PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYI'AH
PEMIKIRAN POLOTIK ISLAM SYI’AH
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : Dr. H. Imam Yahya., M.Ag.
Disusun oleh:
M Fahrusin (122111089)
Mustolih (122111101)
Nihayatul Ifadhloh (122111103)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
Pemikiran Politik Islam Syi’ah
I.
Pendahuluan
Politik adalah suatu hal yang wajar pada sebuah negara (agama),
tidak terkecuali dalam agam islam yang sangat terkenal dengan
golongan-golonganya, seperti sunny, syi’ah khawariz, dll.
Politik islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah islam yang
sangat multiinterpretatif (mempunyai banyak
pandangan dan tafsiran). Hampir setiap muslim percaya akan pentingnya
prinsip-prinsip islam dalam kehidupan politik, dan karena sifat islam yang
multiinterpretatif itu tidak akan pernah ada pandangan tunggal mengenai
bagaimana seharusnya islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh
yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis
pemikiran dan praktik politik islam, ada banyak pendapat yang berbeda, bahkan
saling bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara islam dan politik[1]. Kekeliruan konsepsi mengenai
fungsi antar agama dan politik dalam budaya islamadalah anggapan bahwa dalam
kenyataan sejarah setiap sikap dan pranata politik dikalangan kaum muslimin
direstui oleh islam. Seringkali yang trejadi adalah kebalikanya, yaitu dlam
sebagaian besar sejarahnya, mayoritas kaum muslim telah hidup dibawah
rejim-rejim yang sedikit sekali mengahrgai norma-norma tersebut, dan yang
menegakkan syari’ah hanya sepanjang syari’ah tersebut mengabsahkan kekuasaan
mereka dalam andangan kaum muslimin[2].
Mengingat hal ini, hampir tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesadaran
muslim mempunyai kecenderungan tertentu kepada politik yang berakar langsung
pada semangat ajaran-ajaran islam. Dalam beragamnya politik islam itu diantaranya
terdapat politik islam sunny dan syi’ah yang didalamnya seringkali terdapat
setumpuk pandangan yang tidak selalu selaras dalam hal politik, sejarah, dan
sosial, yang mana nantinya pemakalah akan membahas hal tersebut didalam
pembahasaan berikut.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§ Gagasan politik
sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam !
§ Kaitan sejarah,
sosial, dan politik sunni syi’ah!
III.
Pembahasan
A.
Gagasan politik sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam
Sejatinya sejarah manusia tidak
terlepas dari jeratan wacana kepemimpinan politik . Maka untuk maksud
inilah kalangan sunni maupun syi’ah memiliki pandangannya yang berbeda dalam
merumuskan konsep negara dan termasuk siapa yang berhak duduk sebagai kepala
negaranya. perbedaan fundamental antara kedua aliran ini tidak terletak pada
persoalan rukun agama (ushul), akan tetapi
terletak pada ketidaksamaan cara pandang masing-masing dalam melihat
proses pergantian kepemimpian politik ( suksesi ) dari nabi kepada orang yang
setelahnya. Sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya melahirkan
terminologi konsep kepemimpinan yang
berbeda: kalangan sunni menyebutnya dengan konsep “khilafah” sedangkan
syi’ah menamakan dengan konsep “imamah”.[3]
Ketika
nabi Muhammad SAW wafat, kemudian para sahabat memikirkan siapa yang akan
memjadi pengganti nabi di kemudian hari, dan kemudian sebagian sahabat menunjuk
Abu Bakar, namun sebagian lagi menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib, mereka
beranggapan bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah adalah Ali, karna Ali adalah
sepupu juga menantu nabi, inilah titik awal berdirinya syi’ah, yang mana
golongan yang sangat memprioritaskan Ali. Golongan syi’ah semakin berkembang
pada akhir pemerintahan usman, karena mereka mengangap pemerintahan pada masa
usman tidak mampu mengurusi negara, kemudian golongan ini semakin berkembang
ketika Ali menjabat sebagai kholifah ke empat.[4]
Karena
dalam persaingan yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw, Ali dikalahkan
oleh lawan-lawanya, maka reaksi mula-mula dari para pengikutnya, kaum syi’ah
hanya terbatas pada penyerangan terhadap kesalahan-kesalahan bertindak tertentu
dari tiga khalifah pertama, sebagai bukti balik bagai hak kepenerusan Ali yang
sah. Mungkin dapat dikatakan masuk akal bahwa kiranya jika orang menduga bahwa
perselisihan-perselisihan doktrinal yang timbul kemudian, lahir dari
serangan bentuk-bentuk penyalahan ini.
