PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SYI'AH

PEMIKIRAN POLOTIK ISLAM SYI’AH
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : Dr. H. Imam Yahya., M.Ag.

http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg


Disusun oleh:
M Fahrusin               (122111089)
Mustolih                    (122111101)
Nihayatul Ifadhloh   (122111103)

AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013

Pemikiran Politik Islam Syi’ah
I.                   Pendahuluan
Politik adalah suatu hal yang wajar pada sebuah negara (agama), tidak terkecuali dalam agam islam yang sangat terkenal dengan golongan-golonganya, seperti sunny, syi’ah khawariz, dll.
Politik islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah islam yang sangat  multiinterpretatif (mempunyai banyak pandangan dan tafsiran). Hampir setiap muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip islam dalam kehidupan politik, dan karena sifat islam yang multiinterpretatif itu tidak akan pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik islam, ada banyak pendapat yang berbeda, bahkan saling bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara islam dan politik[1]. Kekeliruan konsepsi mengenai fungsi antar agama dan politik dalam budaya islamadalah anggapan bahwa dalam kenyataan sejarah setiap sikap dan pranata politik dikalangan kaum muslimin direstui oleh islam. Seringkali yang trejadi adalah kebalikanya, yaitu dlam sebagaian besar sejarahnya, mayoritas kaum muslim telah hidup dibawah rejim-rejim yang sedikit sekali mengahrgai norma-norma tersebut, dan yang menegakkan syari’ah hanya sepanjang syari’ah tersebut mengabsahkan kekuasaan mereka dalam andangan kaum muslimin[2].
Mengingat hal ini, hampir tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesadaran muslim mempunyai kecenderungan tertentu kepada politik yang berakar langsung pada semangat ajaran-ajaran islam. Dalam beragamnya politik islam itu diantaranya terdapat politik islam sunny dan syi’ah yang didalamnya seringkali terdapat setumpuk pandangan yang tidak selalu selaras dalam hal politik, sejarah, dan sosial, yang mana nantinya pemakalah akan membahas hal tersebut didalam pembahasaan berikut.
II.                Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§  Gagasan politik sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam !
§  Kaitan sejarah, sosial, dan politik sunni syi’ah!
III.             Pembahasan
A.                Gagasan politik sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam
Sejatinya sejarah manusia tidak  terlepas dari jeratan wacana kepemimpinan politik . Maka untuk maksud inilah kalangan sunni maupun syi’ah memiliki pandangannya yang berbeda dalam merumuskan konsep negara dan termasuk siapa yang berhak duduk sebagai kepala negaranya. perbedaan fundamental antara kedua aliran ini tidak terletak pada persoalan rukun agama (ushul), akan tetapi  terletak pada ketidaksamaan cara pandang masing-masing dalam melihat proses pergantian kepemimpian politik ( suksesi ) dari nabi kepada orang yang setelahnya. Sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya melahirkan terminologi konsep kepemimpinan  yang berbeda: kalangan sunni menyebutnya dengan konsep “khilafah” sedangkan syi’ah menamakan dengan konsep “imamah”.[3]
Ketika nabi Muhammad SAW wafat, kemudian para sahabat memikirkan siapa yang akan memjadi pengganti nabi di kemudian hari, dan kemudian sebagian sahabat menunjuk Abu Bakar, namun sebagian lagi menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib, mereka beranggapan bahwa yang lebih berhak menjadi khalifah adalah Ali, karna Ali adalah sepupu juga menantu nabi, inilah titik awal berdirinya syi’ah, yang mana golongan yang sangat memprioritaskan Ali. Golongan syi’ah semakin berkembang pada akhir pemerintahan usman, karena mereka mengangap pemerintahan pada masa usman tidak mampu mengurusi negara, kemudian golongan ini semakin berkembang ketika Ali menjabat sebagai kholifah ke empat.[4]
Karena dalam persaingan yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw, Ali dikalahkan oleh lawan-lawanya, maka reaksi mula-mula dari para pengikutnya, kaum syi’ah hanya terbatas pada penyerangan terhadap kesalahan-kesalahan bertindak tertentu dari tiga khalifah pertama, sebagai bukti balik bagai hak kepenerusan Ali yang sah. Mungkin dapat dikatakan masuk akal bahwa kiranya jika orang menduga bahwa perselisihan-perselisihan doktrinal yang timbul kemudian, lahir dari serangan  bentuk-bentuk penyalahan ini. Dan diantara kritik syi’ah trehadap tiga kholifah pertama diantaranya adalah;
