122111102)
Nihayatul
Ifadhloh (122111103)
Nur
Halimah (122111106)
AHWAL AL-SAKHSYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INTSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO SEMARANG
2013
![]() |
Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul
I.
Pendahuluan
Akhlak
Tasawuf merupakan bentuk ilmu murni yang tergolong dalam Islam. Akhlak dan
Tasawuf mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang
harus berakhlak sehingga dapat dikatakan bahwasanya At tashawwufu nihayatul
akhlaq sedangkan al-akhlaqu bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf,
digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan, dan
tasawuf itu biasanya lebih mengarah pada bentuk batini dibanding dengan bentuk
lahiri, namun tidak dipungkiri pula adanya bentuk lahiri di dalamnya.[1]
Sufisme
dalam pencerapan pengalaman tentang fana’ dan baqa’, seorang
tokoh yang bernama junaid mengemukakan bahwa, “tasawuf adalah membuat engkau
mati di dalam dirimu, dan hidup di dalam diri-NYA.” Dan tokoh tasawuf
lainya yang bernama Abu Ali Juzjani juga mengemukakan pendapatnya bahwa “seorang
sufi (ahli tasawuf) adalah orang yang melupakan dirinya dan hidup dlam cahaya
pandang ilahi yang tidak begitu peduli akan dirinya atau juga sesuatu yang lain”.
Seorang calon sufi pertama kali harus mengikuti persiapan, ia harus mempuyai
iman yang benar, menjauhi perbuatan yang mungkar, menjauhi dosa besar dan kecil
kemudian menjalankan sunnah rasul yang terpuji[2].
Apapun
bentuk pengertian dari tasawuf, seorang sufi, dan kemudian yang berhubungan
dengan fana’ dan baqa’ adalah seluruhnya ingin memperlihatkan
bahwa kita takkan ada tanpa_NYA, dan salah satu bentuk dari perlihatan itu
adalah menyebut diri mereka tidak ada kecuali dzat_NYA. Dan itu adalah seluruh
bentuk pengagungan kepada sang kholik
yang terdapat dalam tingkat tertentu, mungkin dapat dikatakan bentuk
pengagungan tingkat atas, dan dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hal
mengenai fana’ dan baqa’ secara lebih terstruktur dengan
tokohnya, tujuan, dan juga pandangan Al-qur’an mengenai hal itu.
II.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§ Pengertian,
tujuan dan kedudukan Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul!
§ Tokoh
pengembang Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul!
§ Pandangan
Al-qur’an terhadap Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul!
III.Pembahasan
A.
Pengertian, tujuan dan
kedudukan Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul.
Fana’ dalam pengertian harfiah adalah
keadaan dari syai (sesuatu) yang tidak berahir, artinya apabila tetapnya
suatu keadaan telah berahir, dikatakan ia telah mencapai fana’. Dunia
akan mencpai tingkat fana’ dan masa depan akan tetap dalam keadaan baqa’
( wal akhirotu khairun wa abqa), baqa’ adalah yang bukan, dan
menjadi ; dan karenanya tidak menjadi fana’, seperti halnya neraka dan
surga, juga berlaku bagi sesuatu yang belum ada sebelumnya, dan juga tidak akan
ada, sebagai halnya esesnsi tuhan. Dalam istilah tasawuf fana dan baqa’ datang
dengan beriringan, sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli tasawuf.
التصوف
فانون عن انفسسهم و باقون بربهم بحضور قلوبهم مع الله .
Tasawuf itu adalah mereka fana dari
dirinya, dan baqa dengan tuhanya, karena kehadiran hati mereka bersama Allahkl.[3]
Kemudian pengertian hulul, Secara
harifah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya
melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma sebagai
dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan
dalam tubuh itu dilenyapkan. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya
melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia pun cinta
pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari
banyaknya ini.
