SASTRA dalam KEBUDAYAAN JAWA dan ISLAM
SASTRA JAWA
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah
Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr. Rupi’i
Amri., M.Ag.
Disusun
oleh:
Nihayatul
Ifadhloh (122111103)
AHWAL AL-SAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013
Sastra Jawa
I.
Pendahuluan
Kehidupan
sastra jawa telah berlangsung sangat panjang, yaitu sejak zaman sastra jawa
kuno sampai sastra jawa modern. Dan dalam perjalanan yang sangat panjang itu
telah diwarnai dengan berbagai macam karya sastra yang beragam, pengaruh budaya
luar terhadap sastra jawa juga telah menentukan bentuk dan struktur karya
sastra yang muncul, setiap muncul suatu pengaruh (misal dari budaya asing) yang
baru selalu diikuti dengan unsur-unsur sastra jawa yang tampak berbeda dari
karya sastra sebelumnya, walaupun munculnya pengaruh baru itu tidak seketika
tampak. Artinya pengaruh budaya luar yang baru diterima itu memeberikan corak
tersendiri, dan khas tehadap karya-karya sastra yang muncul semenjak masuknya
pengaruh budaya tersebut.[1]
Dalam
proses penyebaran islam di jawa terdapat berbagai pendekatan tentang bagaimana
cara yang ditempuh agar nilai-nilai islam diserap menjadi bagian dari budaya
jawa. salah satu pendekataya adalah dengan Islamisasi Kultur Jawa. Melalui
pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak islam, dengan begitu
masysarakat akan lebih mudah dalam memahami dan mengenal islam, dan itu salah
satunya adalah dengan menyelipkan nilai-nilai islami dalam sastra-sastra jawa (tembang
jawa). Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan
islam dengan budaya jawa setempat merupakan salah satu bentuk strategi dalam
menyebarkan nilai-nilai islami.
II.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§ Ruang lingkup
sastra !
§ Perkembangan
sastra pada masa Hindu Budha !
§ Perkembangan
sastra hasil interelasi islam dan jawa !
§ Perkembangan
sastra pada masa kerajaan Demak, Pajang dan Mataram!
III.
Pembahasan
A.
Ruang Lingkup Sastra
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta ,
berasal dari kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti
‘mengarahkan, mengajar, memebari arahan, dll’, kemudian ahiran ‘tra’
menunjukkan pada alat dan sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar,
buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diawali
degan kata ‘su’ (menjadi susastra), ‘su’ mempunyai arti baik,
indah dll, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk
yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau
dengan kata lain tulisan yang indah dan sopan. [2]
Berbicara tentang karya sastra, jenis-jenis karya sastra itua ada
tiga yang meliputi :
(1)
karya sastra yang berbentuk prosa
Pada dasrnya prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh
kaidah dan lebih dekat dengan bentuk pemaparan, dan pemaparan dikatakan
mengandung karya sastra apabila; a. pemaparanya tidak berbentuk wacana
dan tidak berbentuk bait dan baris, sehingga akan membentuk sebuah cerita. b,
dalam peristiwa itu perlu seorang tokoh, yang berperan menggerakkan deretan
peristiwa. c, peristiwa dan tokohnya bersifat fiktif.
(2)
karya sastra yang berbentuk puisi
Karya sastra puisi merupakan karya sastra yang paling dominan
digemari banyak orang, karna dengan bentuk kata-kata indah dan juga menghibur,
puisi (modern) lebih bersifat bebas, tanpa harus terikat dengan pola tertentu,
Pada saat ini juga sering terungkap dalam bait-bait lagu, sehingga sangat mudah
untuk diserap. Sedangkan Puisi tradisional itu ada pakemnya (misal
perbait aturanya 4 baris), dan puisi tradisional ini terdiri dari tiga bagian yaitu; kakawin,
kidung dan tembang.
a.
kakawin
Kakawin
berasal dari kata sansekerta kawi “penyair” serta mendapat afiks jawa
(kuno) ka-dan-an, yang seacra keseluruhan kata itu berarti karya seorang
penyair atau syair karya penyair. Kakawin merupakan genre puisi yang ditulis
dalam bahasa jawa kuno, dan aturan-aturan dalam kakawin itu seperti;
1.
Jumlah suku kata tiap baris yag cenderung sama untuk baris-baris
dalam satu bait.
2.
Bait-bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama.