1.      Abu bakar dianggap merampas hak fatimah yang sah atas warisan nabi Muhamad, Abu bakar menolak menyerahkan harta tersebut kepada Ali dengan mengingatkan fatimah atas sabda Rasulullah, “tak seorangpun yang akan menjadi ahli warisku; apa yang aku tinggalkan menjadi milik ornag miskin”.
2.      Larangan Umar atas pernikahan sementara (mut’ah), menurut kaum syi’ah hal itu tidak benar.
3.      pada masa utsman malah semakin membuat mereka lebih mudah untuk mengkritik pemerintahan, karena dikalangan sunni sendiri juga terdapat pandangan yang sama tentang kepemimpinan ustman yang lebih ke arah nepotisme, yang ditujukan dengan pengangkatan pada kerabat-kerabatnya pada jajaran pemerintahan.[5]
Perkembang syi’ah yang paling pesat salah satunya berada dikalangan orang-orang persia. Budaya mendewa-dewakan raja dan menganggapnya sebagai orang suci masih sangat kuat dan mengakar dikalangan bangsa persia waktu mereka menerima islam. Dengan latar belakang budaya tersebut sama dengan perlakuan mereka terhadap raja dan keluarganya, dan itu mempengaruhi cara pandang meraka, bahwa sepeninggal nabi penggantinya harus dari keturunan nabi, dan harus di hormati. Kaum syi’ah dalam hal ini mengatakan pendapatnya bersumber pada hadits nabi yang berbunyi;
اني تارك فيكم الثقلين :كتاب الله وعترتي
aku tinggalkan diantara kalian dua kepercayaan yang berat, kitabullah dan keturunanku.” (shahih muslim, jilid VII, hlm 122).
Syi’ah terpecah dan menjadi kelompok-kelompok tersendiri, perpecahan itu disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah adanya perbedaan prinsip pemahaman. Diantara pecahan dari golongan tersebut terdapat kelompok syi’ah yang ekstrem yaitu al-sabaiyah yang menuhankan Ali, pemimpin kelompok ini adalah Abdullah Bin Saba, dan kelompok ini dianggap oleh beberapa golongan telah keluar dari islam. Dibalik adanya kelompok syi’ah yang ekstrem juga terdapat kelompok syi’ah yang mana pemikiranya hampir sama dengan Ahl al-sunnah wal jama’ah (sunni), dan diantara pokok-pokok pendirianya adalah:
a.         Imam seharusnya dari keturunan Ali-Fatimah, tetapi tidak menutup kemungkinan jika jabatan itu diduduki oleh orang lain asal memenuhi syarat.
b.         Imam tidak ma’sum, karena imam juga manusia yang berbuat salah dan juga dosa.
c.         Tidak ada imam yang bersembunyi (jika ada masalah dan tidak sanggup menghadapi) yang diliputi oleh berbagai misteri.[6]
Tujuan politik utama syi’ah kebanyakan adalah memiliki pemimpin sejati yang diakui dan dipatuhi. Dalam pandangan sunni dan syi’ah mengenai kepemimpinan agama juga termasuk otoritas politik, melibatkan berbagi konsepsi tentang sifat dasar otoritas dan menggunakan berbagai metode argumentasi. Para ulama syi’ah, khusunya fuqoha tidak hanya menjadi hal legal-moral, namun juga menjadi wakil imam yang tersembunyi.[7]
Dikalangan kelompok syi’ah hampir tidak dikenal bentuk pemisahan atara negara dan agama, karna setiap bentuk ritual politik disitupun akan ada ritual keagamaan, seperti pada saat pemilihan pemimpin yang mereka menyebutnya dengan imamah, mereka menganggap bahwa yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah dari keturunan nabi Muhamad. Mungkin disini dapat dilihat bahwa syi’ah tampaknya lebih politisi jika dibandingkan dengan sunni, karna latar belakang syi’ah pun (secara tidak disadari) lahir dari faktor politis (kekuasaan). Berbagai pecahan golongan dari syi’ah mempunyai keyakinan dan opini yang berbeda, seperti halnya tentang siapa yang seharusnya menjadi imam pada masa tertentu, satu-satunya persamaan dari sekian banyak pecahan golongan kelompok syi’ah adalah mereka meyakini bahwa imamah merupakan suatu keniscayaan dan perilaku muslim.
Bagi kelompok syi,ah kekholifahan abasiyah adalah perampas kekuasaan mereka, karna dengan dalih pemimpin yang sejatinya/imamah (syi’ah) ada dalam kelompok mereka dan bersembunyi. Mereka percaya nantinya imam itu akan muncul, oleh sebab inilah syi’ah menarik diri dari kehidupan komunal (yang berhubungan dengan umum ‘negara’). Namun dalam konsep politik sunni mereka  lebih mengarah pada perlindungan kekholifahan abasiyah.
Untuk menjadi imam seseorang tidak perlu harus ma’sum, seperti yang disyaratkan oleh syi’ah, ia hanya perlu “memiliki pandangan yang tegas tentang perang (menegakkan perselisihan)”. karaktersitik umum dan signifikan dari pemikiran sunni adalah bahwa mereka berkonsep legalistik.[8]