Dan diantara kritik syi’ah trehadap tiga kholifah pertama diantaranya adalah;
1.
Abu bakar dianggap merampas hak fatimah yang sah atas warisan nabi
Muhamad, Abu bakar menolak menyerahkan harta tersebut kepada Ali dengan
mengingatkan fatimah atas sabda Rasulullah, “tak seorangpun yang akan
menjadi ahli warisku; apa yang aku tinggalkan menjadi milik ornag miskin”.
2.
Larangan Umar atas pernikahan sementara (mut’ah), menurut
kaum syi’ah hal itu tidak benar.
3.
pada masa utsman malah semakin membuat mereka lebih mudah untuk mengkritik
pemerintahan, karena dikalangan sunni sendiri juga terdapat pandangan yang sama
tentang kepemimpinan ustman yang lebih ke arah nepotisme, yang ditujukan
dengan pengangkatan pada kerabat-kerabatnya pada jajaran pemerintahan.[5]
Perkembang
syi’ah yang paling pesat salah satunya berada dikalangan orang-orang persia.
Budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai orang suci masih sangat
kuat dan mengakar dikalangan bangsa persia waktu mereka menerima islam. Dengan
latar belakang budaya tersebut sama dengan perlakuan mereka terhadap raja dan
keluarganya, dan itu mempengaruhi cara pandang meraka, bahwa sepeninggal nabi
penggantinya harus dari keturunan nabi, dan harus di hormati. Kaum syi’ah dalam
hal ini mengatakan pendapatnya bersumber pada hadits nabi yang berbunyi;
اني تارك فيكم الثقلين :كتاب الله
وعترتي
“aku tinggalkan diantara kalian dua
kepercayaan yang berat, kitabullah dan keturunanku.” (shahih muslim, jilid
VII, hlm 122).
Syi’ah
terpecah dan menjadi kelompok-kelompok tersendiri, perpecahan itu disebabkan
oleh berbagai faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan prinsip pemahaman.
Diantara pecahan dari golongan tersebut terdapat kelompok syi’ah yang ekstrem yaitu
al-sabaiyah yang menuhankan Ali, pemimpin kelompok ini adalah Abdullah Bin
Saba, dan kelompok ini dianggap oleh beberapa golongan telah keluar dari islam.
Dibalik adanya kelompok syi’ah yang ekstrem juga terdapat kelompok syi’ah yang
mana pemikiranya hampir sama dengan Ahl al-sunnah wal jama’ah (sunni), dan
diantara pokok-pokok pendirianya adalah:
a.
Imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menutup
kemungkinan jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat.
b.
Imam tidak ma’sum, karena imam juga manusia yang berbuat
salah dan juga dosa.
c.
Tidak ada imam yang bersembunyi (jika ada masalah dan tidak sanggup
menghadapi) yang diliputi oleh berbagai misteri.[6]
Tujuan politik
utama syi’ah kebanyakan adalah memiliki pemimpin sejati yang diakui dan
dipatuhi. Dalam pandangan sunni dan syi’ah mengenai kepemimpinan agama juga
termasuk otoritas politik, melibatkan berbagi konsepsi tentang sifat dasar
otoritas dan menggunakan berbagai metode argumentasi. Para ulama syi’ah,
khusunya fuqoha tidak hanya menjadi hal legal-moral, namun juga menjadi wakil
imam yang tersembunyi.[7]
Dikalangan
kelompok syi’ah hampir tidak dikenal bentuk pemisahan atara negara dan agama,
karna setiap bentuk ritual politik disitupun akan ada ritual keagamaan, seperti
pada saat pemilihan pemimpin yang mereka menyebutnya dengan imamah, mereka
menganggap bahwa yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah dari keturunan
nabi Muhamad. Mungkin disini dapat dilihat bahwa syi’ah tampaknya lebih
politisi jika dibandingkan dengan sunni, karna latar belakang syi’ah pun
(secara tidak disadari) lahir dari faktor politis (kekuasaan). Berbagai pecahan
golongan dari syi’ah mempunyai keyakinan dan opini yang berbeda, seperti halnya
tentang siapa yang seharusnya menjadi imam pada masa tertentu, satu-satunya
persamaan dari sekian banyak pecahan golongan kelompok syi’ah adalah mereka
meyakini bahwa imamah merupakan suatu keniscayaan dan perilaku muslim.