Pola guru lagu, bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam
suku kata yang berlaku untuk tiap baris dan bait.[3]
Contoh:Stuti
nira tan tulus sinahuran paramarta siwa (pangawit)
Anaku huwus katon abimatan ta temun ta kabeh (pangenter)
Ana panganu grahang ku cadusakti winimba sara (Pangumbang)
Pasupati sastra kastu pangarannia nihan wulati (pamada).
Anaku huwus katon abimatan ta temun ta kabeh (pangenter)
Ana panganu grahang ku cadusakti winimba sara (Pangumbang)
Pasupati sastra kastu pangarannia nihan wulati (pamada).
b.
kidung
Puisi yang menganut pola persajakan Jawa asli (seperti terikat oleh
guru wilangan, guru lagu, guru gatra) dan cenderung
mempergunakan bahasa Jawa Tengahan.
Contoh: Purwa kaning angripta rum, ning wana ukir kahadang
labuh, kartika panedenging sari, angayon
tangguli ketur, angring-ring jangga mure. (kidung wargasari).
c.
Tembang
Sama dengan pengertian kidung, tapi memperguanakan bahasa
jawa baru. Tembang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1)
Tembang macapat,dan
bagian dari tembang ini adalah;
· Dhandanggulo, untuk mengekspresikan perasaan senang, pelajaran yang baik,
ungakapan rasa kasih.
· Sinom, untuk menyampaikan amanat, ekspresi ceria dan ramah.
· Asmaradana, untuk ekspresi sedih (rindu).
· Durma, untuk ungkapan kemarahan, suasana peperangan, atau nasehat yang keras.
· Pungkur, untuk ekspresi tentang kesungguhan, atau puncak dendam rindu
asmara.
· Mijil, untuk ekspresi ungkapan rasa sedih dan perasaan kasih yang sendu.
· Kinanthi, untuk ekspresi yang mesra, rayuan, dan cumbu rayu.
· Maskumambang, untuk ekspresi derita, prihatin, dan iba.
· Pucung, untuk ekspresi santai, kejenakaan, dan nasehat yang ringan.
· Gambuh, untuk menyampaikan nasehat dalam lingkungan yang akrab, karna
watak gambuh sendiri adalah akrab.
· Megatruh, untuk ekspresi sendu, kemeranaan hati dan penyesalan.
2)
Tembang tengahan,
dan bagian ini adalah;
· Jurudemung, untuk ekspresi memuji.
· Wirangrong, untuk ekspresi sedih yang bukan di sebabkan oleh asmara.
· Balabak, untuk ekpresi jenaka (lelucon).
3)
Tembang Gedhe,
dan bagian tembang ini hanya satu yaitu Girisa dengan ekspresi atau
watak yang penuh harap.[4]
Ini adalah merupakan salah satu contoh dari tembang (kinanthi).
Radèn Surenggana matur/
tegesé kendhang kekalih/ kang lungguh ing kendhang ladrang/ yèn gendhing
kendhangé siji/ déné mawi béda-béda/ mèsem ngandika sang yogi//
Raden Surenggana bertanya/ artinya kendang
kedua/ yang terdapat pada kendang ladrang/ jika gamelan kendangnya satu/
padahal beda-beda/ sang guru tersenyum sambil berkata//
Tegesé ladrang puniku/ kempulé tan kena kèri/
iku patraping sujalma/ ingkang muni kitab pekih/ sanadyan wus nganggo kitab/
tan lali yudanagari//
Artinya ladrang itu/ kempulnya tidak boleh
ketinggalan/ itu memang sifatnya manusia/ karena sudah ada dalam kitab fikih/
meskipun sudah menggunakan kitab/ tidak melupakan hukum Negara//
Wong micara lan nenandur/ laki rabi lan wong
sugih/ tuwin lapel-lapal karam/ apadéné wong priyayi/ pan muni kukum sadaya/
yudanagara tan lali//
Orang bicara dan menanam/ pria wanita dan orang
kaya/ dan kata-kata haram/ seperti orang priyayi/ yang bicara hukum/ hukum
negara tidak boleh lupa//.
(3)
karya sastra yang berbentuk cerita (drama).
Karya sastra (drama) ditentukan dengan adanya sebuah dialog antar
tokoh, dan biasanya mengisahkan sebuah cerita.[5]
Dalam karya-karya sastra banyak terkandung nilai-nilai budaya
antara lain;
A.