Al-hallaj berkesmimpulan bahwa dalam
diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan
terdapat sifat ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia
menyatu dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka al-hulul dapat dikatakan
sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah. Dalam hal
ini hulul pada hakikatnnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana
telah disebutkan diatas. Tujuan dari hulul adalah ketuhanan (lahut)
menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada saat
kebatinan seseorang insane telah suci bersih dalah menempuh perjalanan hidup
kebatinan.
Dalam pandangan ulama’ lain, seperti
ibnu taimiyyah, ia menentang paham hulul dan ittihad, yang terjadi pada waktu
fana’, pada waktu lenyap dan hanyut dalam keadaan tidak sadar diri, disebabkan
cinta pada Allah, sebagaimana golongan yang menamakan dirinya ahli hakikat,
dalam islam hal demikian dianggap kufur, menurut ibnu taimiyah. paham mengenai
bentuk penyatuan atau mencintai tuhanya seringkali mengundang berbagai pendapat
hadir dialamnya, dianatranya, untuk mewujudkan wujud itu hanya satu dan bersatu
antara khalik dan makhluk, nmaun bukan seperti paham yang di bawa oleh ibnu
taimiyyah, menurutnya bersatu dengan tuhan itu dalam arti tujuan dan
keindahan,seperti mencintai apa yang dicintai tuhan, membenci ap ayang dibenci
tuhan, jadi hulul atau ittihad dapat bersatu dzatnya dengan tuhan. Menurut ibnu
taimiyyah memanga da perkataan hulul yang dapat diterima pengertianya oleh ahli
sunnah, jika dimaksudkan, ketinggalan bekasa dan sari dalam hati
seseorangsesudah ia mengetahui, jika sari ilmu itu kemudian berbekaspada
lidahnya, mak hali itu menjadi baik, dan jika kemudian berbekas pada anggotanya,
maka hal itu menjadi lebih baik, seorang mu’min yang percaya kepada tuhanya
dengan hati dan anggota badanya, iman itu berkmpul pada hatinya sebagai ilmu
dan sebagai ikhwal, membenarkan dengan hati mentaati dengan hati, dengan
demikian menjadi satu perkataan, lidahnya dengan amal anggota badanya, mak
alalu terjadilah hulul, membenarkan adanya Allah, menyerahkan diri pada Allah,
itu merupakan pandangan dari ibnu taimiyyah. Mungkin pandangan ini berbeda
dengan yang lain, karna wajar saja, mereka memehami dari sisi yang berbeda
pula, namun apapun bentuk dan pandangan dari paham ini, yang jelas adalah salah
satu bnentuk kecintaan seorang hamba
kepafa tuhanya, bentuk pengagungan atas nikmat yang telah diberikanya.[4]
Kemudian disis
lain Kaum mutakallimin menganggap bahwa fana’ adalah proses
menghilangnya sifat syai, sedang baqa’ adalah keabadian
sifat-sifat tertentu, Dalam pengertian lain dijelaskan pula bahwa pengertian fana’
adalah, meninggal dan musnah, dan baqa’ berarti hidup dan selamanya[5].
Mustafa Zahri berependapat bahwa
yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan,
yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam
baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari
alam cipta atau dari alam makhluk.[6]
Dari segi bahasa al-fana
berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya
sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan
antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam,
mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaanya, bukan atas
dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya
benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak, Adapun artinya fana
menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela. Dalam
pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah
lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin sifat sebagai manusia biasa yang
suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan,
sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini,
maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat)
lahir batin.
Sebagai akibat
dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal,
sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat
terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana)
sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam
istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagai mana
dinyatakan oleh para ahli tasawuf, “Apabila
tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqa lah yang kekal”. Tasawuf
itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena
kehadiran hati mereka bersama Allah. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak
yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia.
