HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI dalam PRESPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA



HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata Islam Indonesia 1

Dosen Pengampu : Dr.H Ali Imron, S.Ag.,M.Ag



http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg


Disusun oleh:

Nihayatul Ifadhloh (122111103)


AHWAL AL-SAKHSIYYAH 
FAKULTAS SYARI’AH dan EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
SEMARANG
2013


Hak dan Kewajiban Suami Istri

I.                Pendahuluan
Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita (suami istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. oleh karan itu,  antara hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istri, suami istri harus mampu mewujudkan ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami istri tersebut.
Hak dan kewajiban suami istri dalam sebuah negara telah diatur pada UU No 1 tahun 1974 pasal 30 dalam undang-undang perkawinan dan juga dalam pasal 77 sampai dengan 84 dalam aturan kompilasi hukum islam yang nantinya akan dijelaskan pemakalah dalam bab pembahasan.[1]

 II.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
§  Hak dan kewajiban suami istri !
§  Hak dan kewajiban suami atas istri !
§  Hak dan kewajiban istri atas suami !

III.              Pembahasan

A.          Hak dan kewajiban suami istri
Perkawinan oleh Undang-Undang dipandang sebagai suatu perkumpulan, suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurus rumah tangga (umumnya), seperti menyediakan tempat untuk istri dan anaknya, pakaian mereka dan juga kebutuhan mereka dan juga suami dan istri harus mampu mengarahkan keluarga mereka yang sakinah mawadah dan warahmah, seperti firman Allah SWT: [2].
  ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-rum; 21)
Etika dalam permasalahan memberi ataupun menarik kembali pemberian suami kepada istri juga telah diatur dalam al-qur’an surah An-Nisa’ ayat 20:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ  

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain (menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.) sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?. (An-Nisa’ : 20)
Pemberian yang telah diberikan suami kepada istrinya, apabila karna sesuatu dan lain hal, mereka berpisah, maka tidak seyogyanya suami menarik kembali pemberianya, perkawinan dalam islam dianjurkan agar dapat berlangsung abadi, tanpa dibayangi oleh perceraian.[3]
Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 30 Undang-Undang perkawinan berbunyi “suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dalam susunan masyarakat”.  Dan juga kedudukan suami istri dapat kita lihat pada pasal 31 Undang-Undang perkawinan atau dalam KHI dalam pasal 79 yang berbunyi:
(1)  hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)  masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)  suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Kandungan pasal tersebut di atas di dasarkan pada firman Allah An-Nisa’ ayat 32:
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” ( An-Nisa’).[4]

Selanjutnya pasal 32 Undang-undang perkawinan menentukan:
(1)     suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2)     rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri.[5]
Dan juga dalam pasal 77 pada Kompilasi Hukum Islam di ungkapkan sebagai berikut:
(1)   suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah mawadah, dan warahmah yang menjadi sendi dasar dalam susunan masyarakat.
(2)   suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
(3)   suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani , rohani maupun kecerdasanya dan pendidikan agamanya.
(4)   suami istri wajib menjaga kehormatanya
(5)   jika suami atau istri melalaikan kewajibanya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.[6]
Pasal-pasal diatas telah menjelaskan bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, dan lebih spesifikasinya akan pemakalah paparkan pada sub bab dibawah ini.

B.      Hak dan kewajiban suami atas istri
Kewajiban seeorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang berbeda dengan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang, kewajiban seorang suami yang mempunyai istri satu orang dapat kita lihat pada pasal 80 dan 81 dan bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu orang dapat kita lihat dalam pasal 82 pada Kompilasi Hukum Islam yang diungkapkan sebagai berikut:
Pasal 80 kompilasi hukum islam;
(1)   suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting di putuskan oleh suami istri bersama.
(2)   suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.
(3)   suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4)   sesuai dengan penghasilanya suami menanggung:
a.       nafkah, kiswah (pakaian), dan kediaman bagi istri.
b.      biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c.       biaya pendidikan bagi anak.
(5)   kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pad aayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin (pernyataan) sempurna dari istrinya.
(6)   istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)   kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz (membangkang kepada suami). 

Kemudian dalam pasal 81 kompilasi hukum islam:
(1)      suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam masa iddah.
(2)      tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)      tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)      suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainya.