Nilai Religius
Dalam masyarakat jawa terkenal
terdapat kelompok yang agamis,
dan kelompok masyarakat yang “sinkrestis”
(menyatukan unsur agama dalam keyakinannya).
kelompok ini selain yakin adanya Allah, mereka juga percaya bahwa nabi
Muhamad adalah nabi Allah, dan kelompok ini disebut sebagai penganut agama
islam (jawi), disebut agama jawi (kejawen) karna terselip keyakinan
konsep Hindu-Budha yang berbau mistik. Adapun salah satu contoh dari sastra
yang mengandung nilai religius yang menyatakan
bahwa Qur’an merupakan sumber
“ilmu sejati” terdapat dalam suluk
seh amongarga, seperti;
//Dene
sejatinipun
ngelmu
tanpa papan tulis iku,
iyo
Qur’an lan kitab-kitab sayekti,..//
Adapun
sesungguhnya
ilmu
papan tulis itu,
ya
Qur’an dan kitab-kitab suci....
(suluk seh Amongraga, hlm 36)
B.
Nilai Sosial
Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
sosial, jadi tidak akan terlepas hubunganya dengan manusia yang lain. seperti
contoh Bait sastra berikut ini:
//mangkono
kang tinemu
marmane
wong ngaurip puniko
ojo
pisan paksa ambeg
kumalikih,
angkaku
sarwa linuhung, wekasan kether lan ethor....//
Demikianlah
yang didapatkan,
oleh
kerana itu orang hidup,
jangan
sekali-kali berwatak sombong,
mengaku
serba lebih
akhirnya ketinggalam dan keteteran...
(wedharaga, hlm 98).
C.
Nilai Etika
Dalam masyarakat dan kebudayaan jawa etika itu besumber dari sastra
yang berkembang dalam keraton. Etika dalam kesusasteraan jawa pada umumnya
menggambarkan manusia yang diidamkan, karna itu merupakan gambaran hidup yang
ideal. terdapat lima sikap yang mendasar mengenai analisis tentang etika,
yaitu kesahajaan, menerima kenyataan, keseimbangan mental, sembada,
dan nalar. salah satu contoh dari bait-bait tentang keseimbangan mental adalah
seperti;
//wong sugeh arta puniko
yen
ta suka dana mesthi
tinilar
ning sanak kadang,
nora
tinjo samya sengit
yen
palastra artaniro
griyo
tuwin sanak rabi..//
orang
yang punya banyak uang,
jika
tidak suak memberi dana,
ditinggal
oleh sanak saudara,
tidak
mau menengok dan benci,
jika
ia meninggal uang,
rumah
dan anak istri...
(panitisastra, hlm 714).[6]
Nilai-nilai
budaya yang ada tentu tidak akan lepas dari peran lingkungan yang ada disekitar
kita, dan hal itu salah satunya dapat dilihat dari nilai agama yang ada dalam
budaya kita, hal itu menunjukkan bahwa lingkungan yang ada disekitar kita
memang sangat memperhatikan aspek-aspek agama yang tertuang dalam budaya.
B.
Perkembangan Sastra pada Masa Hindu Budha
Pada dasarnya masyarakat jawa menganut sistem budaya terbuka
terhadap pengaruh budaya luar atau asing.
Pada masa awalnya munculnya sastra jawa dalam hal ini khusus sastra jawa
tertulis, pengaruh sastra Hindu dari india yang di ilhami oleh ajaran agama
Hindu tampak dalam karya sastra jawa kakawin dan kitab-kitab Parwa.
Bahkan karya sastra pada masa itu banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Orang-ornag
Hindu sengaja ingin mengembangkan agamanya melalui kitab-kitab sastra yang
banyak memuat ajaran agama Hindu.
Karya sastra jawa pengaruh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan
peran penguasa pemerintah, dan sastra jawa selalu hadir dalam lingkungan istana
dan atas dasar lisensi raja. menurut perjalanan sejarah kesusatraan jawa
mengalami perkembangan akibat peran isatana, karna kekuasaan masalah politik
dan ekonomi terdesak dengan adanya campur tangan Belanda. Dengan demikian
karena tugas politik dan ekonomi raja dapat dikatakan ‘tidak ada lagi’ maka
kegiatan mereka dialihkan pada bidang kesusastraan. Kemudian karya-karya sastra
pada masa itu ditulis oleh pujangga-pujangga kerajaan dengan dalih untuk
mempersatukan masyarakat dibawah naungan raja atau dengan kata lain untuk
menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan. Pengaruh raja terhadap karya
sastra sangat berkaitan erat, misal dalam karya sastra muncul sebagai ajaran,
petunjuk, dan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran atau petunjuk yang berasal
dari raja.