Bagi kelompok
syi,ah kekholifahan abasiyah adalah perampas kekuasaan mereka, karna dengan
dalih pemimpin yang sejatinya/imamah (syi’ah) ada dalam kelompok mereka dan
bersembunyi. Mereka percaya nantinya imam itu akan muncul, oleh sebab inilah
syi’ah menarik diri dari kehidupan komunal (yang berhubungan dengan umum ‘negara’).
Namun dalam konsep politik sunni mereka
lebih mengarah pada perlindungan kekholifahan abasiyah.
Untuk menjadi
imam seseorang tidak perlu harus ma’sum, seperti yang disyaratkan oleh
syi’ah, ia hanya perlu “memiliki pandangan yang tegas tentang perang
(menegakkan perselisihan)”. karaktersitik umum dan signifikan dari pemikiran
sunni adalah bahwa mereka berkonsep legalistik.[8]
Imamah adalah
institusi yang dilantik secara ilahiyah, mereka menganggap bahwa hanya
Allah yang tahu siapa yang akan menjadi pemimpin mereka, dan mereka beranggapan
bahwa hanya kelompok mereka yang mampu menujuk, karena mereka percaya Allah
akan memeberikan mereka arahan, pengetahuan akan hukum dan keadilan adalah dua
syarat yang mendasar dalam permasalahan imamah. Konsep politik syi’ah yang
berpusat pada imam yang secara nyata (gambaranya) salah satunya ada di negara
Iran dan persia.[9]
Pada
dasarnya konsep Politik Sunny mulannya merupakan sekelompok ulama’ yang
berpendirian bahwa orang- orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah dan mu’tazilah
telah banyak menyeleweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah
menyeleweng dari “sunnah nabi”. Para kelompok ulama’ ahlu sunnah tersebut
kemudian menyebarluaskan ajarannya tersebut. akan tetapi kesempatan pada suatu
waktu digunakan oleh para penguasa untuk menjadi alat politiknya, yang nantinya
akan memproklamirkan kalangan sunny, yang secara otomatisa akan berdampak pada
partai kelompok sunny dalam negara. Dan
inilah awal mula kelompok ahlu sunnah dipergunakan untuk menjadi alat politik. Dalam
membahas tentang politik maka tidak jauh dalam pembahasasn tentang pemerintahan,
pemerintahan menurut orang sunny adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan
manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup
berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.[10]
Dalam
bentuk aslinya, perdebatan sunny syi’ah tidaklah berkaitan dengan ajaran-ajaran
pokok agama. Namun dengan seiring berlakunya waktu, perdebatan tersebut telah
merosot ke arah yang lebih teologis, dan hal itu akan mempengaruhi keyakinan
dan sikap dasar tertentu secara tidak langsung.[11]
Mungkin
dari bentuk politik sunny syi’ah, istilah-istilah kunci politik mereka adalah
sebagai berikut: 1)sunny; khilafah, ijma’ dan bay’ah. 2) syi’ah; imamah,
wilayah dan ;ishmah. Inilah tiga kecenderungan politik yang utama
dari masing-masing golongan. Kaum syi’ah menggunakan gelar imamah pada
pemerintahanya, sedangkan sunny dengan kholifahnya, kemudian kaum sunny
menggunkan ijma’ dan syi’ah menerima keabsahan ijma’ degan syarat mencakup pendapat
dari imam yang ma’shum.[12]
B.
Kaitan sejarah, sosial, dan politik sunni syi’ah
Siapakah pemimpin masayarakat setelah rosulullah wafat? Baik syi’ah
mauun sunni setuju bahwa umat sedang membutuhkan seorang pemimpin. Disinilah
awal mula dari perselisihan antar syi’ah dan sunni, kalangan syi’ah mengatakan
bahwa nabi sendiri yang memilih penggantinya dan mengumumkan bahwa setelah
beliau imam Ali (sayyidina ali) akan mengambil kendali ditanganya tas berbagai
urusan kaum muslimin. Kalangan sunni yang memiliki logika berbeda tidak
menerima golongan ini, menurut mereka nabi tidak merencanakan orang khusus
sebagai penggantinya, karna hali itu merupakan tugas kaum muslim sendiri. Satu
hal pokok yang dapat diterimam orang sunni atas orang syi’ah adalah saat orang
sunni memiliki pemikiran yang sama bahwa setelah nabi wafat umat membutuhkan
seorang pemimpin, meskipun orang syi’ah mengatakan bukan kholafah, tapi imamah.