Imamah adalah institusi yang dilantik secara ilahiyah, mereka menganggap bahwa hanya Allah yang tahu siapa yang akan menjadi pemimpin mereka, dan mereka beranggapan bahwa hanya kelompok mereka yang mampu menujuk, karena mereka percaya Allah akan memeberikan mereka arahan, pengetahuan akan hukum dan keadilan adalah dua syarat yang mendasar dalam permasalahan imamah. Konsep politik syi’ah yang berpusat pada imam yang secara nyata (gambaranya) salah satunya ada di negara Iran dan persia.[9]
Pada dasarnya konsep Politik Sunny mulannya merupakan sekelompok ulama’ yang berpendirian bahwa orang- orang dalam syi’ah, khawarij, murji’ah dan mu’tazilah telah banyak menyeleweng dari ajaran agama, atau lebih tegas lagi telah menyeleweng dari “sunnah nabi”. Para kelompok ulama’ ahlu sunnah tersebut kemudian menyebarluaskan ajarannya tersebut. akan tetapi kesempatan pada suatu waktu digunakan oleh para penguasa untuk menjadi alat politiknya, yang nantinya akan memproklamirkan kalangan sunny, yang secara otomatisa akan berdampak pada partai kelompok sunny dalam negara.  Dan inilah awal mula kelompok ahlu sunnah dipergunakan untuk menjadi alat politik. Dalam membahas tentang politik maka tidak jauh dalam pembahasasn tentang pemerintahan, pemerintahan menurut orang sunny adalah suatu keniscayaaan demi memungkinkan manusia bekerjasama guna menggapai meraih tujuan hidupnya yang sejati, hidup berdasarkan syariah dan kebahagiaan di akhirat.[10]
Dalam bentuk aslinya, perdebatan sunny syi’ah tidaklah berkaitan dengan ajaran-ajaran pokok agama. Namun dengan seiring berlakunya waktu, perdebatan tersebut telah merosot ke arah yang lebih teologis, dan hal itu akan mempengaruhi keyakinan dan sikap dasar tertentu secara tidak langsung.[11]
Mungkin dari bentuk politik sunny syi’ah, istilah-istilah kunci politik mereka adalah sebagai berikut: 1)sunny; khilafah, ijma’ dan bay’ah. 2) syi’ah; imamah, wilayah dan ;ishmah. Inilah tiga kecenderungan politik yang utama dari masing-masing golongan. Kaum syi’ah menggunakan gelar imamah pada pemerintahanya, sedangkan sunny dengan kholifahnya, kemudian kaum sunny menggunkan ijma’ dan syi’ah menerima keabsahan ijma’ degan syarat mencakup pendapat dari imam yang ma’shum.[12]
B.                 Kaitan sejarah, sosial, dan politik sunni syi’ah
Siapakah pemimpin masayarakat setelah rosulullah wafat? Baik syi’ah mauun sunni setuju bahwa umat sedang membutuhkan seorang pemimpin. Disinilah awal mula dari perselisihan antar syi’ah dan sunni, kalangan syi’ah mengatakan bahwa nabi sendiri yang memilih penggantinya dan mengumumkan bahwa setelah beliau imam Ali (sayyidina ali) akan mengambil kendali ditanganya tas berbagai urusan kaum muslimin. Kalangan sunni yang memiliki logika berbeda tidak menerima golongan ini, menurut mereka nabi tidak merencanakan orang khusus sebagai penggantinya, karna hali itu merupakan tugas kaum muslim sendiri. Satu hal pokok yang dapat diterimam orang sunni atas orang syi’ah adalah saat orang sunni memiliki pemikiran yang sama bahwa setelah nabi wafat umat membutuhkan seorang pemimpin, meskipun orang syi’ah mengatakan bukan kholafah, tapi imamah.
Kaum sunni tidak mempercayai bentuk imam yang diyakini kaum syi’ah, kaum sunni percaya bahwa nabi menyampaikan seluruh hal yang berkaitan dengan pengetahuan (agama) kepada seluruh umat, namun, kaum syi’ah mempercaya sebaliknya, mereka mendasarkan argumenya atas suatu sabda nabi tentang sayyidina Ali;
wahai manusia, setelah aku, kembalikan segala urusan agamakepada Ali dan tanyailah dia dari para penggantiku yang lain mengenai apa saja yang hendak kalian ketahui”.
Orang-orang syi’ah mengatakan bahwa imamah mmepunyai arti  pemerintahan yang mana pemilihan pemimpinya adalah melalui  penunjukkan oleh pemimpin yang sebelumnya. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan kaum sunni bahwa pemilihan seorang pemimpin adalah dengan melibatkan masyarakat, atau hal ini lebih dikenal dengan  demokrasi.[13]
Pada sisi lain bentuk keterikatan antara sunni dan syi’ah dapat kita lihat pada kepercayaan mereka yang sama-sama mengakui bahwa selama 23 tahun  masa kenabian nabi muhamad tidak selalu memberitahukan kepada umat mengenai semua peraturan islam. Kaum sunni mengatakan bahwa sebagaiman terjadinya, nabi meninggalkan masalah dan berangkat meninggalkan kehidupan dunia ini (penulis buku menerjemahkan kalimat ini dengan salah satunya contoh “nabi tidak mengatakan sebelumnya siapakah yang akan menjadi penggantinya kelak”). Namun kaum syi’ah berbeda pandangan, bahwa nabi teleh memilih siapa penggantinya kelak yaitu saayyidina Ali. Dan lagi-lagi mereka mengataknya dengan sebuah hadits nabi yang mneunjang pemikiran pendapat mereka, seperti;