Raja memiliki keduduakn yang tinggi, misal sebagai pengayom,
pelindung, dan karna itu raja dapat dikatakan sebagai pusat pemerintahan,
kekuasaan dan kebudayaan. Karna itu, para pujangga keraton bertugas untuk
mendokumentasikan peristiwa tertentu yang diapandang cukup penting, seperti
kitab Negara Kertagama yang memuat pengalaman hidup tokoh raja Kertanegara.
dan kedudukan pujangga atau penulis keraton pada waktu itu tidak dapat
dilepaskan dengan misi penguasa, oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan bahwa
terkadang penulis melakukan Semacam bentuk “penghalusan” peristiwa tertentu
untuk menunjukkan sikap loyal terhadap penguasa.[7]
Koentjaraningrat dalam bukunya kebudayaan jawa mengatakan bahwa
bukti-bukti tertua mengenai adanya hindu budha berupa prasasti-prasasti dari
batu ditemukan di pantai utara jawa barat, walaupun tidak ada tanggal pada
prassti itu dilihat dari bentuk gaya huruf india selatan dari tulisnya dapat
diketahui bahwa prsasti itu merupakan suatu deskrispsi mengenai beberapa
upacara yang dilakukan oleh seorang raja untuk merayakan peresmian bangunan
irigasi dan bangunan keagamaan pada abad ke-4 masehi. Pengaruh hindu ini lebih
banyak mempengaruhi wilayah kerajaan atau istana. Pengaruh hinduisme
menumbuhkan adanya dua lapis tradisi jawa yakni tradisi yang berkembang di
istana bersifat hindu kejawen, ditinjau dari bangunan-bangunan keagamaan
seperti candi mendut borobudur dan parambanan. Hal itu menunjukkan bahwa
pengaruh hinduisme menumbuhkan lapisan cendekiawan jawa dan wewenang keagamaan.
dan tradisi yang ada pada petani yang buta huruf dan terpusat pada religi
animisme dan dinamisme.[8]
Menjelang berahirnya dinasti atau pemerintahan Majapahit, pengaruh
agama Islam semakin meluas. Pengaruh agama islam itu semakin kuat pada abad ke-15
sampai dengan abad ke-16. karya sastra waktu itu banyak yang diwarnai dengan
ajaran Islam. Di samping itu pada periode tersebut terjadi perubahan bentuk
sastra jawa dari karya kakawin menjadi sastra tembang.
C.
Perkembangan Sastra Hasil Interelasi Islam dan Jawa
Maksud dari keterkaitan islam dengan karya sastra jawa adalah
keterkaitan yang bersifat imperatif (memberi komando) moral, dan
mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra jawa baru, sedangkan
bentuk seperti puisi (tambang / sekar macapat) dipakai untuk
sarana memberikan berbagai petunjuk yang secara substansial merupakan nasehat
yang bersumber pada ajaran islam. Bentuk
puisi jawa yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga keraton
surakarta adalah puisi jawa yang memiliki sisi keislaman yaitu seperti; mijil,
kinanthi, pucung, sinom, asmaradana, dhandanggulo, pangkur, maskumambang,
durma, gambuh, dan megatruh.
Kayra sastra (tembang) pada zaman pengaruh Islam sebagian
besar berupa sastra suluk. Sastra suluk adalah karya yang memuat
ajaran yang berupa usaha seseorang dalam mencapai kesempurnaan hidup atau lebih
mengarah pada filsafat Islam “manunggaling kawulo gusti” , seperti suluk
sukarsa (berbentuk seloka). Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan sastra
jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita jawa yang bersumber pada negara
yang mayoritas islam atau dari Arab.