Kaum sunni tidak mempercayai bentuk imam yang diyakini kaum syi’ah,
kaum sunni percaya bahwa nabi menyampaikan seluruh hal yang berkaitan dengan
pengetahuan (agama) kepada seluruh umat, namun, kaum syi’ah mempercaya
sebaliknya, mereka mendasarkan argumenya atas suatu sabda nabi tentang
sayyidina Ali;
“wahai manusia, setelah aku, kembalikan segala urusan
agamakepada Ali dan tanyailah dia dari para penggantiku yang lain mengenai apa
saja yang hendak kalian ketahui”.
Orang-orang syi’ah mengatakan bahwa imamah mmepunyai arti pemerintahan yang mana pemilihan pemimpinya
adalah melalui penunjukkan oleh pemimpin
yang sebelumnya. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan kaum sunni bahwa
pemilihan seorang pemimpin adalah dengan melibatkan masyarakat, atau hal ini
lebih dikenal dengan demokrasi.[13]
Pada sisi lain bentuk keterikatan antara sunni dan syi’ah dapat
kita lihat pada kepercayaan mereka yang sama-sama mengakui bahwa selama 23
tahun masa kenabian nabi muhamad tidak
selalu memberitahukan kepada umat mengenai semua peraturan islam. Kaum sunni
mengatakan bahwa sebagaiman terjadinya, nabi meninggalkan masalah dan berangkat
meninggalkan kehidupan dunia ini (penulis buku menerjemahkan kalimat ini dengan
salah satunya contoh “nabi tidak mengatakan sebelumnya siapakah yang akan
menjadi penggantinya kelak”). Namun kaum syi’ah berbeda pandangan, bahwa
nabi teleh memilih siapa penggantinya kelak yaitu saayyidina Ali. Dan lagi-lagi
mereka mengataknya dengan sebuah hadits nabi yang mneunjang pemikiran pendapat
mereka, seperti;
سلموا
على علي بامرأة الموءمنين
“salam
untuk Ali dan sebutlah dia ‘Amirul Mukminin”.
Namun hadits ini sebagian ulama’ mengatakan tidak dapat diterima
sebagai mutawatir, dengan alasan bahwa jadits ini dimabil dari kumpulan kitab
golongan syi’ah sendiri, seperti kitab ‘Abaqat Dan Al-Ghadir. [14]
Terlepas dari semua perselisihan antara orang sunni dan syi,ah
terdapat pula dari para pemuka keduanya yang mana sama-sama memajukan gagasan
mulia persatuan islam, beliau adalah ayatullah burujardi dari kalangan syi’ah
dan allamah syeikh abdul majid dan allamah syeikh muhamad syaltut dari kalangan
sunni. Mereka menganggap bahwa berbagai mazhab yang ada pada agama islam
kendati teologi mereka berbeda akan membentuk sebuah front yang akan
siap melawan musuh-musuh berbahaya islam. Disini pengertian front berbeda
dengan pengertian golongan, jika golongan didalamnya harus ada keselarasan
pemikiran, namun dalam front berbeda, justru dengan adanya perbedaan
pandangan didalamnya akan membuat mereka bersatu dalam mencari titik tengahnya,
yang mana akan semakin memperkuat sisi
keislamanya, namun pemikiran semacam ini tidakalah dapat diterima oleh semua,
jadi wajar saja jika masih banyak hal yang tak selaras (dari pemikiran
pemakalah).[15]
IV.
Kesimpulan
Gagasan
politik sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam dapat dilihat dari bentuk
penyebutan sebuah kepemimpinan dari dua golongan tersebut, yaitu khilafah
dari kalangan sunni dan imamah dari golongan syi’ah. Pandangan mereka
mengenai dua konsep pemerintahan mestinya sama-sama mempunyai argumen yang
mendukung apa yang mereka konsepkan. Politik dua golongan tersebut sama-sama
mempunyai tujuan untuk menegakkan agama juga negara, hanya saja mereka
mempunyai pandangan yang berbeda untuk mencapai kearah tujuan tersebut. Dalam
pandangan sunni dan syi’ah mengenai kepemimpinan agama juga termasuk otoritas
politik, melibatkan berbagi konsepsi tentang sifat dasar otoritas dan
menggunakan berbagai metode argumentasi. Para ulama syi’ah, khusunya fuqoha
tidak hanya menjadi hal legal-moral, namun juga menjadi wakil imam yang
tersembunyi. Namun dalam sunny hal semacam itu tidak berlaku.
Kaitan
sejarah antara sunny dan syi’ah terletak pada bagaimana mereka sama-sama
mempunyai pemikiran tentang suatu bentuk pemerintahan setelah nabi muhammad
wafat. Namun cara pandang yang berbedalah yang tidak menyelaraskan pemikiran
dua golongan tersebut. Kaitan sosial antara sunni dan syi’ah mungkin dapat
dilihat tentang bagaimana dua golongan tersebut mempunyai pemikiran yang salah
satunya tentang masalah bagaimana pengangkatan seorang pemimpin itu?, dalam
sunny mungkin lebih dikenal dengan bentuk demokratis. Berbeda dengan syi’ah
yang mempunyai sistem penunjukkan yang berlandaskan keilahian (kata mereka),
karna mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi seorang pemimpin hanya Allah
lah yang akan mennjuk lewat nabi muhammad, dan mereka menganggap bahwa Ali lah
yang ditunjuk. Dan dalam kaitan politik sunni dan syi’ah sama-sama mempunyai
pemikiran untuk menegakkan pemerintahan dengan memplokamirkan golongan mereka
untuk dapat andil mengatur negara.
V.
Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak
langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah
sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan
segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para
pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun
bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah
kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.....
DAFTAR
PUSTAKA
Black, Antony. 2006.
Pemikiran Politik Islam (The History Of Islamic Political Thought),
Penj; Abdullah Ali Dan Mariana Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta. Cet
1.
Effendy,
Bahtiar. 1998. Islam Dan
Negara ‘Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia’.
Jakarta; Paramadina.
Enayat, Hamid.
1988. Modern Islamic Political
Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century
(Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, Cet
1.
Khon, Abdul
Majid. 2011. Pemikiran Modern Dalam Sunnah. Jakart;Kencana Media Group.
Cet 1.
Mutahhari, Murtadha.
1991. Imamah Dan Khilafah. Jakarta; Cv Firdaus. Cet 1.
Sjadzali, Munawir.
1990. Islam dan Tata Negara. Jakarta; UI-Press.
[1] Bahtiar
Effendy. Islam Dan Negara ‘Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam
Di Indonesia’. (Jakarta; Paramadina, 1998). Hlm 11.
[2] Hamid Enayat. Modern
Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The
Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat.
Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 2.
[3] Abdul Majid
Khon. Pemikiran Modern Dalam Sunnah. Jakarta; Kencana Media Group,
2011.Cet 1. Hlm 47.
[4] Antony Black. Pemikiran
Politik Islam (The History Of Islamic Political Thought), Penj; Abdullah
Ali Dan Mariana Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta, 2006. Cet 1. Hlm
90.
[5] Hamid Enayat. Modern
Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The
Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat.
Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 48.
[6] Munawir
Sjadzali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta; UI-Press, 1990). Hlm 211.
[7] Antony
Black. Pemikiran Politik Islam (The
History Of Islamic Political Thought), Penj; Abdullah Ali Dan Mariana
Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta, 2006. Cet 1. Hlm 90.
[8] Mujar Ibnu
Syarif, Khamami Zada. Fiqh Siyasah. Jakarta; Erlangga, 2008. Hlm 52.
[9] Mujar Ibnu
Syarif, Khamami Zada. Fiqh Siyasah. Jakarta; Erlangga, 2008. Hlm 211
[10]//http.indonesia-anam.blogspot.com/www.indonesia-anam.blogspot.com , pada selasa 24 November 2009, 05.50
[11] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of
The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan
Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 47.
[12] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of
The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan
Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 9.
[13] Murtadha
Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 27-50.
[14] Murtadha
Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 80.
[15] Murtadha
Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 157.
Komentar
Posting Komentar