Dari kewajiban-kewajiban suami yang ada di atas kita dapat mengatakan pula bahwa itu adalah hak dari seorang istri atau dengan kata lain kewajiban seorang suami adalah merupakan hak dari seorang istri, dan hal itu bersumber dari firman Allah At-Thalaq ayat 6 sebagai berikut;

£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (At-Thalaq; 6)

kemudian kewajiban seorang suami yag beristri lebih dari satu orang diatur dalam pasal 82 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   suami yang beristri lebih dari seorang, berkewajiban memebari tempat tinggal dan biaya hidup masing-masing istri secara berimbang, menurut besar kecilnya pendapatan suami.
(2)   suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang, manurut besar kecilnya keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(3)   dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan para istrinya dalam satu kediaman.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa kewajiban suami kepada istri-istrinya adalah seimbang, sepadan, dan selaras yang di dalam bahasa Al-qur’an adalah adil, hal ini bersumber dari firman Allah An-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut [7]:

÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  

“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil (Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.) Maka kawinilah seorang saja(Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.) atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa’; 3).

C.    Hak dan kewajiban istri atas suami
selain dari kewajiban-kewajiban suami yang dengan kata lain disebut sebagai hak istri, seorang istri juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang merupakan hak dari seorang suami, dan hal itu diatur dalam pasal 83 pada Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2)   istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baiknya.
Dan dapat dilihat pula dalam pasal 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
(1)     istri dianggap nusyuz jika tidak mahu melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)     selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf  a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
(3)     kewajiban suami tersebut pasal 80 ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
(4)     ketentuan nusyuz atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah[8].
jika seorang istri nusyuz kepada suami maka teknis pelaksanaanya atau penangananya berpedoman kepada firman Allah dalam Al-qur’an surah An-Nisa’ ayat 34:

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya)  Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya (Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.) Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (An-Nisa’: 34).

Dan dari arti ayat tersebut kita dapat mengambil garis hukumnya untuk memperlakukan istri yang nusyuz, seperti berikut:
(1)   suami memberi nasehat yang baik kepada istrinya dan juga dibujuk dengan cara yang baik.
(2)   suami berpisah tidur dengan istrinya agar sang istri berpikir untuk mengubah perilakunya yang nusyuz.
(3)   suami memukul istrinya yang nusyuz dengan pukulan yang bersifat mendidik (tidak melampaui batas).
Tolak ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi perintahnya (yang bersifat baik), meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya (jika ada dugaan suami melarang), dan masih banyak lagi bentuk-bentuk nusyuz dari seorang istri [9].
dari pasal-pasal yang merupakan aturan dalam sisi kewajiban dan hak seorang suami dan istri pada dasarnya diperuntukan agar tercipta bentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.





IV.             Kesimpulan
Apabila suatu akad perkawinan terjadi maka akan menimbulkan akibat hukum dengan sendirinya yaitu diantaranya hak dan kewajiban suami istri untuk mewujudkan bentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Dalam urusan hak dan kewajiban atas istri dan suami semuanya telah diatur agama maupun negara yang biasanya disebut dengan asas keperdataan, seperti halnya pada Undang-undang perkawinan dalam pasal 31, 32, 33, dan 34 (seperti yang telah ditulis pemakalah di atas), dan juga pada Kompialsi Hukum Islam dalam pasal 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, dan 84 (yang juga telah ditulis pemakalah di atas).  Kewajiban yang harus dilakukan seorang suami kepada istri adalah bentuk dari hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri, dan begitu juga kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri terhadap suami adalah merupakan hak dari seorang suami atas istri.


V.                Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.








DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin.  2006.  Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta:  Sinar Grafika. Cet 1.
Rofiq,Ahmad. 1997. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, Cet 2.
Subekti.  1980.  Pokok-Pokok Hukum Perdata.  Jakarta:  PT Intermasa. Cet 15.                                                                                                            
Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam.  Surabaya: Arkola.


[1] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta;  Sinar Grafika, 2006), Cet 1, Hlm 51.
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta; PT Intermasa, 1980), Cet 15, Hlm 28.                                                                                                             
[3]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 1997), Cet 2, Hlm 182-183.
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 1997), Cet 2, Hlm 185-186.
[5] Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya; Arkola), Hlm 15-16.
             [6]Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya; Arkola), Hlm 203.
[7] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta;  Sinar Grafika, 2006), Cet 1, Hlm 52-54.
[8] Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya; Arkola), Hlm 207.
[9] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta;  Sinar Grafika, 2006), Cet 1, Hlm 54-55

Komentar

  1. Trimakasi ya kak atas ilmu yang kakak salur kan di media sosial

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH MASAILUL FIQH dalam PRESPEKTIF IJTIHAD METODE BAYANI

HARTA BERSAMA PASCA PERKAWINAN MENURUT ULAMA’ MADZHAB

PERJANJIAN JOINT VENTURE