Fana terdapat dua jenis, fana
sebagai esensi sebagaimana lenyapnya es didalam air, dan fana didalam
sifat, sebagaimana lenyapnya besi didalam api. Pada esensi yang pertama, maka
abdi akan menjadi dia, kemudian pada esensi yang kedua, ia menjadi seperti dia,
fana yang pertama, yang ada didalam dzat hanya hak dari Rasulullah S.A.W
saja, dan tiada yang lain yang memperolehnya. Karna muhamad adalah pengenalan
pertama tuhan sebagaimana diri-NYA. Ini bukanlah sebutan, hanya semata-mata kesadaran. Fana dapat
dicapai dengan beberapa cara, pertama, karan adanya tarikan dari tuhan itu
sendiri. Al-qur’an mengatakan “sebuah
tarikan dari tuhan mempunyai pengaruh yang sama dengan kebajikan tang dilakukan
di dua dunia”, oleh abu said ahrar istilah fana digunakan untuk
melukiskan perasaan sebagai hasil tarikan dan peneyerapan. Kemudian para
mistikus abad pertengahan umumnya bersatu dengan dialektika (kalam) para
pemikir, yaitu dari hugo yang bermazhab St, Victor dari paris, sementara kaum
sufi islam berpegang pada karya hujjatul islam karya imama Al-ghazali,
hugo mengemukakan addanay tiga pilar dalam tubuh manusia, yaitu cogitalio (mujahadah),
meditatio (muraqabah) dan contemplatio (musyahadah). Dalam
kenaikan menuju keilmuan, manusia akan memiliki segala yang ada pada
tuhan, (kendati hanya sebagaian saja). Sesorang
yang melihat bahwa seluruh objek adalah manifestasi nama-nama dari sifat tuhan,
inilah mujahadah, dan kemudian ia menjadi cermin , di dalam mana dunia terpantulkan,
sebelumnya non-ego telah mnejadi cermin, dan kini egonya sendiri yang menjadi
cermin, dan inilah muroqobah, Rumi dengan caranya sendiri pernah
mengatakan sebagai berikut:
Gar tu bar
khizi zi ma wu man dami
Har du alam
pur zi khud bini hami
Aein ta’ayyun
shud hijabi ru-i-dost
Chun ki bar
khizad ta’ayyun jum la ust
Apabila
engkau,
Walau
sekejap, tegak lebih tinggi ketimbang aku dan Engkau
Kan kau
temukan dunia sesak olehmu sendiri
Adala
ta’ayyun
Yang
menabiri wajah temanmu
Apabila
ta’ayyun lenyap
Tinggalah
dia sendiri[7]..
Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi
diri dengan akhlak yang terpuji. Namun fana yang dicari oleh orang sufi
adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan
atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, Menurut al-Qusyairi. Berdasarkan
uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga
yang didasari hanya Tuhan dalam dirinya. Adapun kedudukannya adalah merupakan
hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan juga karena
dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya
menyadari kehadiran tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat
jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan
tuhan). Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad,
yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan
baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan
dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa
tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad
sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh al-Badawi,
yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud
yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara
yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (tuhan) ataau tegasnya antara
sufi dan Tuhan. Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi
telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dengan demikian
jika seorang sufi mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang
dimaksud aku disitu bukanlah sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin
dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.[8]
Tidak seperti
umumnya kita mengartikan kalimat laa ilaha illaAllah sebagai tidak ada
tuhan selain Allah,para sufi mengartikan kata tuhan sebagai realitas, sehinga
kalimat syahadat itu bermakna”tidak ada realitas(haqiqah)yang sejati kecuali
Allah”.Dari sini mereka memahami hanya Allahlah yang real, yang hakiki,
sedangkan yang lainnnya adalah semu dan nisbi.ketika dikaitkan dengan
wujud,maka tuhan adalah satu-satunya
yang betul ada ialah realitas terakhir, yang berarti wujud yang sejati.
Karena itu tedapat identitas antara yang haq yaitu Tuhan dan wujud. Dia
adalah satu satunya wujud yang hakiki,dan Yang haq adalah satu satunya
yang wujud.Dalam konteks ini ulam berbicara tentang kesatuan wujud (wihdat
alwujud),tiada yang lain Yang wujud kecuali
Dia. Pernyataan tiada yang Wujud selain Dia bukanlah sekedar permainan
kata kataAtau basa basi ,tetapi betul betul dihayati dan diyakini sebagi suatu
kenyataan yang tidak bisa diragukan lagi .Bahkan dalam penghayatanya yang
terdalam seorang sufi akan kehilangan kesadaran dirinya.Ia menafikan
keberadaannya dirinya ,inilah yang disebut fana.setelah itu hanya
kehadiran Tuhanlah yang ia rasakan, dan dia hidup dalam hadirat dan keberadaan
tuhan.Inilah yang mereka senut baqo’.dimana seorang sufi hanya akan
merasakan keberadaan tuhan ,sebagai satu
satunya wujud yang hakiki. Salam keadaan yang seperti inilah Al Halllaj
menyatakan ”Ana al Haqq” Yang berarti “aku adalah tuhan(kebenaran)”,
inilah inti tauhid sufistik.
Tanpa mengetahui
maksud dan latar belakang munculnya pernyataan Al Hallaj di atas, salah
paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan .Dalam kenyataan sejarah, Al Hallaj
telah membayar pernyataannya itu dengan nyawanya. Orang menuduhnya telah
menuduhnya menjadi kafir karena pernyataan itu,sedangkan pernyataan itu
dianggap sebagai kesombongan yang tak terampunkan ,karena ia telah mengadakan
klain ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai tuhan. Tetapi orang yang
mengerti apa yang sesungguhnya dari arti ungkapan itu justru akan melihat
didalamnya,sebuah ungkapan kerendahan hati (tawadlu’). Jalal al-Din Rumi
menafsiri pernyataan Hallaj dengan mengatakan “Pernyataan aku tuhan
adalah pernyataan merendah karena dalam hal ini,al Hallaj telah menafikan wujud
dirinya yang nisbi di hadapan wujud
tuhan yang hakiki.Dalam pandangannya,hanya Dia yang wujudnya hakiki,yang betul
betul ada,sedangkan wujud alam yang nisbi tidak lain kecuali bayang bayangNya”.
Sebaliknya,pernyataan ”Aku hamba dan Engkau Tuhan”, dipandang rumi
yang justru menyombongkan,karena dalam hal ini, seorang sufi telah mengafirmasi
wujudnya yang nisbi sebagai yang berhadap hadap dengan wujud yang mutlak,
padahal keberadaannya tidak apa apa di hadapan wujud yang mutlak tersbut.
Pandangan tauhid orang orang sufi yang seperti itu telah melahirkan konsep
konsep wujud yang berbeda beda,sekalipun jauh di lubuknya yang terdalam
terdapat kesatuan yang pengertian,kalau saja kita bisa melepaskan diri kita
dari perbedaan perbedaan formalistik doktrin doktri tersebut,Dengan demikian
maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai “ittihad” (kesatuan mistuk),
di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanan yang panjang untuk
bersatu dengan Tuhannya,atau doktrin “Hulul”.[9]
B.
Tokoh pengembang
Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul
Sebelum
mengetahui dan mengenal siapa tokoh pengembang dari fana’ baqa’ ittihad dan
hulul, tidak ada salahnya kita menengok terlebih dahulu tasawuf iti sendiri
yang disalamanya terdapat fana’ baqa’ ittihad dan hulul, Sejarah Perkembangan
Tasawuf Secara garis besar terbagi
menjadi dua, yakni tasawuf dan zuhud. Keduanya merupakan istilah baru dalam
Islam, sebab belum ada pada masa Nabi. Pada masa beliau, istilah yang populer
adalah sahabat. Ketika Islam berkembang dan banyak orang yang memeluk Islam, dan
terjadi perkembangan strata sosial, maka muncul istilah baru dikalangan
sahabat, yakni diantaranya Qurra’, Ahl al Shuffah, Fuqara’, Tawwabin. Sebagaimana
telah diketahui, bahwa sejarah Islam ditandai dengan peristiwa tragis, yakni
terbunuhnya kholifah Usman. Dari peristiwa ini, menyebabkan sahabat yang masih
ada kembali kejalan yang benar. Inilah benih tasawuf yang paling awal. Masa
Pembentukan tasawuf itu sendiri berawal pada abad 1 H bagian kedua, muncul
Hasan Basri dengan ajaran khauf. Kemudian pada akhir abad 1H diikuti Rabi’ah
Adawiyah dengan ajarannya hub al ilah. Selanjutnya pada abad 2 H, Tasawuf tidak
banyak berbeda dengan abad sebelumnya,yakni sama dalam corak zuhudnya,meskipun
penyebabnya berbeda (lebih bercorak Fiqh).
a.
Masa Pengembangan
Tasawuf pada
abad 3 H dan 4H sudah mempunyai corak yang berbeda sekali dengan abad
sebelumnya.Pada abad ini bercorak ke fana’an (ekstase) yang menjurus ke
persatuan hamba dan khalik. Pada abad 3H dan 4H terdapat dua aliran.aliran
tasawuf sunnah yaitu bentuk tasawuf yanng membantengi dirinya dengan Alqur’an
dan al Hadist.tasawuf semi falsafi
cenderung menuju pada pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad
atau hulul).
b.
Masa konsolidasi
Tasawuf pada
abad 5 H mengadakan konsolidasi.Ditandai dengan Kompetisii antara tasawuf sunni
dan tasawuf semi falsafi.kemenangan tasawuf sunnii karena menangnya teologi ahl
sunnah wa al jama’ah yang dipelopori Abu al Hasan Al Asy’ari.
c.
Masa Falsafi
Abad VI H muncul
tasawuf falsafi,yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat.Pada abad
VI dan VII H ,muncul orde orde(tarekat)sufi.Pondok pondok tersebut merupakan
oase oase di tengah tengah gurun pasir
kehidupan duniawi.
d.
Masa pemurnian
A.J.Arberry
menyatakan bahwa pada masa Ibn Araby,Ibn Faridl,dan Al Rumy adalah masa
keemasan gerakan tasawuf ,secara teoritis dan praktis.Ibnu Taimiyah lebih
cenderung bertasawuf sebagai mana yang pernah diajarkan oleh Rasullah,yakni
menjelaskan dan menghayati ajaran Islam,tanpa embel embel lain,tanpa mengikuti
aliran tarekat tertentu ,dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan
sosial,sebagaimana manusia pada umumnya.Tasawuf ini yang cocok untuk
dikembangkan di masa modern seperti sekarang.
Faktor
Lahirnya Tasawuf juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah: Pertama, ajaran Islam sebagaimana
terkandung dalam kedua sumbernya,al Qur’an dan As Sunnah.Kedua sumber ini
mendorong untuk hidup wara’ dan taqwa.Banyak ayat Al Qur’an yang mendorong
umatnya untuk mempunyai sifat terpuji.Dan berbagai ayat banyak sifat surga dan
neraka,agar umat termotivasi dan menjauhkan diri dari neraka. Kedua, Reaksi
rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi di kalangan umat Islam sendiri.Seperti perang
saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Dengan adanya fenomena
fenomena sosial politik seperti itu ada sebagaian masyarakat atau ulama yand
tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada ,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat
dalam pertikaian tersebut. Ketiga, Kependetaan (rabbaniyah) agama
Nasrani ,sebagai konsekuensi agama yang lahir sebelum Islam ,pemeluknya tersebar
di seluruh negara,dan sikap sikapnya mempengaruhi masyarakat agama
lain,termasuk Islam. [10]
Setelah kita mengetahui asal mula
tasawuf itu bagaimana, kemudian kita menuju pada fana’ baqa, dan ittihad,
siapakah tokoh dibaliknya?, Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga
Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid. Nama lengkapnya
adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir diwilayah Qum di Persia Barat
Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah yang menganut
keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat
di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahidah (orang yang meninggalkan
keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama
Majusi[11]
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu
kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya
dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin
(Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal
menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan
dengan tahun 875 M. Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi
ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat
atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya : “Maha suci Aku, Maha suci
Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma
(buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj. Setelah ia wafat para ahli
sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan
sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormat terhadap al-Bustami meski bukan
berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi. Pengikut al-Bustami
kemuidian mengembangkan ajaran tasawuf dengan membentuk suatu aliran tarikat
bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur.
Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’,
Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh.
Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh
masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang
memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubah pada
makamnya pada tahun 713 H / 1313 M, atas saran penasehat agama sultan bernama
Syaikh Syafaruddin. Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf
pada abad ketiga hijriah. Pertama, aliran sufi yang pendapat-pendapatnya
moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan
kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para
ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah
aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering
mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat,
yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada
digerbang ittihad, Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan
Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung
metafisis. Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan
Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa
faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.[12]
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
Al-Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana
dan baqa. Nama kecilnya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa
dalam hati kaum sufi seluruhnya.Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai
baqa maka dari mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak
hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya
sebagai tuhan padahal sesungguhnya ia tetap manuisia biasa, yaitu manusia yang mengalami
pengalaman bathin bersatu dengan tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah: “tidak
ada tuhan melainkan saya”. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alngkah besarnya
kuasaku”. Selanjutnya Abu Yazid Mengatakan “Tidak ada tuhan selain aku,
maka sembahlah aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan bahwa: seseorang lewat
dirumah Abu yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya:” siapa yang engkau
cari?” Jawabnya:”Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “pergilah”. Dirumah i
ni tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”Ucapan yang keluar
dari mulut abu yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu
diucapkannya melalui diri tuhan dalam Ittihad yang dicapainya dengan
tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai tuhan,
namun meleburkan dirinya dalam dzat-NYA.
Hulul, tokoh yang
mengembangkan paham al-hulul adalah al-hallaj. Nama lengkapnya adalah
Husein Bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M), dinegri Baqdhad,
salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di
Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia sudah belajar pada seorang
sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Ab-bashrah di Negri Ahwaz.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara, akibat
onflik dengan ulma’ fiqh, pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil, namun
setelah satu tahun dalam penjara, ia kemudian dapat melarikan diri berkat
bantuan seorang sifir penjara, ia bersembunyi di daerah ahwaz selama empat
tahun,namun karna kekokohanya dalam pandangan hululnya, ia ditahan lagi selama
delapan tahun, kemudian hakim memutuskan untuk menghukum gantung, dan
menyalibnya, sebelum ia dihukum mati. Namun ini merupakan satu dari sekian
banyak endapat tentang matinya hallaj, karna jika memang ia benar dibunuh karna
pandanganya menegnai hak tasawuf, megapa para tokoh sufi lainya tidak ikut
dibunuh juga?..hal ini masih menjadi kontroversional. Siapakah yang salah dan
yang benra dalam hal ini hanya Allah lah yang tahu, hukum akhratlah yang
nantinya akan mengadili. Dalam paham hulul yang dikemukakan oleh hallaj, dapat
di petik dua kesimpulan bahwa, aham al hulul merupakan pengembangan atau bentuk
lain dari paham mahabbah, hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang
dikemukakan oleh hallaj. Kemudian yang kedua, adanya ittihad atau kesatuan
rohaniah. Perbedaan antara ittihad al-bustami dan al hulul hallaj adalah,dalam
ittihad yang dilihat adalah satu wujud, sedang dalam al hulul ada dua wujud,
tetapi bersatu dalam tubuh. Ketika al hallaj mengatakan ana al haqq (aku
hanya satu dari yang benar), sebenarnya bukan rih al hallaj yang mengatakan,
tetapi roh tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al hallaj[13]
C. Pandangan
Al-qur’an terhadap Al-Fana’, Al-Baqa’, Al-Ittihad, Al-Hulul
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju
Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 110 yang
berbunyi:
ö@è%
!$yJ¯RÎ)
O$tRr&
×|³o0
ö/ä3è=÷WÏiB
#Óyrqã
¥n<Î)
!$yJ¯Rr&
öNä3ßg»s9Î)
×m»s9Î)
ÓÏnºur
(
`yJsù
tb%x.