Tembang-tambang macapat yang berbentuk puisi jawa mengandung
nilai sastra, alasanya puisi pada hakikatnya adalah karya sastra, dan sebagian
besar karya sastra bersifat imajinatif dan ekspresif. Jadi tembang-tembang macapat
yang merupakan puisi jawa baru yang terungkap dalam karya sastra, oleh para
pujangga dipakai untuk menyampaikan berbagai ide meraka. karya-karya sastra
jawa adalah karya sastra para pujangga keraton surakarta yang hidup pada zaman
periode jawa baru yang memiliki corak islam, dan bentuk coraknya antara lainya
adalah tentang ketauhidan (mendekatkan diri pada tuhan), jihad,
masalah moral, perilaku baik,dll.[9]
Mulanya karya-karya jawa yang bercorak islami pada masa awal islam
sulit untuk ditemukan, karna kebanyakan mereka enggan untuk membuat sebuah
karya sastra yang berbentuk puisi dengan corak islami dengan alasan belum ngetren,
sehingga banyak dari mereka yang lebih suka dengan corak yang njawani.
walaupun demikian tetap ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang
macapat warna islami, yang mungkin dapat dikatagorikan tentang bentuk
ketuhanan, seperti contoh berikut ini:
“Bektiyo marang pangeran” : tembang pucung
“Bocah-bocah mestine rak podo emut / ngalam dunyo iko / bumi
saisine kuwi / sing nitahake kabeh iku gusti Allah”.
“Panemune wong ingkang wasikhta iku / kabeh titah dunyo /
gonolongken catur yaki / titah mati uwit kewan lan manungso”.
“Kahanane tiah kasebut puniko / nyata lawan cetha / manungso
tinitah inggil / nanging ojo gumunggung peh ungguliro”.
“Ngayomono kabeh titah sak ngisoran / sihe den ketokno / welassono
kabeh kui / ojo podo sawiyah-wiyah marang kewan”.
“Ing sarehneng kang pareng kamulyan iku / Allah kang kuoso / mulo
kudu tansah ileng / asih bekti marang asmaning pengeran”.
“Kang ten emut lan nyawiwah iku gemblung / ngedohno pangeran /
kublinger kagedhen melik / mrono-mrono baelo gawe durhoko”.
“Akibate wong kang sarak iku / bakal nyonggo wirang / ketulo-ketulo
ketali aji godhong jati garing uripiro”.
“Mulo iku bocah bocah kag satuhu / ojo bosen kembo / amimiti dino
iki / temen-temen ngabektiyo marang pangeran”.
Mungkin dari sastra puisi diatas inti maknanya secara keseluruhan
adalah jangan pernah menyombongkan diri, jangan berbuat semaunya sendiri,
saling tolong menolong, dan seruan untuk
selalu ingat Allah.[10]
Karya sastra jawa islam selain dari bentuk puisi juga terdapat
bentuk tulisan cerita, dan karya sastra jawa islam yang tergolong tertua adalah
kitab sunan bonang, di tulis pada masa kerajaan demak, isinya tentang ajaran
tasawuf.
Dalam bidang sastra pergumulan antar sastra dan budaya islam
melahirkan dua jenis sastra jawa yang penulis namakan sastra jawa pesantren dan
satra jawa islam kejawen. Dalam satra jawa pesantren bahasa dan sastra jawa
pesantren dijadikan wadah atau sarana untuk memperkenalkan ajaran agma islam.
Kegiatan pengislaman warisan ilmu kejawen ini dipelopori oleh sultan agung ,
setelah mataram berhasil mematahkan perlawanan penguasa lokal pesisiran yang
mendapatkan dukungan dari masyarakat pesantren. Dan kemudian munculah masalah baru
yaitu bagaimana cara menciptakan stabilitas bagi pemerintahan mataram, dan cara
mengurangi ketegangan antara buadaya pesantren dan kejawen. Dan usah ini dimulai
dengan mengubah perhitungan saka sultan
agung menyesuaikan dengan tahun hijriah.[11]
Hingga kini belum ada kesepakatan mutlak diantara para ahli
mengenai masuknya islam pertama kali di jawa tentang kapan dan bagaimana atau
dari mana islam itu datang. Dari berbagai teori ada yang mengatakan islam
pertama kali masuk pada tahun XI, XIV, dan XV, kebanyakan dari teori tersebut
mengatakan islam masuk lewat pesisir pantai kemudian lambat laun menyebar
kepedalaman, dan wilayah pesisir merupakan kantong-kantong konsentrasi islam
dalam proses islamisasi yang memakan waktu begitu lama serta berlangsung secara
damai. Dan karna proses islamisasi itu sendiri memakan waktu cukup lama,
sehingga tidak dapat di pungkiri adanya pengaruh sisi keislaman pada aspek
sastra masyarakat pada daerah tersebut [12]
Di daerah pesisir sastra Jawa Islam yang tergolong sastra pesantern
juga berkembang dengan subur. Banyak karya sastra Arab yang dijadikan sumber
pengubahan dalam bahasa jawa, terutama dikalangan pesantren didaerah Surabaya,
Gresik, bahkan sampai ke Cirebon. Di zaman kepujanggan sastra jawa yang
bernuansa keislaman juga berkembang di lingkungan kraton kartasura dan
berlanjut dikeraton surakarta dan Yogyakarta, salah satu karya sastra yang
sangat populer adalah Serat Chentini
yang ditulis dengan tujuan untuk membentangkan seluk beluk tradisi, adat
istiadat, dan budaya jawa selengkapnya, baik yang bersifat lahiriah maupun
rohaniah.[13]
Karya sastra jawa sebelum abad ke-19 diciptakan oleh pegawai istana
atau pujangga keraton yang diangkat oleh raja dan lebih cenderung sebagai
sastra istana dari pada sebagai sastra masyarakat dan didukung pula dengan
belum adanya penerbitan sehingga dilakukan dengan bentuk nadhak “menulis kembali”. Pada awal abad 19
karya-karya sastra tidak hanya dari keraton tapi juga perseorangan dan teks
sastra jawa cetak mulai muncul pada masa ini, keadaan ini menunjukkan bahwa
sastra jawa sudah mulai berorientasi sebagai sastra rakyat sebagai bentuk
pengaruh Eropa. Cerita dalam sastra jawa masih dominan menampilkan latar yang
bersifat tradisional, terutama latar waktu. Keterangan waktu yang bercorak
tradisional, terutama latar waktu, dan hal itu tampak pada deskripsi waktu yang
memakai keterangan seperti; “ing jaman biyen” (pada zaman dahulu), “ing
sawijining dino” (pada suatu hari), “kacarito ing jaman kuno”
(tercerita pada zaman dahulu), dan lain sebagainya.[14]
Setalah masa itu, kesusastraan jawa modern mulai lahir pada abad
ke-20 yang mengahasilkan karya sastra terbaru, seperti novel, cerpen, yang
sebelumnya tidak begitu dikenal pada zaman sastra jawa klasik, dan pada saat
itu pula balai pustaka mulai menerbitkan karya sastra dari kalangan masyarakat,
namun sebagian masyarakat menganggap karya sastra jawa terbitan balai pustaka
yang berupa prosa dan dikemas sebagai bentuk bacaan perseorangan bukanlah
susastra, anggapan itu di pengaruhi oleh tradisi yang masih bertahan bahwa
sastra jawa bersifat kolektif (bersama/gabungan) untuk di dengarkan, dan
bukan untuk perseorangan. Pada awal kebangkitan sastra jawa banyak karya sastra
atau cerita yang diterbitkan dengan huruf jawa, dan penerbitan menggunakan
huruf latin, mulai ada pada tahun 1917.[15]
istilah sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk
aktivitas tulis menulis dari para pujangga jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai
dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa. Kebudayaan ini memiliki elemen-elemen amat majmuk yang
berakar pada etika dan agama-agama yang berkembang dalam masyarakat jawa. Aspek
nilai budaya (seperti islam) sangat kental dalam budaya jawa, yang salah
satunya terlihat pada aktivitas sastra. Gambaran ini dapat kita lihat pada
proses islamisasi jawa atau bagaimana islam sendiri mencoba memasuki jawa dan
budayanya.
D.
Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
1.
Periode kerajaan demak
Dari perjalanan sejarah pengalaman dijawa tampak bahwa islam sulit
diterima dan menembus lingkungan budaya jawa istana dan dengan keadaan yang
demikian tampaknya para penyebar agama islam lebih menekankan agamanya pada
daerah pedesaan, dan masyarakat menerima dengan sangat baik.[16]
Berdiri dan berkembanganya kesulatanan demak menyebabkan para
priyayi jawa diceritakan dalam sebuah karya sastra, dan hal ini menunjukkan
bahwa sastra pada masa itu memang sudah sangat tanggap dan para pujangganya pun
sangat kreatif, dengan measukkan cerita-cerita dalam sastra, semisal dalam
sastra babad tanah jawa diceritakan Jaka Tingkir pergi ke demak lalu berguru
kepada sunan kudus dan ahirnya menjadi menantu sultan. Jaka tingkir yang
menjadi menantu sultan justru kemudian bisa menjadi sultan dan kemudian memindahkan
kerajaan ke pajang yakni daerah pedalaman lagi. Hal ini dilakukan guna
menghindari perlawanan masyarakat yang dipimpin arya jipang. Perselisihan
politik yang dilatar belakangi perbedaan budaya antara masyarakat pesantren dan
kejawen ini berlanjut hingga beralihnya ksultanan pajang ke keseulatanan
mataram.[17]
Pada masa ini segala daya upaya, pikiran, kekuatan fisik dicurahkan
untuk membentuk masyarakat islam. Dan pada masa keemasannya banyak kitab yang ditulis. Kebanyakan kitab
yang ditulis karena pengaruh agama Islam, diantaranya : het boek van bonang,
een javaans geschrift uit de 16 eeuw, suluk sukarsa. Serat nitisruti, serta nitipraja, serat
sewaka, serat menak, serat regganis, serat manikmaya, serat ambiya dan serat
kandha.
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan karena pembalasan dendam yang
dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati Pajang
Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin menyingkirkan Aria Penansang
sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria Penansang telah membunuh suami dan
adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu daya yang tepat mereka berhasil
meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang yang tidak lain adalah Aria
Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh Sutawijaya. Sejak saat itu
pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah riwayat Kerajaan Demak.
2.
Periode kerajaan pajang
Pada awal
berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian
Trenggana. Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas
negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur)
dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya
yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.[18]
Perkembangan sastra pada masa pajang merupakan perkembangan yang
tak bisa dipisahkan dari kerajaan demak. Periode ini diprakarsai oleh Sultan
Hadiwijaya. Pada periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir
menjadi kebuudayaan pedalaman. Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang.
Kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak lambat
laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran
Karang Gayam menulis sajak moralistic Jawa nitisruti atau disebut dengan ‘serat nitisruti’ Dalam
cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”.[19]
Runtuhnya kerajaan pajang adalah masalah perebutan kekuasaan tahta
kerajaan yaitu antara menantu jaka tingkir dengan anaknya. Hal itu menyebabkan
urusan kerajaan seperrti ekonomi tidak terurus, sehingga lambat laun menjadikan
kerajaan dalam masa krisis, dan ahirrnya runtuh.
3.
Periode kerajaan mataram
Kerajaan mataram pada sub bab ini yang di maksud adalah mataram
islam, karena ada dua kerajaan mataram yaitu kerajaan mataram islam dan kuno,
yang mana kerajaan mataram kuno itu berdiri sekitar abad ke-8 an, sedangkan
mataram islam berdiri pada abad ke-16 an.
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan
dilantik menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya
membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil
anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun
1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram. Setelah menjadi bupati,
Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh
Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan
Sultan Hadiwijaya mangkat. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan di antara
para Bangsawan Pajang dengan pasukan Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran
Pangiri beserta pengikutnya diusir dari Pajang. Setelah suasana aman, Pangeran
Benawa (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian
memindahkan pusat pemerintahannya ke kotagede pada tahun 1568 M. hal itu merupakan
cikal bakal berdirilah Kerajaan Mataram islam.
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta kerajaan diserahkan oleh
putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para bupati yang memberontak, seperti
Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar
pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental.
Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram
berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan
Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung mencoba merebut Batavia
dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami kegagalan.
Perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang
cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari
hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam. Sultan Agung sebagai raja pada masa itu
menuliskan kitab sastra gendhing yang serupa dengan kitab filsafat yang
memuat filsafat Jawa pada umumnya. Sastra
gending, karya sultan
agung merupakan contoh nyata perkembangan tersebut, sultan agung tokoh raja
jawa yang pertama-tama menyempurnakan internalisasi antara kebudayaan jawa
dengan ajaran islam.
Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung
merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu,
kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk
berperang
IV.
Kesimpulan
Kehidupan sastra jawa sudah ada sezak zaman kuno sampai dengan
zaman modern, dan sastra jawa kuno tidak dapat di pisahkan dengan munculnya
pengaruh budaya asing, seperti halnya pengaruh Hindu, Budha, Islam dan Barat.