سلموا على علي بامرأة الموءمنين
“salam untuk Ali dan sebutlah dia ‘Amirul Mukminin”.
Namun hadits ini sebagian ulama’ mengatakan tidak dapat diterima sebagai mutawatir, dengan alasan bahwa jadits ini dimabil dari kumpulan kitab golongan syi’ah sendiri, seperti kitab ‘Abaqat Dan Al-Ghadir. [14]
Terlepas dari semua perselisihan antara orang sunni dan syi,ah terdapat pula dari para pemuka keduanya yang mana sama-sama memajukan gagasan mulia persatuan islam, beliau adalah ayatullah burujardi dari kalangan syi’ah dan allamah syeikh abdul majid dan allamah syeikh muhamad syaltut dari kalangan sunni. Mereka menganggap bahwa berbagai mazhab yang ada pada agama islam kendati teologi mereka berbeda akan membentuk sebuah front yang akan siap melawan musuh-musuh berbahaya islam. Disini pengertian front berbeda dengan pengertian golongan, jika golongan didalamnya harus ada keselarasan pemikiran, namun dalam front berbeda, justru dengan adanya perbedaan pandangan didalamnya akan membuat mereka bersatu dalam mencari titik tengahnya, yang  mana akan semakin memperkuat sisi keislamanya, namun pemikiran semacam ini tidakalah dapat diterima oleh semua, jadi wajar saja jika masih banyak hal yang tak selaras (dari pemikiran pemakalah).[15]