(#qã_öt
uä!$s)Ï9
¾ÏmÎn/u
ö@yJ÷èuù=sù
WxuKtã
$[sÎ=»|¹
wur
õ8Îô³ç
Íoy$t7ÏèÎ/
ÿ¾ÏmÎn/u
#Jtnr&
ÇÊÊÉÈ
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".”( Q. S.
Al-Kahfi,: 110).
Paham ittihad dan hulul ini juga
dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata:
“Ya Tuhan, bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah
dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah
swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah
atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan
beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana),
meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat
Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini
juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:[14]
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S.
Al-Rahman: 26-27).
Surat-surat
ini merupakan bukti secara tidak langsung dari kepedulian Allah dengan bentuk kesufian
umatnya.
IV. Kesimpulan
Filosofi pembaharuan islam dimulai
ketika mereka sadar semakin tertinggalnya islam dengan peradaban yang tak bisa
ternafikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa, Fana’ dalam pengertian harfiah
adalah keadaan dari syai (sesuatu) yang tidak berahir, artinya apabila
tetapnya suatu keadaan telah berahir, dikatakan ia telah mencapai fana’.
Dengan
demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah
lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan
maksiat dari diri manusia. Sedangkan adalah baqa adalah kekalnya
sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan
diri dari dosa dan maksiat. Dengan
demikian maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai “ittihad” (kesatuan
mistuk), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalanan yang panjang
untuk bersatu dengan Tuhannya,atau doktrin. Kemudian al-hulul dapat
dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah.
Abu
Yazid al-Bustami adalah seorang yang dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’,
al-Baqa’, dan al-ittihad, sedangkan Hulul, tokoh yang
mengembangkannya adalah al-hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein Bin Mansur
al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M). Al-qur’an
juga memberikan penjelasan tentang hal sufisme, dengan bukti diantaraya
penjelasan ayat diatas, berarti dapat kita simpulkan bahwa hal sufisme juga
sangat diperhatikan oleh Allah yang dapat kita lihat dalam firman-NYA.
V. Penutup
Alhamdulillah
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing
kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya
kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan
hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang
tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi pemakalah,
dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu
membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamiin.


o
Abu bakar, 1993, pengantar
sejarah sufi dan tasawuf, solo, ramdhani, cet 7.
o
Abudin nata, 2000, Akhlak
tasawuf, jakarta; PT raja grafindo persada, cet 3,
o
Amin Syukur dan
Masyharuddin, 2002, Intelektualisme
Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al Ghazali, Semarang: Pustaka
Pelajar
.

o
Khan shahib, 1987, Cakrawala
Tasawuf, jakarta; rajawali.
o
Muhamad Abd Haq
Anshari, tt, merajut tradisi syari’at
dengan sufisme, jakarta; PT raja grafindo persada, cet 1.
o Mulyadhi
Kartanegara, tt, menyelami lubuk
tasawuf, jakarta: Erlangga.
o http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-hulul-dan.html,
di akses pada tanggal 13 maret 2013, pukul 14:36.
o 
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html,
di akses pada tanggal 14 Maret 2013, pukul 14:48.


[1] http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-hulul-dan.html, di akses pada tanggal 13 maret 2013, pukul 14:3
[6] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html,di
akses pada tanggal 14 maret 2013, pukul 14:37
[8]http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-hulul-dan.html,
di akses pada tanggal 13 maret 2013, pukul14:36.
[12] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/al-fana-al-baqa-al-ittihad.html,
di akses pada tanggal 14 Maret 2013, pukul 14:48.
[14] http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-hulul-dan.html,
di akses pada tanggal 13 maret 2013, pukul 14:36.
Komentar
Posting Komentar