Karya sastra jawa tidak terlepas dari kehidupan dan peran penguasa pemerintah,
dan sastra jawa selalu hadir dalam lingkungan istana dan atas dasar lisensi
raja. Maksud dari keterkaitan islam
dengan karya sastra jawa adalah ketekaitan yang bersifat imperatif
(memberi komando) moral, dan mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya
satra jawa baru, sedangkan bentuk seperti puisi (tambang / sekar
macapat) diapakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk yang secara
substansial merupakan nasehat yang bersumber pada ajaran islam. Dan karna proses
islamisasi itu sendiri memakan waktu cukup lama, sehingga tidak dapat di
pungkiri adanya pengaruh sisi keislaman pada aspek sastra masyarakat pada
adaerah tersebut, dan juga adanya nilai-nilai yang terkandung dalam sastra
tersebut, seperti nilai agama, nilai etika dan
nilai sosial. Begitu juga dengan sastra yang ada pada masa kerajaan
demak, Pajang kemudian mataram. Dalam kerajaan tersebut tidak dapat dipisahkan
dengan adanya pengaruh dari islam..karna memang kerajaan-kerajaan tersebut
dengan latar belakang kerajaan islam.
V.
Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak
langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah
sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan
segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para
pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun
bagi bagi pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah
kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.....
DAFTAR PUSTAKA
Anasom
(Ed). 2004. Membangun Negara Bermoral. Semarang; Pustaka Rizki Putra.
Anasom
(Ed). 2004. Merumuskan Kembali Interelasi Islam –Jawa. Yogyakarta; Gama Media.
Suwondo, Tirto,
Dkk. 1994. Nilai-Nilai Budaya
Susastra Jawa. Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Ikram,
Achadiati (Ed). 2009. Sejarah
Kebudayaan Indonesia (Bahasa Sastra Dan Aksara. Jakarta; Raja Wali Pers.
Amin, Darori,
Dkk. 2000 . Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta; Gama Media.
Mardianto,Herry,Dkk.
1996. Sastra Jawa Modern. Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan.
Riyadi, Slamet,
Dkk. 1996. Sastra Jawa. Jakarta; Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kesultanan_Pajang. Di Akses Pada Tanggal 26 September 2013. Pukul 15:30.
[1]Slamet Riyadi, Dkk.
sastra Jawa. (Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996). Hlm 14.
[2]
Abdul Jamil, Abdurrahman Mas’ud, Dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa.
(Yogyakarta; Gama Media, 2000). Hlm 139.
[3]Anasom (Ed). Membangun Negara Bermoral. (Semarang; Pustaka
Rizki Putra, 2004). Hlm 17.
[4] Herry Mardianto, Dkk. Sastra Jawa Modern. (Jakarta; Pusat
Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996).
Hlm 119-121.
[5]Darori, Amin (Ed). Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta;
Gama Media, 2000). Hlm .141-142.
[6]Tirto Suwondo, Dkk. Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa,
(Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depatemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, 1994). Hlm 63-127.
[8]Anasom (Ed). Merumuskan Kembali Interelasi Islam –Jawa. (Yogyakarta; Gama Media,
2004). Hlm 23 -26.
[9]Darori, Amin, Dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta;
Gama Media, 2000). Hlm .146-151.
[10]Darori, Amin(Ed).
Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta; Gama Media, 2000). Hlm 154.
[11]Anasom (Ed). Merumuskan Kembali Interelasi Islam –Jawa. (Yogyakarta; Gama Media,
2004). Hlm 37-41.
[12] Darori, Amin,
dkk .Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta; Gama Media, 2000). Hlm
157-161.
[13] Achadiati
Ikram (Ed). Sejarah Kebudayaan Indonesia (Bahasa Sastra Dan Aksara).
(Jakarta; Raja Wali Pers, 2009). Hlm 205-210.
[14] Slamet Riyadi,
Dkk. sastra Jawa. (Jakarta; Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996).
Hlm 14-20.
[15] Herry
Mardianto, Dkk. Sastra Jawa Modern. (Jakarta; Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996). Hlm 2.
[16] Anasom (Ed). Merumuskan Kembali Interelasi Islam –Jawa. (Yogyakarta; Gama Media,
2004). Hlm 32
[18] Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Kesultanan_Pajang. Di Akses Pada Tanggal 26 September 2013. Pukul 15:30.
[19] Anasom (Ed). Membangun
Negara Bermoral. (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2004). Hlm 27.
thank u very much...
BalasHapusIzin copy. Makasih
BalasHapus