IV.             Kesimpulan

Gagasan politik sunni dan syi’ah dalam sejarah politik islam dapat dilihat dari bentuk penyebutan sebuah kepemimpinan dari dua golongan tersebut, yaitu khilafah dari kalangan sunni dan imamah dari golongan syi’ah. Pandangan mereka mengenai dua konsep pemerintahan mestinya sama-sama mempunyai argumen yang mendukung apa yang mereka konsepkan. Politik dua golongan tersebut sama-sama mempunyai tujuan untuk menegakkan agama juga negara, hanya saja mereka mempunyai pandangan yang berbeda untuk mencapai kearah tujuan tersebut. Dalam pandangan sunni dan syi’ah mengenai kepemimpinan agama juga termasuk otoritas politik, melibatkan berbagi konsepsi tentang sifat dasar otoritas dan menggunakan berbagai metode argumentasi. Para ulama syi’ah, khusunya fuqoha tidak hanya menjadi hal legal-moral, namun juga menjadi wakil imam yang tersembunyi. Namun dalam sunny hal semacam itu tidak berlaku.
Kaitan sejarah antara sunny dan syi’ah terletak pada bagaimana mereka sama-sama mempunyai pemikiran tentang suatu bentuk pemerintahan setelah nabi muhammad wafat. Namun cara pandang yang berbedalah yang tidak menyelaraskan pemikiran dua golongan tersebut. Kaitan sosial antara sunni dan syi’ah mungkin dapat dilihat tentang bagaimana dua golongan tersebut mempunyai pemikiran yang salah satunya tentang masalah bagaimana pengangkatan seorang pemimpin itu?, dalam sunny mungkin lebih dikenal dengan bentuk demokratis. Berbeda dengan syi’ah yang mempunyai sistem penunjukkan yang berlandaskan keilahian (kata mereka), karna mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi seorang pemimpin hanya Allah lah yang akan mennjuk lewat nabi muhammad, dan mereka menganggap bahwa Ali lah yang ditunjuk. Dan dalam kaitan politik sunni dan syi’ah sama-sama mempunyai pemikiran untuk menegakkan pemerintahan dengan memplokamirkan golongan mereka untuk dapat andil mengatur negara.

V.                     Penutup

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.....


 DAFTAR PUSTAKA

Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam (The History Of Islamic Political Thought), Penj; Abdullah Ali Dan Mariana Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta. Cet 1.
Effendy, Bahtiar. 1998.  Islam Dan Negara ‘Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia’. Jakarta; Paramadina.
Enayat, Hamid. 1988.  Modern Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, Cet 1.
Khon, Abdul Majid. 2011. Pemikiran Modern Dalam Sunnah. Jakart;Kencana Media Group. Cet 1.
Mutahhari, Murtadha. 1991. Imamah Dan Khilafah. Jakarta; Cv Firdaus. Cet 1.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara. Jakarta; UI-Press.
Syarif, Mujar Ibnu, Khamami Zada. Fiqh Siyasah. Jakarta; Erlangga, 2008.



[1] Bahtiar Effendy. Islam Dan Negara ‘Transformasi Pemikiran Dan Praktek Politik Islam Di Indonesia’. (Jakarta; Paramadina, 1998). Hlm 11.    
[2] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 2.
[3] Abdul Majid Khon. Pemikiran Modern Dalam Sunnah. Jakarta; Kencana Media Group, 2011.Cet 1. Hlm 47.
[4] Antony Black.  Pemikiran Politik Islam (The History Of Islamic Political Thought), Penj; Abdullah Ali Dan Mariana Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta, 2006. Cet 1. Hlm 90.
[5] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 48.
[6] Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta; UI-Press, 1990). Hlm 211.
[7] Antony Black.  Pemikiran Politik Islam (The History Of Islamic Political Thought), Penj; Abdullah Ali Dan Mariana Ariestyawati. Bandung; Serambi Ilmu Semesta, 2006. Cet 1. Hlm 90.
[8] Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada. Fiqh Siyasah. Jakarta; Erlangga, 2008. Hlm 52.     
[9] Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada. Fiqh Siyasah. Jakarta; Erlangga, 2008. Hlm 211
[10]//http.indonesia-anam.blogspot.com/www.indonesia-anam.blogspot.com , pada selasa 24 November 2009, 05.50
[11] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 47.
[12] Hamid Enayat. Modern Islamic Political Thought The Response Of The Syi’i And Sunni Muslims To The Twentieth Century (Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah), Penj; Asep Hikmat. Bandung; Pustaka, 1988, Cet 1. Hlm 9.
[13] Murtadha Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 27-50.
[14] Murtadha Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 80.
[15] Murtadha Mutahhari.Imamah Dan Khilafah.Jakarta; Cv Firdaus, 1991.Cet 1.Hlm 157.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE